Tafsir Al-Kahfi 32-33: Sesaudara, Tapi Nasibnya Tidak Sama

Tafsir Al-Kahfi 32-33: Sesaudara, Tapi Nasibnya Tidak Sama Ilustrasi.

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

32. waidhrib lahum matsalan rajulayni ja’alnaa li-ahadihimaa jannatayni min a’naabin wahafafnaahumaa binakhlin waja’alnaa baynahumaa zar’aan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Dan berikanlah (Muhammad) kepada mereka sebuah perumpamaan, dua orang laki-laki, yang seorang (yang kafir) Kami beri dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara keduanya (kebun itu) Kami buatkan ladang.

33. kiltaa aljannatayni aatat ukulahaa walam tazhlim minhu syay-an wafajjarnaa khilaalahumaa naharaan

Kedua kebun itu menghasilkan buahnya, dan tidak berkurang (buahnya) sedikit pun, dan di celah-celah kedua kebun itu Kami alirkan sungai,

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

TAFSIR AKTUAL

Awal ngaji surah al-kahf dulu sudah dijelaskan, bahwa surah ini mengangkat empat tokoh. Pertama, bidang agama yang diperankan oleh tujuh pemuda gua (ashab al-kahfi). Kedua, bidang ekonomi yang diperankan seorang konglomerat bersama saudaranya. Tokoh inilah yang dibahas pada ayat kaji ini. Ketiga, bidang pendidikan diperankan Khadlir dan Musa A.S. dan keempat bidang politik diperankan oleh Iskandar Dzu al-Qarnain.

Pria kaya bersama saudaranya itu dibahasakan dengan kata "Rajulain" (dua orang laki-laki). Siapa mereka?

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Pertama, al-Kalby mengemukakan, bahwa aktor pada ayat ini adalah dua orang laki-laki bersaudara berkabilah Makhzumiyah, Makkah. Yaitu, Abdullah ibn Abd al-Asad dan adiknya al-Aswad ibn Abd al-Asad. Abdullah ini berkun-yah Abu Salamah, dulu menjadi suami Umi Salamah. Abu Salamah wafat kemudian Umi Salamah menjanda dan dinikahi Nabi Muhammad SAW.

Dua putra al-Asad ini sama-sama mendapatkan warisan seputar 4.000 dinar tapi beda sikap. Karena Abdullah seorang mukmin yang shalih, maka warisannya banyak diinfaqkan di jalan Allah. Sementara al-Aswad tidak, dikembangkan dan buat senang-senang, termasuk menikahi cewek-cewek berkelas. Maklum dia masih kafir.

Suatu ketika, Abdullah kehabisan uang dan meminta adiknya barang sedikit untuk belanja keluarga. Tapi si adik malah berlagak dan memaki-maki. Tidak sekadar menggoblok-goblokkan, malah mencaci agama Islam yang didakwahkan nabi sebagai bohong. Nyatanya, janji Tuhan Muhammad tidak terbukti membuat orang menjadi kaya dengan berinfaq, dst. dst.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Kedua, versi al-Imam Muhammad ibn al-Hasan al-Muqry. Katanya, ini kisah zaman Bani Israel tempo dulu tentang dua pria: Tamlikha dan Qurthusy yang kongsi dalam berbisnis. Setelah berkembang, untung besar dan asetnya banyak, keduanya sepakat mengakhiri kerja sama dan membagi dua. Masing-masing mendapat 3.000 dinar.

Tamlikha yang mukmin dan shalih, hartanya banyak dihabiskan untuk agama dan sosial. 1.000 dinar dihabiskan membeli beberapa budak, lalu semuanya dimerdekakan Lillahi Ta'ala. 1.000 dinar lagi dibelikan pakaian untuk orang terlantar dan apa saja yang diperlukan para faqir, miskin, pengemis, gelandangan sebagai modal kerja. 1.000 dinar lagi dibelanjakan sembako dan dibagi-bagikan, termasuk untuk membangun masjid dan sedikit untuk keperluan keluarga.

Sedangkan partnernya tidak demikian. Hartanya dipakai bersenang-senang. Membeli kuda tunggangan yang bagus, beberapa ternak, ladang, dan dipakai modal berdagang. Selang beberapa waktu hartanya melimpah dan mempunyai banyak pekerja.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Suatu ketika pria shalih itu melamar kerja kepada temannya yang kaya raya. Begitu mengerti bahwa yang melamar itu teman kongsinya dulu, dia bertanya: "Uang sekian banyak itu kamu buat apa saja? Nih, hartaku kini makin melimpah?". Kemudian dijelaskan panjang lebar. Spontan si kaya tadi membodoh-bodohkan, tak beda dengan kisah sebelumnya.

Ketiga, versi lain menggambarkan hal senada, tapi lebih emosional. Dua pria, sebut saja Fulan dan Rajul sama-sama memiliki harta 4.000 dinar. Si Fulan membeli sebidang tanah seharga 1.000 dinar. Si Rajul mengerti, lalu menghadap Tuhan dan berikrar: "Allahumma, sesungguhnya Fulan telah membeli tanah seharga 1.000 dinar, kini aku membeli dari Engkau tanah surga dengan harga yang sama. Kemudian mensedekahkan 1.000 dinar.

Lain waktu mendengar si Fulan membeli rumah seharga 1.000 dinar, lalu si Rajul berikrar kepada Tuhan. "Ya Allah, si Fulan telah membeli rumah seharga 1.000 dinar, maka kini aku membeli dari Engkau rumah di surga dengan harga yang sama. Kemudian 1.000 dinar disedekahkan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Selang beberapa waktu mendengar juga si Fulan telah menikahi wanita cantik dengan mas kawin 1.000 dinar. Langsung si Rajul menghadap Tuhan dan berikrar: "Ya Allah, si Fulan telah menikahi seorang wanita cantik dengan mas kawin 1.000 dinar. Kini aku datang melamar wanita surga dengan mas kawin 1.000 dinar. Kemudian 1.000 dinar disedekahkan.

Tidak lama, mendengar lagi bahwa si Fulan membeli perlengkapan rumah tangga yang mewah-mewah, termasuk seorang pelayan wanita. Si Rajul berikrar: "Ya Allah, si Fulan telah membeli perkakas rumah tangga, kini aku juga membeli dari Engkau perkakas surga dengan harga yang sama. Kemuadian sisa 1.000 dinar tadi disedekahkan.

Kisahnya sama, si Rajul menjadi orang miskin dan meminta bantuan kepada si Fulan. Bukan diberi, tapi dimaki. Dikatakan, bahwa kamu salah menyembah Tuhan langit yang tidak ada seperti yang disampaikan Muhammad. Makanya, kamu melarat. Tidak sama dengan saya yang menyembah Tuhan bumi yang nampak (berhala) dan nyatanya saya kaya.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Secara umum, ketiga versi sabab nuzul itu mengajarkan kita, bahwa sikap orang beriman sama sekali tidak sama dengan sikap orang yang tidak beriman. Orang beriman memakai tolok ukur akhirat, sementara orang kafir pakai tolok ukur dunia. Bagi orang beriman, kaya dan miskin, pangkat dan jelata sama sekali tidak menjadi ukuran kebahagiaan di akhirat nanti.

Adalah hal biasa, orang beriman diuji dengan kemiskinan, meskipun yang kaya raya juga banyak. Sementara orang kafir diberi harta berlimpah, meskipun yang melarat juga banyak. Yang terakhir ini yang paling berat, yaitu, di dunia melarat, di akhirat nambah melarat. Makanya, kalau jadi orang miskin itu harus lebih totalitas beribadah, karena hanya itu andalannya. Tidak sama dengan orang kaya, masih punya peluang ke surga dengan hartanya.

Kisah-kisah di atas sebagai penggambaran perilaku orang beriman dan orang kafir tentang harta. Orang beriman memandang harta itu titipan Tuhan, maka dikembalikan kepada Tuhan. Andai kita memahami falsafah penitipan sepeda, maka seperti itu keimanan kita. Pengusaha jasa penitipan tidak ada yang kecewa ketika barang titipan diambil kembali, justru lega setelah bisa menyerahkan dalam keadaan utuh.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Tidak sama dengan orang kafir, harta dipandang sebagai miliknya sendiri dan harus dinikmati sendiri. Bagi kafir, rezeki itu didapat murni karena kerjanya sendiri, bukan pemberian Tuhan, sehingga tidak ada kaitan antara rezeki dengan Tuhan. Makanya, mereka tidak mau membelanjakan harta di jalan Tuhan.

Soal latar belakang atau pendorong orang bersedekah itu dibolehkan berdasar emosi kebajikan, bukan emosi nafsu. Tapi tetap hanya karena Allah SWT semata. Seperti contoh di atas, si shalih tidak mau kalah dengan si durhaka. Si durhaka membeli kebon di dunia, si shalih membeli kebon di surga.

Si durhaka menikahi cewek dengan mahar tinggi, si shalih melamar gadis surga dengan mahar senada dst. Makanya, agama membolehkan orang berlaku hasud, iri kepada orang lain, asal pada kebaikan. Seperti kepada orang kaya yang penderma dan peduli sesama. Kepada orang pandai ilmu agama yang beramal bagus, dll. 

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO