30 Oktober 1945

30 Oktober 1945 Rosdiansyah.

Oleh: Rosdiansyah (Peneliti JPIPNetwork)

Tepat hari ini, 77 tahun yang lalu, Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) tewas dalam baku tembak di salah satu sudut kota Surabaya. Malam Selasa, , sekitar jam 8.30 malam. Desing peluru tak henti-hentinya terdengar di lokasi pertempuran sejak pagi. Awalnya, sang komandan brigade ke-49 pasukan infantri India hendak melihat situasi dengan menumpang mobil. Nasib apes, ia tertembak.

Baca Juga: Luar Biasa! WN Inggris dan Pemuda asal NTT Ikrar Syahadat di Masjid Al Akbar Surabaya

J. G. A Parrott mengurai pertanyaan seputar siapa sebenarnya pembunuh jenderal kampiun perang dunia kedua itu. Melalui artikelnya bertajuk ''Who Killed Brigadier ?'' yang terbit di jurnal Indonesia (1975), Parrott membedah situasi yang terjadi di malam nahas bagi itu. Sumber rujukan Parrott di antaranya berasal dari testimoni mantan wakil , yakni Kolonel LHO Pugh, dan juga dari kesaksian Cak Roeslan Abdulgani yang telah beredar dalam berbagai publikasi.

Situasi Surabaya menghangat setelah kabar beredar luas sejak 18 Agustus 1945. Radio Japan yang telah dikuasai para pemuda menyiarkan kabar itu. Sedangkan teks proklamasi utuh dimuat koran Soeara Asia pada 20 Agustus 1945. Sebagian besar warga Surabaya menyimak peristiwa ini. Pada 22 Agustus 1945, berbagai kelompok pendukung kemerdekaan muncul di mana-mana di dalam kota Surabaya.

Pada 28 Agustus 1945 (KNI) Surabaya terbentuk. Cak Doel Arnowo terpilih sebagai ketua. Beranggotakan 32 warga Surabaya. Aksi massa digelar di lapangan Tambaksari pada 11 September 1945. Setelah itu, sampai jelang akhir September 1945, meletus pertarungan antara para pemuda melawan orang-orang bekas tawanan Jepang. Terjadi insiden Hotel Yamato pada 19 September 1945. Ploegman, orang , tewas.

Baca Juga: Peringati Hari Santri, PWNU Jatim Road Show Seminar Kebangsaan di 16 Kampus

Setelah markas Kenpeitai di kawasan Embong Besar berhasil direbut pada 23 September 1945, keberanian kaum muda meningkat. Pada hari Minggu, 21 Oktober 1945, sampai hari Senin, 22 Oktober 1945, NU mengumandangkan resolusi jihad. Sejak itu, berbondong-bondong kaum muda santri di antaranya dari kawasan Mojokerto, Sumobito dan Jombang, datang ke Surabaya. Mereka menggunakan lori (kereta pengangkut tebu).

Denyut revolusi itu tampaknya tak dibaca seksama oleh intelijen . Surabaya adalah pusat industri gula sejak masa pra-kemerdekaan. Gula dari Surabaya diekspor ke mancanegara. Di seputar kawasan Surabaya banyak ditemukan perkebunan tebu dan pabrik gula. Itulah sebabnya kenapa banyak lori tersedia di sekitar pabrik tebu. Pada 17 Mei 1944, pasukan sekutu (AS dan ) membombardir Surabaya melalui operasi Transom. Namun, operasi ini tak mempengaruhi posisi Jepang sama sekali.

Sebelum Tewas

Baca Juga: Hari Santri Nasional 2024, PCNU Gelar Drama Kolosal Resolusi Jihad di Tugu Pahlawan Surabaya

Sebagai komandan Brigade Infantri ke-49 yang ikut dalam pendaratan pasukan di semenanjung Malaya, dan anak-buahnya sempat dielu-elukan penduduk setempat. Bahkan ketika digelar parade kemenangan di Seremban, dan pasukannya ikut dalam parade itu. Tentu, siapa pun perwira tinggi sumringah ketika penduduk setempat menyambut kehadiran mereka.

Parrott mencatat, saat di India menjadi perwira staf selama perang. Ia menjadi direktur operasi militer pasukan berkedudukan di New Delhi, India. Posisi ini membuatkan bisa langsung menjadi salah-satu penasehat Laksamana Mountbatten. Sebenarnya, ia turun pangkat satu tingkat saat mengepalai brigade infantri ke-49. Semula, sebagai direktur, pangkatnya sudah mayor jenderal. Begitu memegang brigade, pangkatnya melorot jadi brigadir jenderal.

Ia sebelumnya juga tak pernah memegang operasi komando lapangan. Pasukan langsung berangkat dari Singapura. Saat tiba di , Hari Kamis, 25 Oktober 1945, itulah tugas lapangan pertama baginya. Tak ada briefing memadai untuk brigade yang dipimpinnya. Apalagi laporan intelijen tentang situasi lapangan untuknya, juga sangat kurang. Seluruh piranti komunikasi telah dikuasai Jepang sejak mendarat pada 1942. Sedangkan orang-orang yang ditawan Jepang tak punya akses ke alat komunikasi.

Baca Juga: Disambut Antusias Warga Blitar, Khofifah: Pekik Allahu Akbar Bung Tomo Dawuh Hadratussyaikh

Situasi tanpa laporan intelijen dikeluhkan Laksamana Mountbatten. Laporan yang dirujuk Parrott itu menyatakan bahwa Mountbatten sendiri sama sekali tak punya petunjuk apa pun tentang situasi politik di Jawa. Bahkan ketika gubernur-jenderal HJ van Mook bertemu Mountbatten di Kandy, Srilanka, 1 September 1945, Van Mook sama sekali tak menyinggung situasi Jawa.

Pada 26 Oktober 1945, siang hari Brigjen bertemu komandan BKR, Dr Moestopo, di Jembatan penarikan Admiraal Ferwerda, Kali Mas, Surabaya. Lalu, mereka berkendara ke gedung bekas konsulat di Jalan Kayoon, dan disambut Gubernur Jawa Timur, Soerjo. Ketegangan meningkat akibat kebodohan Kapten Shaw mendesak Dr Moestopo untuk membebaskan Huijer, perwira yang sebulan sebelumnya masuk ke Surabaya.

Ketegangan terus belangsung pada 27-29 Oktober 1945. Apalagi, pesawat Dakota milik menebar selebaran isinya memerintahkan warga menyerahkan senjata. Perundingan digelar pada , komandan divisi ke-23 , Jenderal Hawthorn, didampingi Brigjen , bertemu Soekarno, Hatta, Amir Sjarifuddin, Soerjo, Sungkono, Soetomo, dan para pemuda lainnya di gedung pemerintahan.

Baca Juga: Temu Alumi Tebuireng, Gus Kikin: Kalau Tak Ada Resolusi Jihad Tak Ada Perang 10 November

Namun, menjelang sore, situasi terus membara. Perlawanan dari segala arah. bersama dua perwiranya di dalam mobil hendak berkeliling. Langkah keliru berujung maut.

Pelajaran Penting

Adalah menarik apa yang ditulis John Springhall dalam artikelnya "Disaster in Surabaya": The death of brigadier during the British occupation of Java, 1945-46 (1996). Artikel yang dimuat dalam The Journal of Imperial and Commonwealth History itu mengurai sejumlah pelajaran penting dari kasus tewasnya Brigjen di Surabaya.

Baca Juga: Bom Jenis Mortir Ditemukan di Proyek Pengerjaan JLS Blitar

Pertama, minimnya informasi lapangan yang dimiliki justru menjadikan pertempuran Surabaya menjadi fenomenal. Prakiraan meleset. Laksamana Mountbatten sendiri tak punya sensitivitas terhadap situasi di Jawa. Ia hanya tahu, ada ribuan serdadu Jepang yang menyerah. Selebihnya, ia hanya mengira ada kevakuman kekuasaan di Surabaya.

Kedua, semangat imperialistik telah membuat begitu bersemangat membantu . Ibaratnya, sesama imperialis harus saling membantu, begitu kira-kira. tutup mata pada gejolak politik yang muncul di Indonesia sejak Agustus 1945. Bahkan terkesan kuat, jadi kacung . Diboncengi NICA, ditunggangi kepentingan . Ketika diberitakan luas tewas, bungkam.

Ketiga, kehadiran Letnan Kolonel Laurens van der Post ke dalam komunitas intelijen . Laurens pembisik Letnan Jenderal Philip Christison, komandan sekutu di Indonesia sejak September 1945. Laurens sering menyesatkan Christison dalam menilai situasi di Indonesia, khususnya Surabaya.***

Baca Juga: Gubernur Khofifah Dorong Santri Ambil Peran Cegah Perpecahan Akibat Suksesi 2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO