Tak Pernah Punya Tempat Kost, Kiai Miliarder ini Tidur di Mushalla saat Mahasiswa

Tak Pernah Punya Tempat Kost, Kiai Miliarder ini Tidur di Mushalla saat Mahasiswa Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA, didampingi dua syaikh dari Sudan, yaitu Syaih Al Dhaw dan Syaikh As Shodiq, saat menjadi pembicara dalam Studium Generale “Bahasa Arab & Kecemerlangan Prospek” yang digelar Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Selasa (27/9/2022). Tampak juga moderator, Shodiqin (paling kanan). Foto: MMA/ BANGSAONLINE.com

SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Ternyata Prof Dr , MA, saat mahasiswa tak pernah punya tempat kost. Ia tinggal di mushalla. Bahkan berpindah-pindah, dari mushalla ke mushalla.

“Saya tak pernah punya tempat kost. Saya tidur di mushalla. Baju saya cuma dua. Yang satu saya pakai, yang satu saya gantung di mushalla. Jadi, dari mushalla ke mushalla,” ungkap Saifuddin Chalim saat menjadi narasumber pada Studium Generale “Bahasa Arab & Kecemerlangan Prospek” yang digelar Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel di Auditorium FISIP UINSA Surabaya, Selasa (27/9/2022).

Baca Juga: Jualannya Diborong Kiai Asep, Pedagang Pasar Pugeran: Kami Setia Coblos Paslon Mubarok

mengungkapkan, masa mudanya yang miskin itu untuk memberi motivasi kepada para mahasiswa dan mahasiswi peserta stadium generale itu. Kebetulan saat sesi tanya jawab, Mutiara, seorang mahasiswi bertanya bagaimana caranya menghilangkan rasa minder bagi mahasiswa –mahasiswi jurusan bahasa Arab.

“Karena kalau sudah di lapangan ada pertanyaan, mau jadi apa dengan belajar bahasa Arab,” tanya Mutiara.

mengakui bahwa mahasiswa jurusan Bahasa Arab gelisah dengan prospek. Ia menunjukkan ketika masih kuliah. “Dulu ketika tingkat 2 dan 3 gelisah dengan prospek,” katanya.

Baca Juga: Jelang Debat Kedua Pilgub Jatim 2024, Khofifah Didoakan Kiai Asep

Tapi minta para mahasiswa optimistis. “Jangan pernah pesimis dengan masa depan,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) itu.

(Para narasumber dan syaikh foto bersama dengan para mahasiswa. Foto: mma/bangsaonline.com) 

Baca Juga: Emil Dardak Puji Gus Barra Berilmu Tinggi, Punya Jejaring Luas, Rubaie: Dekengani Pusat

Menurut , mahasiswa jurusan Bahasa Arab lebih beruntung dibanding jurusan lain karena bisa membaca literatur dalam dua bahasa. Yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Arab. Apalagi kalau juga menguasai bahasa Inggris.

“Bahasa Arab itu untuk menguasai ilmu. Dari ilmu itu kita punya kekuatan. Al’lmu huwal quwwah. Knowledge is power,” katanya.

bahkan menunjukkan keunggulan Bahasa Arab. Ia mengaku mendapatkan kecerdasan setelah banyak baca tulisan berbahasa Arab. Menurut dia, kecerdasan itu sangat penting.

Baca Juga: Gus Barra dan Kiai Asep Borong Dagangan, Pedagang Pasar Kutorejo Bersyukur dan Mantap Pilih Mubarok

“Barangkali saya jadi guru besar bukan karena ilmunya tapi karena kecerdasannya,” katanya sembari tertawa.

Selain kecerdasan, menurut , mahasiswa harus punya kreativitas. “Kreativitas itu sumber prospek,” kata .

lagi-lagi mencontohkan pengalaman dirinya. “Saya awalnya mengandalkan doa. Mau usaha apa, memang gak punya apa-apa. Dari doa itu muncul kreativitas,” katanya.

Baca Juga: 3.000 Relawan Barra-Rizal Ikuti Bimtek Saksi, 20 Rombong Bakso, Tahu Thek dan Soto Gratis Ludes

Menurut , istrinya, Nyai Hj Alif Fadlilah, bisa berpenghasilan Rp 2 miliar dalam satu bulan juga karena kreativitas. Padahal istrinya saat dinikahi baru lulus SMP.

“Meski kemudian melanjutkan ke Aliyah,” tutur .

Karena itu menyarankan para mahasiswa tak bercita-cita jadi pegawai negeri. “Karena untuk punya rumah saja perlu dua puluh tahun,” katanya. “Tapi kalau punya kreativitas, seperti Pak Mas’ud tadi bilang, saya tiap tahun bisa beli mobil Aphard,” tambahnya.

Baca Juga: Antusias Masyarakat Sambut Gus Barra Borong Dagangan di Pasar Trawas

juga bercerita bahwa saat remaja sangat miskin. Abahnya, KH Abdul Chalim, wafat saat kelas II SMAN Sidoarjo . Jangankan kuliah, untuk makan saja ia tak punya.

“Saya makan kalau malam saja,” tuturnya. Menurut dia, kalau lapar ia mencari kendil yang terkurap di dapur pesantren pada tengah malam.

“Kalau kendil yang masih dicentelkan ke tembok saya tak berani karena mungkin masih dipakai oleh pemiliknya. Saya cari kendil yang terngkurap, yang mungkin sudah disosor bebek,” katanya.

Baca Juga: Kampanye Simpatik Pasangan Mubarok, Kiai Asep Gelorakan Semangat untuk Masyarakat

Di kendil itu, tutur , ada intip atau kerak nasi yang masih tersisa. Kendil itu dituangi air lalu dimasak sehingga airnya menguning dan kerak nasinya mengelupas. Itulah yang dimakan.

Meski miskin, punya semangat tinggi untuk belajar.

“Tapi saya tak punya ijazah. Mau punya ijazah dari mana, saya berhenti sekolah kelas II SMA,” katanya.

Baca Juga: Siapkan Kontrak Politik Demi Pemerintahan Bersih, Barra-Rizal Dirikan Posko Masif Tiap Desa

Ia kemudian datang ke Kiai Mujib, tempat ia mondok. Ia minta ijazah. “Saya disuruh buat ijazah sendiri. Karena saya dulu pernah jadi pengurus pondok,” katanya.

Lalu nilai ijazahnya? “Juga disuruh buat sendiri. Nilainya saya buat 9 semua. Kalau 10 kan nggak enak,” kata yang disambut tawa peserta.

(Para mahasiswa-mahasiswi jurusan bahasa dan sastra Arab yang ikut Studium Generale di Auditorium FISIP UINSA Surabaya, Selasa (27/9/2022). Foto: mma/bangsaonline.com) 

juga mengaku tak punya uang untuk mendaftar sebagai mahasiswa. Saat itu uang pendaftaran mahasiswa di IAIN Sunan Ampel Rp 6.000,-

“Saya jadi kuli bangunan selama dua bulan,” katanya. “Sehari bayarannya Rp 225. Tiap hari saya tabung Rp 100. Jadi dua bulan Rp 6.000. Itulah uang yang saya buat daftar. Untuk makan saya gak mikir. Bulan depan mau bayar pakai apa saya juga gak mikir,” katanya sembari mengatakan bahwa sisa upah kuli bangunan itu dibuat makan dan ongkos bemo.

Ia mengaku kuliah di Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya pada 1975. “Fakultas Adab ini memberi jalan kepada saya untuk belajar,” kata .

juga menjawab pertanyaan seorang mahasiswa tentang bahasa Arab Fushah (formal) dan Amiyah (informal atau pasaran-Red). Menurut , kita harus mendahulukan bahasa Arab fushah.

