Benci Pemerintah dan Pajak, Kehidupan Individual: Inilah Awal Mula Kehebatan Amerika

Benci Pemerintah dan Pajak, Kehidupan Individual: Inilah Awal Mula Kehebatan Amerika Dahlan Iskan

Padahal doktrin keadaan krisis seperti itu tegas: lakukan ICE. Isolate, Catch, Evacuate. Pojokkan pelakunya. Ringkus pelakunya. Evakuasi korbannya.

Polisi sebenarnya sudah tiba di lokasi hanya beberapa menit dari peristiwa. Tapi yang didatangi pertama justru lokasi di depan rumah mayat. Di sebelah sekolah.

Dari situ memang ada pengaduan ke 911. Yakni ketika dua orang yang baru keluar dari rumah mayat ditembak Salvador Ramos remaja 18 tahun itu. Lokasi rumah mayat yang di sebelah sekolah menyebabkan polisi tidak mengira ada juga penembakan di sekolah. Yang justru lebih dahsyat. Dengan pelaku yang sama.

Polisi akhirnya juga ke sekolah itu. Tapi lebih banyak berkumpul di koridor. Tidak segera bertindak. Sampai ada orang tua siswa yang minta ke polisi agar memberikan senjata dan rompinya. Ia sendiri yang akan mendobrak masuk ke dalam kelas.

Di lain pihak, beberapa siswa yang tergeletak di lantai, sempat menelepon 911. Dengan ketakutan. Minta tolong. Agar dikirim segera polisi.

Siswa itu meraih HP milik guru mereka yang tergeletak tewas di sebelahnya. Itu berani mereka lakukan karena Ramos, Si pembawa senjata, lagi ke kelas sebelah. Mereka juga berani meraih darah dari lantai untuk diusapkan ke seluruh badan. Juga darah dari teman mereka yang sudah tewas. Lalu pura-pura sudah mati.

Komandan Pete berpikiran lain. Ia tetap menunggu kunci cadangan. Untuk bisa masuk ke kelas. Kunci itu masih diambil dari petugas pembawa kunci cadangan. Lama sekali. Ia tetap tidak mau mendobrak pintu atau jendela. Ia berpikir Ramos sedang berlindung dan siap menembak. Pikiran Pete lainnya: toh sudah tidak ada suara penembakan lagi. Itu ia anggap keadaan tidak membahayakan siswa lagi. Sama sekali tidak terpikirkan siapa tahu sudah banyak yang tertembak dan masih bisa diselamatkan.

Itulah yang akan jadi pusat penyelidikan atas Komandan Pete. Padahal ia sudah mengikuti pelatihan intensif keadaan seperti itu. Ia sudah 25 tahun mengabdi di kepolisian.

Pete juga tahu aturan baru menghadapi peristiwa seperti itu. Langsung dobrak. Aturan baru itu dibuat sebagai koreksi cara lama. Terutama setelah terjadi penembakan serupa di pantai timur 10 tahun lalu. Agar tidak terjadi lagi.

Ternyata berulang.

Bukan main kemarahan masyarakat Uvalde. Dan seluruh Amerika.

Rupanya perhatian Pete kini sudah terbagi ke bidang lain. Ia lagi ingin jadi politisi. Ia ikut Pilkada di Uvalde. Untuk menjadi anggota dewan kota. Sudah terpilih. Ia bisa segera berhenti dari jabatan komandan polisi di situ. Dengan pangkat kapten.

Latar belakang Ramos sendiri kian terkuak. Ternyata ia cukup aktif di medsos. Yakni di Yubo. Yang 90 persen anggotanya anak berumur 25 tahun ke bawah. Menurut Yobo ada 79 juta anak muda di medsos tersebut. Termasuk Ramos.

Ramos juga sering live di Yubo. Anak berumur 18 tahun ini sering bicara mesum di situ. Live. Juga sering mengancam lawan bicaranya. Khususnya wanita. Ia pernah mengancam si wanita untuk diperkosa dan dibunuh. CNN juga menulis Ramos pernah mengancam akan menembaki sekolah si wanita.

Dalam satu live Ramos pernah mengalihkan kamera HP ke senjata yang ia miliki. Sambil memberikan ancaman tersebut. Polisi akhirnya menemukan Ramos memiliki 60 magazine dengan peluru sebanyak 1.657 buah. Sebagian ditemukan di rumah Ramos.

Hannah, 18 tahun, juga anggota Yubo. Dia dari Ontario Kanada. Hannah pernah melaporkan tingkah Ramos seperti itu ke pengelola Yubo. Ramos sempat di-blacklist di Yubo. Tapi, kata Hannah, hanya sebentar. Lantas boleh aktif lagi

Ramos kini sudah tidak mikir apa-apa di kuburnya. Justru Pete yang sibuk menyelamatkan akhir karirnya. (Dahlan Iskan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO