SUMENEP, BANGSAONLINE.com – Seharian penuh Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA berada di Sumenep Madura. Pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto itu ceramah di empat lakosi. Yaitu dalam acara Halaqoh Guru di Pondok Pesantren An-Nuqoyah Guluk-Guluk, Wisuda VI Qiraah dan Fahmul Kutub Maktuba di Pondok Pesantren Sumber Payung di Ganding, Sarasehan Pendidikan di Pondok Pesantren Nasyrul Ulum Aengdake Bluto dan Sarasehan Pendidikan Mengawal UU Sisdiknas di Pendopo Kabupaten Sumenep.
Meski 4 lokasi itu sama-sama bertema pendidikan, tapi ceramah Kiai Asep berbeda penekanannya. Di Pesantren An-Nuqoyyah ceramah Kiai Asep cenderung akademis. Sementara saat ceramah di Pondok Pesantren Sumber Payung, Kiai Asep memaparkan sistem pendidikan pesantren, terutama pengalamannya belajar kitab kuning.
Baca Juga: Ribuan Warga Padati Mubarok Bersholawat, Paslon 2 Optimis Menang di Ngoro, Mojokerto
Menurut Kiai Asep, sistem pendidikan pesantren berbeda dengan sistem pendidikan pada umum, termasuk di Indonesia. Penekanan sistem pendidikan pesantren adalah keimanan.
Begitu juga metode yang dipraktikkan. Menurut Kiai Asep, metode pendidikan pesantren khas. Diantaranya sistem sorogan dan bandongan.
“Sistem sorogan dan bandongan harus tetap ada,” kata Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) itu.
Baca Juga: Mubarok Gembleng 6.472 Calon Saksi untuk Gus Barra-Rizal dan Khofifah-Emil di Mojokerto
Sistem bandongan adalah mengkaji kitab kuning dengan cara kiai membaca dan mengartikan kitab, sedangkan para santri menyimak dan menulis arti yang disampaikan atau diulas para kiai.
Sedang sistem sorogan sebaliknya. Para santri satu persatu membaca dan mengartikan kitab yang dikaji, sementara sang kiai atau ustadz menyimak dan mengontrol bacaan santri.
Baca Juga: Doa Bersama Kapolri dan Panglima TNI, Kiai Asep Duduk Satu Meja dengan Kapolda dan Pangdam V Jatim
Kiai Asep mengaku tak belajar secara khusus nahwu (gramatika Arab) dan shorof (ilmu yang membahas perubahan bentuk kata dasar bahasa Arab). Tapi ia sering mendengarkan abahnya, KH Abdul Chalim, saat mengajarkan shorof. Ia hafal nashara yanshuru nashran dan seterusnya, tapi mengaku tak mengerti apa maksudnya.
“Hanya hafal saja,” katanya.
Namun ternyata Kiai Asep bisa bisa kitab. “Nahwu dan shorof itu hanya tahqiq saja,” katanya.
Baca Juga: Lautan Manusia Padati Kampanye Akbar Paslon 02 Khofifah-Emil dan Gus Barra-Rizal di Mojokerto
Ia bahkan mengaku belajar kitab kuning hanya 14 halaman. “Tapi setelah itu saya bisa baca semua kitab seperti Muhaddzab dan Jam’ul Jawami,” katanya.
Kitab Muhaddzab adalah kitab fiqh, ditulis Syaikh Abu Ishaq Al-Syirazi yang sampai kini sangat populer di pesantren. Sedang Jam’ul Jawami adalah kitab karangan At-Taj As-Subhi yang isinya tentang ushul fiqh, ushuluddin dan tashawuf.
Baca Juga: Kedatangan Kiai Asep dan Tim Mubarok di Pasar Bangsal Disambut Antusias Pedagang dan Warga
Saat ceramah di Pesantren Nasyrul Ulum yang diasuh KH A Hamid Mannan Munif Kiai Asep banyak mendapat pertanyaan dari ustadz dan ustadzah. Antara lain, bagaimana caranya menangani guru apatis dan tak punya semangat, padahal sudah difasilitasi agar maju dan berkembang.
Kiai Asep memberikan solusi agar didekati secara persuasif. Tapi kalau ternyata tak berubah juga, harus diberhentikan. “Tapi honornya selama tahu tahun (ke depan) harus diberikan,” kata Kiai Asep.
“Karena kalau tidak (diberhentikan) bukan hanya menghancurkan sekolah kita, tapi juga idealisme kita,” kata putra pendiri NU, KH Abdul Chalim itu.
Baca Juga: Di Depan Pergunu Jatim, Kiai Asep Sebut Khofifah Cagub Paling Loman alias Dermawan
Menurut Kiai Asep, guru itu harus total. “Karena itu, kalau di tempat saya (Amanatul Ummah), di ruangan ini ditulis: Jadilah guru yang baik atau tidak samasekali,” katanya.
Seorang ustadzah mengajukan pertanyaan soal murid yang bandel, apakah dinaikkan kelas atau tidak. Menurut Kiai Asep, anak bandel juga harus didekati secara persuasif. Murid, kata Kiai Asep, juga harus didoakan.
Kiai Asep lalu menuntun para peserta sarasehan dengan doa yang harus dibaca setelah adzan Subuh, sebelum qomat Subuh. Yaitu Allahumma barikli fi dzurriati watalamidzi wala tadlurruhum wafiqhum litha’atika warzuqni biirahum.
Baca Juga: Kiai Asep Tebar Keberkahan, Borong Dagangan di Pasar Dinoyo sampai Warga Mantap Pilih Mubarok
Kiai Asep setuju dengan pendapat bahwa murid keterlalun atau badel harus dinaikkan kelas. Karena tak ada murid bodoh dan tidak baik. “Yang ada murid belum mendapat penangan secara baik dari guru,” kata Kiai Asep.
Dari serangkaian ceramah di 4 lokasi itu, Kiai Asep selalu menyinggung tentang kasus hilangnya frasa madrasah dalam RUU Sisdiknas. Kiai Asep mengajak semua pengasuh pesantren dan guru untuk mengkritisi UU Sisdiknas.
Ia mengaku telah audensi dengan Komisi VIII DPR RI untuk menyampaikan rekomendasi Kongres Pergunu. Terutama tentang penolakan terhadap LGBT dan penghapusan frasa madrasah di UU Sisdiknas. Menurut dia, semua anggota Komisi VIII dari semua partai sepakat menolak penghapusan frasa madrasah.
Baca Juga: Alumni Ponpes Lirboyo di Mojokerto Siap Menangkan Paslon Mubarok
“Komisi VIII akan menolak kalau frasa madrasah dihilangkan. Bahkan Komisi VIII mengatakan bahwa RUU Sisdiknas itu tak layak diajukan ke DPR, jika frasa madrasah dihilangkan,” katanya.
Usai audensi dengan Komisi VIII, Kiai Asep mengaku silaturahim ke Dr Alwi Shihab, Menteri Luar Negeri era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Menurut Kiai Asep, Alwi Shihab kaget mendengar frasa madrasah dihilangkan. “Kata Pak Alwi, seharusnya itu tanggung jawab menteri agama,” kata Kiai Asep.
Kemendiknas, kata Kiai Asep, sudah dua kali menyakiti hati umat Islam. Pertama, ketika pahlawan nasional dari NU, Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari, dihilangkan dari Kamus Sejarah Indonesia.
Kedua, soal penghilangan frasa madrasah dalam UU Sisdiknas.
Karena itu Kiai Asep minta semua pengasuh pesantren mewaspadai bahaya ekstrem kanan dan ekstrem kiri.
Menurut Kiai Asep, ekstrem kanan sudah jelas.
Kalau ekstrem kiri? “Ekstrem kiri itu ya sosialis. Ekstrem kiri itu bermain di regulasi,” katanya.
Kiai Asep menegaskan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Pesantren berdiri dan berkembang jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan kiai atau ulama pesantren lah yang banyak terlibat dalam perjuangan kemerdekaan RI.
Karena itu pemerintah harus menghargai dan ikut menjaga eksistensi pondok pesantren. (mma)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News