“Dahulukan bahasa fushah. Jadikan bahasa Amiyah sebagai kekayaan,” jawab pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto itu. .

Menurut dia, kalau kita bicara dalam forum akademis pasti kita pakai bahasa Fushah. “Saya kalau berbicara dengan ulama di Makah pakai bahasa Fushah sehingga mereka menghargai kita,” katanya.

“Tapi kalau kita jadi pembimbing haji kita harus paham bahasa Amiyah,” katanya. Karena di Makkah dan Madinah dalam seharihari orang-orang pakai bahasa Amiyah. “Kalau kita tak paham bahasa Amiyah, nanti jemaah kita bilang, katanya pintar bahasa Arab kok gak ngerti,” katanya.

Sebelumnya, minta M Mas’ud Adnan, penulis buku untuk ikut berbicara. Buku itu bercerita tentang kiprah dan perjuangan , baik sebagai pendiri Pondok Pesanten Amanatul Ummah maupun sebagai ulama yang kaya raya tapi dermawan.

Menurut Mas’ud Adnan, telah menciptakan paradigma baru dalam dunia kekiaian. “Biasanya kalau kita sowan kiai atau dalam bahasa Madura acabis, kita yang menyalami amplop pada kiai. Itu bagus karena kita memang tabarrukan,” kata Mas’ud Adnan.

Tapi, tegas Mas’ud, kalau kita sowan justru kita yang diberi sarung dan amplop berisi uang.

Begitu juga dalam pilpres dan pilgub. “Dalam pilgub dan pilpres biasanya tim suksesnya yang sukses duluan,” kata Mas’ud Adnan yang disambut tawa peserta.

Tapi terbalik. Saat jadi tim sukses Pilpres dan Pilgub justru yang mengeluarkan biaya, baik untuk Pilgub maupun pilpres. “Tapi ketika cagub dan capres yang didukung menang, tak mau diberi bantuan,” tambahnya.

Mas’ud Adnan juga mengungkapkan bahwa adalah putra KH Abdul Chalim, ulama besar yang juga pendiri Nadlatul Ulama. “Kiai Abdul Chalim itu teman akrab Kiai Wahab Hasbullah saat sama-sama mondok di Makkah,” tutur Mas’ud Adnan.

Saat pulang ke Indonesia, di bawah mentor Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, Kiai Abdul Wahab dan Kiai Abdul Chalim mendirikan NU.

“Yang ngantar surat untuk mengundang para ulama se Jawa dan Madura dalam pembentukan Komite Hijaz itu Kiai Abdul Chalim. Karena itu dalam dokumen kepengurusan PBNU pertama, Kiai Abdul Chalim tercatat sebagai Katib Tsani. Sedang Kiai Wahab Hasbullah Katib Awal yang dalam istilah sekarang Katib Am Syuriah PBNU. Rais Akbarnya Hadratussyakh Kiai Haji Hasyim Asy’ari dan Ketua Tanfidizahnya Haji Hasan Gipo,” jelas alumnus Pesantren Tebuireng Jombang dan Pascasarjana Universitas Airlangga itu.

Saat jadi narasumber, didampingi dua syaikh dari Sudan, yaitu Syaikh Al-Dhaw dan Syaikh As-Shodiq,

Selain juga tampil sebagai pembicara Dr Masrur Huda, Direktur Pascasarjana Unsuri. Studium Generale yang dimoderatori Sodiqin itu berlangsung sekitar 3 jam. Mulai pukul 8.30 hingga pukul 11.30 WIB.

Dalam acara yang dibuka Dr Mohammad Kurjum M.Ag, Dekan itu juga dihadiri Prof Dr KH Imam Ghazali Said, MA, dosen UINSA yang dikenal sebagai pengasuh rubrik Tanya Jawab Islam di HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com. (MMA)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Sedekah dan Zakat Rp 8 M, Kiai Asep Tak Punya Uang, Jika Tak Gemar Bersedekah':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO