Tafsir Al-Kahfi 25-26: Tidur 309 Tahun, Setelah Itu?

Tafsir Al-Kahfi 25-26: Tidur 309 Tahun, Setelah Itu? Gua Ashabul Kahfi di Jordania. foto: Cheria Holiday

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

25. Walabitsuu fii kahfihim tsalaatsa mi-atin siniina waizdaaduu tis’aan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Dan mereka tinggal dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun.

26. Quli allaahu a’lamu bimaa labitsuu lahu ghaybu alssamaawaati waal-ardhi abshir bihi wa-asmi’ maa lahum min duunihi min waliyyin walaa yusyriku fii hukmihi ahadaan

Katakanlah, “Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); milik-Nya semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tidak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain Dia; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.”

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

TAFSIR AKTUAL:

Setelah dikisahkan betapa perjuangan tujuh pemuda gua mempertahankan keimanan yang mereka peluk hingga sembunyi di gua dengan segala keadaannya, kini Allah SWT mengabarkan waktu tinggal di dalam gua.

Sesungguhnya waktu mereka sembunyi di dalam gua itu sudah bisa diketahui oleh ahli sejarah dengan cara menghitung tahun. Kapan masuk gua dan kapan keluar untuk membeli makanan ke kampung. Dasarnya pakai koin atau uang logam yang dipakai sebagai alat pembayaran. Dari situ terlacak kapan mata uang ini diterbitkan.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Makanya, semisal al-Thabary mengatakan, bahwa sejarawan ahli kitab berbeda-beda dalam mengitung lama pemuda gua tinggal di dalam. Lalu ayat ini turun membenarkan pendapat sebagian dari mereka, yakni tiga ratus sembilan tahun. "wa labitsu fi kahfihim tsalats mi'ah sinin wa izdadu tis'a".

Itu artinya, Allah SWT mengapresiasi pemikran hamba-Nya yang benar dinyatakan sebagai benar. Tuhan memberi pengharagaan akademik kepada mereka. Terhadap pendapat yang tidak benar cukup didiamkan saja. Hikmahnya: pertama, menjaga harga diri mereka, karena manusia itu tidak suka dipersalahkan. Kedua, agar mereka cepat mengoreksi diri, memperbaiki langkah, dan lebih semangat mencari kebenaran. Bila disalahkan, nanti buntutnya panjang dan tujuan mengedukasi gagal.

Di sini nampak, bahwa mereka hanya bisa menghitung dan mengetahui persoalan yang lahiriah saja, yang matematik saja. Sementara hal yang ghaib sama sekali tidak mereka ketahui. Yaitu selama di dalam gua, bagaimana keadaan mereka, terjaga, tidur, atau mati. Lalu Tuhan memberi tahu, bahwa mereka dalam keadaan tidur pulas. " ...wahum ruqud". Maka menjadi aneh dan benar-benar aneh. Justru keanehan itulah sebagai ujian keimanan terhadap mereka yang hanya mengandalkan akal.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Ada empat hal terkait ghaib, dalam artian tidak terjangkau akal yang tersirat pada kisah pemuda gua ini. Meskipun manusia diperbolehkan berpendapat, tapi Tuhan memberi tekanan, bahwa Tuhan-lah yang maha mengetahui.

Pertama, diskusi internal para pemuda gua setelah mereka dibangunkan. Saling pandang dan sebagian bertanya: "kira-kira berapa waktu kita tertidur di sini?". Kemudian segera dijawab oleh temannya: "Ya, paling sehari atau setengah hari saja". Sebagian menjawab: "Tuhan lebih mengetahui berapa lama kita tidur di sini". " Rabbukum a'lam bima labitstum". (19).

Mengambil dari kisah ini, di mana indikasi dan data benar-benar kacau, maka menyerahkan urusan kepada Tuhan amaltlah mutlak. Satu sisi, mereka merasa waktu tidur sebentar, begitu pula isi perut yang mulai kosong. Mereka masuk gua pagi hari dan bangun sore hari. Tapi bukti yang lain sangat kontras, di mana kondisi sekitar jauh berubah. Dari kelebatan pepohonan dan dinding gua menunjukkan waktu sangat lama.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Kedua, masalah identitas para pemuda gua, apakah mereka pemuda biasa seperti umumnya anak muda atau pemuda mukmin yang sangat gigih mempertahankan keimanannya, walau nyawa taruhannya. Ini dipersoalkan karena ada monumen yang harus dibangun oleh umat demi mengenang mereka. Tuhan memberi edukasi, bahwa Dia yang maha mengetahui. "Rabbhum a'lam bihim". (21).

Dari kasus ini diambil pelajaran. Sesungguhnya masyarakat, utamanya ahli sejarah, ahli agama, sudah mengetahui tentang identitas para pemuda gua yang baru keluar itu. Yang dipersoalkan adalah pembuatan monumen. Apakah bersimbol umum, seperti tugu, relief atau patung, dan sebagainya. Dasarnya adalah kemanusiaan, karena mereka adalah manusia.

Tapi orang beriman ngotot dan tegas berbicara, harus dibangun sesuai identitas dan agama yang mereka anut, sesuai keimanan yang mereka perjuangankan. Justru inilah sejatinya martabat manusia di hadapan Tuhan. Dan begitulah seharusnya umat beriman bertindak secara tepat dan proporsional, tanpa mengalah secara salah, dan tanpa toleransi yang murahan. Jadinya, dibangun masjid. "Lanattakhidzann 'alaihim masjida".

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Ketiga, masalah jumlah personil mereka. Sejarawan berselisih pendapat: tiga orang plus satu anjing. Lima orang plus satu anjing, dan tujuh orang plus satu anjing. Meskipun ada isyarat bahwa pendapat terakhir yang diapresiasi, tapi Tuhan tetap memahamkan, bahwa Dia Maha mengetahui. "qul rabby a'lam bi 'iddatihim". (22).

Dari sini diambil pelajaran. Bahwa berbeda pendapat terhadap hal yang kurang penting (jumlah personil pemuda gua) itu sah-sah saja. Jumlah hanyalah pelengkap kisah, bukan esensinya. Meski begitu, tapi janganlah asal ngomong tanpa data atau dasar pemikiran yang baik.

Makanya, Tuhan menyindir pendapat yang dianggap keliru sebagai ngawur dan asal ngomong, "Rajma bi al-ghaib". Ini pelajaran bagi ilmuwan dan kaum akademik. Harusnya bersikap elegan dan logis.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Keempat, soal berapa lama mereka tinggal di dalam gua seperti dibahas pada ayat kaji ini. Untuk itu ada dua penjelasan yang diunggah al-qur'an. Pertama, soal lama mereka berada di dalam gua di mana manusai bisa menghitung sendiri, yaitu 309 tahun, (25). Kedua, keadaan mereka setelah terbangun dari gua itu. Berapa lama mereka hidup setelah itu? Atau tidak mati dan ghaib, sehingga baru mati saat menjelang hari kiamat. Allah a'lam. Inilah yang tidak mereka bahas.

Maka al-qur'an hadir dengan dua bahasa "Labitsu" (mereka tinggal). Untuk kata "Labitsu" pertama (25), adalah terkait waktu mereka tinggal di dalam gua dan cukup jelas. Sedangkan "Labitsu" yang kedua (26) terkait waktu hidup mereka setelah lepas dari gua. Dan yang kedua inilah yang ditegaskan al-qur'an, bahwa hanya Tuhan saja yang maha mengetahui "qul Allah a'lam bima labitsu".

Dari sini diambil pelajaran, terkait hal yang sangat sulit dilacak dan tidak ada data pendukung. Bagaimana bisa mengetahui usia masing-masing personil pemuda gua, apa saja yang mereka lakukan setelah itu, dan sebagainya. Maka sama dengan arahan pertama, yakni menyerahkan hakikat masalah kepada Tuhan. Allah a'lam. 

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO