Oleh: Prof Dr KH Imam Ghazali Said, MA
SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Kontribusi fikih siyasah dalam perkembangan pemikiran politik sangat signifikan, baik dalam perspektif konstitusi maupun nasionalisme. Konsekuensinya, konsep khilafah makin terabaikan, terutama karena dianggap utopis, baik dalam perspektif politik kebangsaan maupun mondial.
Baca Juga: Skema Murur, Mabit di Muzdalifah Wajib atau Sunnah Haji? Ini Kata Prof Kiai Imam Ghazali Said
Namun, menurut Prof Dr KH Imam Ghazali Said, MA, fikih siyasah sendiri sebagai produk fikih Islam kurang berkembang. Benarkah?
Nah, pembaca BANGSAONLINE.com, baik di Indonesia maupun di luar negeri, bisa mengikuti tulisan seri ke-4 Pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur Wonocolo Surabaya itu. Tulisan ini - seperti tulisan-tulisan sebelumnya - dimuat di HARIAN BANGSA secara bersambung sejak Rabu, 23 Nopember 2022 lalu. Selamat mengikuti:
Fikih siyasah merupakan salah satu contoh dari produk fikih Islam yang bisa dikategorikan kurang berkembang dan belum menghasilkan inovasi nyata. Bahkan kosakata dan kajian ilmiahnya masih memiliki ketergantungan kuat kepada produk-produk konseptual yang dikembangkan fuqaha klasik seribu tahun lalu. Beberapa pakar fikih memang telah melakukan upaya ijtihad atau melakukan reinterpretasi, tetapi spektrumnya masih relatif terbatas seputar isu terminologi politik dan aplikasinya di era modern. Karya-karya kontemporer belum sampai menyentuh pada substansi atau menghasilkan terobosan teoritis di bidang ini.
Baca Juga: Minta Kebijakan Murur Dievaluasi, Prof Kiai Imam Ghazali: Hajinya Digantung, Tak Sempurna, Jika...
Muslim Indonesia, khususnya komunitas pesantren, bisa dibaca sebagai representasi dari fenomena tersebut. Mereka masih berpegang teguh pada berbagai pendapat fuqaha klasik dalam memahami fikih siyasah, semisal Imam al-Mawardi (972-1058 M) dalam karyanya al-Ahkam al-Sultaniyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyah (1292-1350 M) dalam karyanya Ahkam Ahl al-Dhimmah serta Ibn Taymiyah(1263-1328) dalam karyanya: al-Siyasah al-Syar’iyah fi Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyah. Jumhur fuqaha klasik berpandangan bahwa penduduk negara Islam (baca: sistem khilafah) terdiri dari muslim dan non-muslim, atau yang sering disebut ahl al-dzimmah.
Hal ini kemudian berimplikasi pada terbentuknya tatanan masyarakat dengan struktur asimetris yang secara sosiologis membedakan hak dan kewajiban antara warga negara kelas satu (istimewa) dan warga negara kelas dua (biasa)
Faktanya, dunia saat ini telah berkembang dengan tatanan kehidupan politik Negara Bangsa yang tidak didirikan atas dasar status agama warga negaranya. Negara Bangsa dibangun atas dasar kebersamaan dan kesamaan hak serta kesamaan kewajiban antar warga negaranya. Mereka memiliki kedudukan yang setara di hadapan negara dan di mata hukum. Konsepsi Negara Bangsa ini tidak mengenal pembedaan status warga negara ke dalam kelas-kelas sosial yang diskriminatif. Negara Bangsa tidak memberi ruang dan pengakuan terhadap eksistensi status kewarganegaraan seperti dzimmi dalam fikih siyasah klasik.
Baca Juga: Istri Tak Penuhi Kebutuhan Biologis, Saya Onani, Berdosakah Saya?
Di antara upaya yang pernah dilakukan untuk mengadaptasikan konsep negara bangsa ke dalam fikih siyasah adalah Abu al-A’la al-Mawdudi (1903-1979 M) dalam bukunya Huquq Ahl al-Dhimmah fi al-Dawlah al-Islamiyah. Beliau berusaha menawarkan konsep jaminan khusus dan hak-hak publik bagi ahl al-dzimmah di negara Islam, seperti hak hidup, persamaan hak dan kewajiban, baik dalam hukum pidana maupun hukum perdata, saling menghormati, hak privasi, hak beribadah, hak memiliki rumah ibadah, dan hak-hak lainnya.
Tetapi gagasan ini masih mempergunakan terma ahl al-dzimmah. Konsep dan gagasan ini belum bisa diterapkan secara kontekstual di negaranya. Bukan saja karena Republik Islam Pakistan berdiri atas dasar nasionalisme kebangsaan, meski mayoritas penduduknya kaum Muslim, tetapi secara politik, partai preferensi Abu al-A’la al-Mawdudi, Jama’at -i- Islami, justru selalu kalah dalam beberapa kali pemilihan umum.
Upaya serupa dilakukan oleh Rashid al-Ghannushi (1941-sekarang) dalam bukunya Huquq al-Muwatanah: Huquq Ghayr al-Muslim fi al-Mujtama’ al-Islami. Beliau mengumpulkan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis nabi tentang hak-hak warga negara di negara Islam. Beliau berusaha mendefinisikan ulang hak-hak ahl dzimmah atau minoritas non-Muslim dalam bingkai solidaritas sosial sebagaimana pernah dilakukan Khalifah Umar bin al-Khattab(584-644 M.
Baca Juga: Rencana Nikah Tak Direstui karena Weton Wanita Lebih Besar dan Masih Satu Buyut
Di buku ini dijelaskan bahwa; Islam mampu menerima konsep “warga negara setara” dengan dalil-dalil fikih yang kuat dan rasional sehingga pendapatnya itu bisa diakui sebagai hasil ijtihad yang logis dan rasional. Sayangnya, al-Ghannushi harus mendekam dua kali di penjara Tunisia, suatu negara yang didirikan atas dasar nasionalisme skuler dan bukan negara berdasarkan agama tertentu, termasuk Islam.
Kontribusi pemikiran Ghannushi masih sejauh gagasan di atas kertas. Belum lagi penggunaan konsep ahl al-dhimmah yang pasti memantik resistensi dari warga negara non-muslim. Ketika Partai al-Nahdah yang ia dirikan berkoalisi dengan pemerintah yang merupakan representasi partai nasionalis sekuler , ide “kesetaraan warganegarnya” dalam fikih siyasah tersebut seolah makin terabaikan dan terlupakan.
Tetapi, yang terpenting dari gagasan al-Ghannushi adalah semua warga negara dalam Negara Bangsa -apapun agama dan sukunya adalah al-muwathin (warga negara) dan menghindari term ahl dzimmah bagi non muslim. Gagasan kesetaraan istilah ini diperkuat oleh pemikir Mesir Fahmi Huwaidi dalam karyanya: Muwathinun la Dzimmiyun.
Baca Juga: Peletakan Batu Pertama Perpustakaan Khofifah, Prof Kiai Imam Ghazali Berharap seperti Al-Azhar Mesir
Konsep ahl al-dzimmah sendiri telah mengalami pergeseran makna dari yang semula dipahami pada masa Rasulullah SAW. Awalnya, konsep ini pernah menjadi tonggak penting toleransi dan kebersamaan dalam membangun peradaban Islam yang bersandar pada prinsip “Tidak ada paksaan dalam agama” (al-Baqarah: 25) dan juga “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (al-Kafirun: 6).
Ahl al-dhimmah juga bukan merupakan syarat sah berdirinya suatu negara atas dasar syariat. “Dan sungguh janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong dirimu untuk bertindak tidak adil...”(al-Maidah:8). Tujuan utamanya adalah bagaimana negara memberi jaminan agar tidak terjadi represi terhadap non-muslim dan kaum minoritas.
Maka, jika implementasi konsep warga negara dapat mewujudkan tujuan utama tersebut serta kompatibel dengan prinsip Islam untuk membangun kesetaraan, tentu hal ini bagian penting dari substansi tujuan hukum Islam, seperti diteladankan oleh Umar bin al-Khattab ketika menerima pembayaran dari suku Tiglib dengan nama zakat dan bukannya jizyah. Suatu bentuk afirmasi bahwa suku Tiglib masih menunjukkan komitmen mendukung dan menjaga keselamatan negara. (bersambung).
Baca Juga: Pembubaran Pengajian di Surabaya, Prof Kiai Imam Ajak Bagi Tugas Dakwah, Syafiq Basalamah Wahabi?
Prof Dr KH Imam Ghazali Said, MA adalah pengasuh Rubrik Tanya Jawab Islam di HARIAN BANGSA, dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur Wonocolo Surabaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News