KEDIRI, BANGSAONLINE.com - Siapa bilang tradisi lebaran ketupat sudah terkikis di tengah masyarakat. Buktinya, warga Kabupaten Kediri masih merayakan lebaran ketupat, yang diperingati tujuh hari pasca Hari Raya Idul Fitri, Kamis (20/5). Desa Mlati, Kecamatan Mojo, salah satu desa yang masih menggelar tradisi kenduri ketupat.
Tidak hanya di Kecamatan Mojo saja, sejumlah desa di Kabupaten Kediri juga menggelar tradisi kupatan ini. Hampir seluruh warga pada hari sebelumnya sibuk memasak ketupat untuk dikonsumsi secara khusus pada hari lebaran ketupat.
Baca Juga: Hanindhito Himawan Pramana Pulangkan 14 Arca ke Kabupaten Kediri
Selain dikonsumsi sendiri, sajian ketupat yang dilengkapi dengan kuah khas yang telah matang juga dibagikan ke rumah-rumah tetangga. Puncaknya dimakan bersama oleh sebagian warga di setiap masjid dan musala pada pagi hari, tanggal 8 Syawal.
Di Masjid Miftahul Huda Desa Mlati yang terletak di lereng Gunung Wilis, sejak pagi hari warga sekitar sudah berdatangan dengan membawa ember berisi ketupat, sayur, dan lauk untuk keperluan kenduri.
Setelah didoakan, kemudian ketupat dimakan secara bersama-sama. Suasana pun penuh dengan keakraban. Momentum tersebut juga dijadikan sebagai ajang halal bihalal dan silaturahim antar sesama.
Baca Juga: Gereja Puhsarang Ditetapkan sebagai Cagar Budaya Bidang Struktur Tingkat Nasional
Ketua Takmir Masjid Miftahul Huda Mohammad Sholikin mengatakan, kenduri ketupat pada tanggal 8 Syawal merupakan bentuk majelis tasyakuran dan doa usai menunaikan kewajiban rukun Islam, yakni puasa dan ibadah sunnah lainnya pada bulan Ramadan.
"Tradisi kenduri ketupat setiap 8 Syawal ini sudah berlangsung secara turun temurun di masyarakat sini. Selain mendapat pahala dan keberkahan, juga bisa mempererat tali silaturahmi antar warga. Apabila pada hari raya kemarin ada yang belum sempat bertemu dengan tetangganya, dapat berhalal bihalal, saling bermaaf-maafan (pada kenduri ketupat)," kata Solikhin, Kamis (20/5/2021).
Solikhin juga menjelaskan makna ketupat, yakni menyimbolkan nasi atau lontong yang dibungkus janur atau daun pohon kelapa. Kata dia, hal ini sama dengan seseorang yang membungkus raga dan nyawa yang sudah bersih, agar tidak terkena noda-noda dosa pada tahun-tahun yang akan datang. (uji/rev)
Baca Juga: Pupuk Kecintaan Terhadap Budaya Lokal, Dinas Pendidikan Hadirkan Genibudjari Ke-9
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News