Bedah Buku Kiai Asep di Denpasar, Dahlan Iskan: Dulu Sekolah Katolik Terbaik, Kini Sekolah Islam

Bedah Buku Kiai Asep di Denpasar, Dahlan Iskan: Dulu Sekolah Katolik Terbaik, Kini Sekolah Islam Para pembicara Bedah Buku karya M Mas'ud Adnan, Kiai Miliarder Tapi Dermawan, di ITB Stikom Denpasar Bali, Ahad (17/7/2022). Tampak Dahlan Iskan (nomor dua dari kirim), Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, dan M Mas'ud Adanan (paling kanan) dan Dr Hafid Muksin (paling kiri). Foto: BANGSAONLINE.com

DENPASAR, BANGSAONLINE.com – Acara  Kiai Miliarder Tapi Dermawan yang menceritakan kiprah dan perjuangan Prof Dr , MA, mendapat sambutan luar biasa di , Bali, Ahad (17/7/2022). Acara itu dihadiri sekitar 300 peserta. Terdiri dari para pejabat, pimpinan perguruan tinggi, pengurus MUI, NU, Muslimat NU, Hidayatullah, Pergunu, tokoh masyarakat, dan mahasiswa.

Acara yang digelar di ITB Stikom itu menghadirkan Dahlan Iskan, tokoh pers dan mantan Menteri BUMN, sebagai pembicara.

Bedah buku itu dipandu Dosen Stikom, Dr Hafid Muksin. Selain Dahlan Iskan, panitia juga menghadirkan Prof Dr , Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah.

Tampil juga sebagai pembicara, Dr Eng Fadliy Usman, Wakil Rektor Insitut KH Abdul Chalim (IKHAC) yang juga Dosen Universitas Brawijaya (UB) Malang. Panita juga menghadirkan M Mas’ud Adnan, penulis buku tersebut yang juga CEO HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com.

Banyak pemikiran dan informasi segar dilontarkan Dahlan Iskan. Menteri BUMN era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu mengungkapkan bahwa dulu sekolah terbaik di Indonesia selalu identik sekolah Katolik.

“Dulu sekolah Katolik selalu terbaik,” katanya.

Menurut dia, sekolah Katolik selalu menempati posisi terdepan. “Setelah itu sekolah Kristen,” katanya. Lalu sekolah taman siswa, kemudian sekolah negeri.

“Sekolah Islam nomor 5,” kata tokoh pers yang pernah mendapat penghargaan HARIAN BANGSA sebagai penulis terproduktif dan paling banyak dibaca tulisannya itu.

Jadi, dulu kualitas pendidikan Islam berada pada urutan buncit.

Kini kondisinya justru terbalik. “Banyak sekali jauh lebih baik dari sekolak Katolik,” tegas Dahlan Iskan yang mendapat aplaus peserta

Acara yang mengupas tentang berbagai sisi kehidupan itu sangat dinamis dan interaktif. Peserta berebut mengacunngkan tangan untuk bertanya, terutama setelah Mas’ud Adnan, penulis buku tersebut, menyampaikan sinopsis buku setebal 400 halaman lebih itu.

(Foto: Antara)

Pertanyaan peserta juga banyak yang menarik. Di antaranya tentang sikap yang menolak sumbangan, termasuk dari pemerintah. Dalam buku setebal 400 halaman lebih itu memang ditulis bahwa menolak tawaran sumbangan Presiden Jokowi untuk membangun gedung di Pondok Pesantren Amanatul Ummah.

“Apakah kita perlu gerakan menolak sumbangan?,” tanya seorang peserta.

Merespons pertanyaan itu, Dahlan Iskan mengatakan bahwa yang terpenting adalah ada apa di balik menolak sumbangan itu. “Itu sebuah tekad. Confidence,” katanya.

Menurut Dahlan, orang yang gampang menerima sumbangan adalah orang yang tidak punya tekad kuat. “Gampang menyerah,” tegas Dahlan Iskan. Bahkan gampang cengeng.

Ia kemudian memberi contoh saat jadi guru di Lamongan. Menurut Dahlan, saat itu, meski gaji kecil, “Tapi beliau kan tidak ngobyek,” katanya sembari mengatakan bahwa itu pelajaran bahwa tidak cengeng.

“Ini sama dengan pengusaha kecil. Belum apa-apa mereka sudah mencaci maki pemerintah karena tidak punya akses. Belum apa-apa, sudah mengeluh kita ini tak bisa berkembang karena tak punya modal,” kata Dahlan menceritakan pengalamannya ketika ceramah di depan para pengusaha kecil.

Karena itu Dahlan minta agar para pengusaha itu tak mengeluh seperti itu lagi. “Bahkan saya membaiat mereka, sejak detik itu mereka tak boleh bicara seperti itu lagi,” kata Dahlan Iskan yang disambut tawa para peserta.

Menurut Dahlan, usaha itu sangat ditentukan oleh kenginan yang kuat. Bukan modal.

Ada yang tanya. “Pak Dahlan, saya punya keinginan tapi kok gak maju-maju.”.

Dahlan membedakan antara keinginan sekadar keinginan, dan keinginan yang sesungguhnya.

“Ada keinginan 24 karat, 20 karat, 18 karat, bahkan ada keinginan yang tidak berkarat sama sekali,” kata Dahlan Iskan. Lagi-lagi disambut tawa peserta.

Tokoh pers yang sangat produktif itu menceritakan bahwa sewaktu kecil sangat miskin. Tidak punya uang, tidak punya kiriman uang dari orang tua.

“Sehari makan hanya sekali,” katanya. Bahkan untuk makan saja mencari sisa makanan para santri.

Tapi kemiskinan itu tidak membuat menjadi remaja yang suka meminta-minta, meminjam, apalagi mencuri .

“Misalnya () tidak minta uang untuk makan atau untuk beli kitab,” kata Dahlan Iskan.

Sebaliknya, kemiskinan itu justru membuat punya tekad besar. Yaitu memupuk “dendam” untuk terbalaskan.

“Bahwa ‘dendam’ itu suatu saat nanti harus terbalaskan,” kata Dahlan Iskan. Jadi dendam yang positif.

“Tidak cengeng,” katanya.

Dahlan juga mengatakan bahwa bidang pengabdian sangat prospek. “Bidang pengabdian, bidang dakwah itu sangat masa depan, yaitu pendidikan,” katanya.

Mengutip hasil penelitian, Dahlan mengatakan bahwa sekarang ini ada dua hal yang paling ditakuti orang tua. “Pertama, takut anaknya tidak pandai. Kedua, takut anaknya sakit,” katanya.

“Kalau orang tua sudah takut anaknya tidak pandai, berarti ini suatu kebahagiaan bagi para guru,” katanya. “Berarti orang tua akan mencari guru bagus. Orang tua akan meranking, ini guru yang bagus, ini guru yang bencekno (menimbukan kebencian),” katanya.

Menurut dia, guru yang bagus akan selalu relevan dengan zaman. Dan selalu jadi rebutan.

(Para peserta Kiai Miliarder Tapi dermawan di Kampus ITB Stikom Bali. Foto: bangsaonline.com)

juga merespons, kenapa tak mau menerima sumbangan. “Ini perlu saya jawab agar tak salah paham,” katanya.

Menurut , ada beberapa alasan kenapa dirinya tak mau menerima bantuan. Pertama, karena pesantren yang diasuhnya sudah mampu untuk membiayai dirinya sendiri. “Bantuan itu harus diberikan kepada pesantren kecil yang butuh bantuan dan belum menemukan jalan keluar,” kata Ketua Umum Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) itu.

Kedua, kata , kalau dirinya menerima bantuan pasti tidak barokah. “Karena digerutui pesantren-pesantren kecil. (Mereka akan bilang) 'Ya pasti saja pesantrennya maju dan besar, karena semua sumbangan mengalir ke sana'. Ini kan membuat sumbangan tidak barokah,” kata yang disambut tawa peserta.

lalu bercerita tentang tekad dan semangatnya saat mendirikan Pondok Pesantren Amanatul Ummah di Pacet Mojokerto. Pada 2006. “Muridnya 48 orang. Sekolahnya berupa terop,” katanya.

Tapi papan namanya ditulis Sekolah Bertaraf Internasional. Mendengar penuturan itu, Dahlan Iskan tertawa.

Menurut , banyak yang meledek dan menertawakan. “Ada yang mengatakan Sekolah Bertarif Internasional,” kata sembari tertawa.

Menurut , yang meledek justru kepala desanya. “Dia bilang, ojok kemelipen po’o. Jangan terlalu tinggi,” katanya.

sendiri mengaku sempat malu. Tapi ia kemudian menemukan referensi hadits. Bahwa Allah sangat senang terhadap orang yang tinggi urusannya, yang tinggi cita-citanya. Dan Allah benci terhadap orang yang rendah urusannya, rendah cita-citanya.

Sejak itu percaya diri. Ternyata Amanatul Ummah berkembang pesat. Bahkan para santrinya diterima di berbagai perguruan tinggi favorit di seluruh Indonesia.

“Dulu untuk menembus ITB itu sulit sekali,” kata .Tapi sekarang alumni Amanatul Ummah banyak yang diterima di ITB. Bahkan pada jurusan favorit seperti teknik pertambangan dan sebagainya.

“Bahkan kalau saya ke Bandung dijemput oleh rektornya,” kata sembari menegaskan bahwa rektor yang dimaksud kini sudah diganti rektor baru.

Begitu juga mengungkapkan bahwa santri Amanatul Ummah banyak yang diterima di perguruan tinggi luar negeri. Yaitu di Rusia, China, Amerika, Mesir, Tunisia, Jerman, Maroko, dan negara-negara lainnya.

Mas’ud Adnan juga mengungkap sisi kemiskinan sewaktu muda. “Bapak Ibu bisa buka buku itu halaman 113 berjudul Cinta Tragis, Ditolak Tiga Gadis. Saking miskinnya sampai tiga orang tua gadis mengembalikan lamaran ,” katanya.

Sementara Dr Fadly Usman banyak bercerita tentang keterlibatannya membantu saat awal mendirikan Amanatul Ummah. Ia meyakini bahwa banyak mendapat pertolongan Allah dalam membangun pesantren karena doa dan riyadlahnya yang kuat. 

Buku catatan jurnalistik Mas'ud Adnan itu sebelumnya dibedah pada Kongres III Pergunu yang dihadiri 1.200 perserta dari seluruh Indonesia di Pesantren Amanatul Ummah Pacet Mojokerto Jawa Timur. Kemudian buku tersebut dibedah lagi di Palembang Sumatra Selatan. (mma)

Lihat juga video 'Sedekah dan Zakat Rp 8 M, Kiai Asep Tak Punya Uang, Jika Tak Gemar Bersedekah':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO