MOJOKERTO, BANGSAONLINE.com – Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA, menegaskan bahwa kita menyadari bahwa di Indonesia masih ada kelompok ekstrem kanan. Tapi juga ada ekstrem kiri. Karena itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Mojokerto Jawa Timur itu minta agar dua ekstrem yang berlawanan itu dikikis habis.
“Kita harus menjaga Indonesia ini kondusif. Jujur, di Indonesia ini ada ekstrem kanan, esktrem kiri,” tegas Kiai Asep Saifuddin Chalim di depan peserta Halaqoh Kebangsaan yang digelar dalam rangka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II Pecinta Tanah Air Indonesia (Petanesia) di Kampus Institut KH Abdul Chalim, Pacet Mojokerto, Jumat (5/8/2022).
Baca Juga: Ghibah Politik Ramadhan: Menyoal PBNU tentang Politik Dinasti dan Misi Gus Dur
Petanesia adalah organisasi yang didirikan Maulana Habib Lutfi Bin Yahya Pekalongan yang kini juga anggota Wantimpres.
Hadir sebagai pembicara dalam acara itu Dr KH As’ad Said Ali (mantan Wakil Kepala BIN dan Wakil Ketua Umum PBNU), Prof Dr Muhammad AS Hikam (pengamat politik, mantan Menristek era Presiden Gus Dur), KH Abdusshomad Buchori (mantan Ketua Umum MUI Jawa Timur) dan yang lain.
Kiai Asep memberi contoh ekstrem kiri. Menurut dia, kasus penghilangan frasa Madrasah dari RUU Sisdiknas adalah perbuatan kelompok ekstrem kiri.
Baca Juga: Presiden dan para Menteri Dijadwal Hadiri Rakernas V Pergunu di Leuwimunding Majalengka
“Itu perbuatan ekstrem kiri,” tegas Kiai Asep yang Wakil Ketua Bidang Fatwa DPP Petanesia.
(Para peserta Halaqah Kebangsaan yang digelar dalam rangka Kongres II Petanesia di kampus IKHAC Pacet Mojokerto, Jumat (5/8/2022). Foto: mma/bangsaonline.com)
Baca Juga: Halaqoh Kebangsaan Petanesia, Kiai Asep Soroti Kondisi Kabupaten Mojokerto dan PBNU
“Ini menambah ketidakkondusifan. Jangan sampai keberadaan ekstrem kiri justru membuat ekstrem kanan naik lagi,” tambahnya.
Karena itu mengajak para pengurus pusat dan pengurus wilayah Pergunu audensi dengan Komisi VIII DPR RI untuk memperjuangkan agar frasa Madrasah itu dicantumkan dalam batang tubuh UU Sisdiknas, bukan dalam penjelasan.
“Semua partai politik setuju dan mendukung penuh,” kata Kiai Asep kepada BANGSAONLINE.com seusai acara.
Baca Juga: Sehari Ceramah di 4 Lokasi di Sumenep, Kiai Asep Ingatkan Ekstrem Kiri di UU Sisdiknas
Kiai Asep mengaku sudah mendapat respon dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Indonesia. Pihak Kementerian, tutur Kiai Asep, mengajak zoom meeting dan mereka menjamin bahwa frasa Madrasah tercantum dalam UU Sisdiknas.
Namun ketika jaminan dari Kemedikbudristek itu disampaikan, Muhammad AS Hikam langsung menukas. “Tapi itu harus dikawal,” tegas Muhammad AS Hikam yang mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi pada era Presiden Gus Dur.
Kiai Asep mengaku telah minta draft RUU Sisdiknas yang sudah diperbarui itu, lewat pengurus Pergunu. “Saya sudah minta lewat anak-anak,” katanya.
Baca Juga: Terima Kasih Pendeta Saifuddin Ibrahim! Anda Bersihkan Islam dari Stigma Teroris dan Radikal
Kiai Asep memberi contoh perbuatan ekstrem kiri yang lain. Menurut dia, kasus penghilangan nama-nama pahlawan Islam dalam Kamus Sejarah Indonesia adalah perbuatan ekstrem kiri. Ia menyebut nama Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari dibuang dalam Kamus Sejarah Indonesia.
Kiai Asep menengarai justru ekstrem kiri sangat berbahaya karena gerakan mereka sistematis dan masuk ke dalam lembaga pemerintahan.
Kiai Asep juga tidak setuju dengan ekstrem kanan. “Islam itu rahmatan lil’lamin (rahmat dan kasih sayang bagi semua),” tegas tokoh pendidikan nasional yang juga ketua umum Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) itu.
Baca Juga: Lantik DPW Petanesia Jawa Barat, Kiai Asep: Cita-Cita Kemerdekaan Masih Terbengkalai
(Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA. Foto: m mas'ud adnan/bangsaonine.com)
Sebagai tokoh NU, Kiai Asep menekankan sikap wasathi alias tengah-tengah. Putra pendiri NU, KH Abdul Chalim, itu menyadari bahwa sangat sulit untuk menyamakan pendapat. Tapi ajaran NU sangat realistis untuk dijadikan pijakan dalam berbangsa dan bernegara.
Baca Juga: Penganut Vegetarian Ekstrem, Polisi Harus Dimusuhi
Ia menegaskan, dalam NU ada ukhuwah Islamiah, Ukhuwah Wathaniah dan Ukhuwan Basyariah. Ukhuran Islamiah sudah jelas yaitu persaudaraan sesama muslim.
Menurut dia, dalam berbangsa kita tak hanya hidup berdampingan dengan sesama orang Islam. Tapi juga anak bangsa yang beragama lain. Mereka adalah saudara sebangsa atau se tanah air. Itulah yang disebut Ukhuwah Wathoniyah.
“Mereka saudara kita nomor dua,” katanya.
Baca Juga: Mengubah Ekstremis Jadi Moderat, Inilah Kiprah UTS Sumbawa NTB
Bahkan, menurut Kiai Asep, kita tak hanya bersaudara dengan sesama anak bangsa Indonesia. Tapi juga dengan warga negara lain. Dan itulah yang disebut ukhuwah basyariah, persaudaraan berbasis kemanusiaan.
“Saya pernah dipanggil Gus Dur,” kata Kiai Asep. Gus Dur, tutur Kiai Asep, mengajak berbicara berdua dalam kamar. “Hanya berdua bersama Gus Dur,” tambahnya sembari mengatakan bahwa saat itu dirinya ketua PCNU Kota Surabaya.
Kepada Kiai Asep, Gus Dur menjelaskan tentang pandangannnya. “Beliau menyampaikan, saya ini Pak Kiai Asep, pastilah memegangi Innaddina Indallahil Islam,” tutur Kiai Asep. Yang artinya, sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam.
“Tapi semua teman-teman saya itu sesaudara juga dengan kita, yaitu se tanah air, ukhuwah wathoniyah. Bukan hanya se tanah air saja, orang (di negara lain yang bergama lain) juga kita memandang sebagai saudara dengan kita, sesama umat manusia. Yaitu ukhuwah basyariah. Tapi prinsip saya tetap Innaddina indallahi Islam. Itu kesaksikan saya dengan Gus Dur,” kata Kiai Asep.
Sementara Muhammad AS Hikam mengaku terinspirasi dari Kiai Asep. Ia mengaku sudah lama tak berinteraksi dengan kiai karena pandemic Covid. Ia mengaku bingung mau bicara apa di depan para kiai yang menjadi peserta halaqoh kebangsaan.
Tapi mendengar sambutan Kiai Asep yang menyebut Gus Dur ia mengaku langsung mendapat inspirasi. AS Hikam memang termasuk orang dekat Gus Dur.
Pria asal Tuban yang meraih doktor di Univesitas Hawai di Manoa Amerika Serikat (AS) itu lalu memotret kondisi demokrasi saat ini. Mengutip pendapat Gus Dur, AS Hikam mengatakan bahwa kondisi politik di Indonesia dewasa ini adalah demokrasi seolah-olah.
“Kalau pakai istilah pesantren, ini demokrasi wujuduhu ka’adamihi,” kata AS Hikam. Artinya, adanya demokrasi seperti tidak ada karena demokrasinya tak jalan alias tak berfungsi.
Menurut dia, secara substansi demokrasi Indonesia saat ini mirip era Orde Baru.
“Omdong,” katanya. Omong doang. Hikam bahkan menyebut demokrasi sekarang mirip Orde Baru.
Kiai As’ad Sadi Ali pun menimpali. “Kalau saya lebih tajam lagi. Pura-pura demokrasi,” katanya.
Hikam juga menyebut bahwa salah satu tantangan serius yang dihadapi Indonesia adalah new liberalisme. “New liberalisme itu tatanan ekonomi global yang mengabaikan peranan negara yang diatur secara bisnis. Jadi mengatur negara dengan cara profit, keuntungan. Nanti tidak ada bantuan untuk masyarakat karena akan rugi, tak menguntungkan,” kata AS Hikam.
Selain itu, AS Hikam menyoroti tentang penegakan hukum. Menurut dia, meski kita punya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tapi indeks korupsi semakin tinggi. Korupsi merajalela. Dan tiu dilakukan pada semua tingkatan birokrasi.
“UU KPK justru memperlemah KPK,” kata AS Hikam mengutip tentang UU Cipta Karya.
Karena itu AS Hikam mengusulkan para kiai meniru strategi Gus Dur saat melawan Orde Baru. Yaitu memperkuat politik kewarganegaan.
Senada dengan AS Hikam, Kiai As’ad Said Ali juga mengaku pengikut Gus Dur. Menurut dia, Gus Dur sangat taat konstitusi. Alumnus UGM itu bahkan mengatakan, seandainya Gus Dur tetap ingin menjadi presiden sebenarnya bisa. Karena Kiai As’ad saat itu sudah bertemu beberapa pihak untuk mencairkan suasana.
Tapi Kiai As’ad menduga ada orang di sekeliling Gus Dur yang sengaja memutus komunikasi Gus Dur dengan MPR. Marsilam Simanjuntak dan Ratih yang dikenal dekat Gus Dur sangat sulit dihubungi. Sehingga MPR yang dipimpin Amien rais bersidang untuk melengserkan Gus Dur.
Sementara KH Abdusshomad Bukhori menekankan pentingnya tiga hal bagi umat Islam. Pertama, menyiapkan kader atau kaderisasi.
Kedua, penguatan ekonomi. Alasannya, tanah di Indonesia dikuasi kelompok kecil. “Dulu di sini ini (Pesantren Amanatul Ummah) mau dijadikan kuburan Kristen terbesar. Mau dibangun salib besar. Tapi saya datang ke gubernur (jwa Timur). Akhirnya dibatalkan,” kata Kiai Abdusshomad Bukhori sembari mengaskan bahwa itu terjadi sebelum tahun 2005.
Ketiga, kata Kiai Abdusshomad, adalah strategi perjuangan.
Yang menarik, pada akhir acara, Kiai Asep memimpin pembacaan hizib nashor.
“Siapa pun yang dzalim pada Indonesia, pada NU dan Islam, semoga dihancurkan oleh Allah,” kata Kiai Asep.
Menurut Kiai Asep, dzalim pada NU bisa orang luar tapi bisa orang dalam yang memanfaatkan NU untuk kepentingan pribadi.
Kiai Asep juga mendukung langkah KPK, aparat kepolisian dan Kejaksaan untuk menindak koruptor. Namun Kiai Asep juga mengkritisi tiga lembaga penegak hukum itu agar transparan dan adil dalam menangani kasus hukum. (mma)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News