SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Setiap zaman ada pemimpinnya, ini berlaku dalam estafet kepemimpinan nasional. Contohnya, setelah 10 tahun jadi presiden, rakyat mulai bosan terhadao gaya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terlalu rapi, terukur dan jaim.
Siapapun presiden di negara manapun, setelah 10 tahun orang akan bosan, ingin mencari antitesis. Rizal Ramli mengisahkan, adalah Karim Raslan, ahli strategi komunikasi Malaysia (Ibu Inggris, Bpk Malaysia) keliling Indonesia untuk mencari anti-thesis SBY, ketemulah Wali Kota Solo, Jokowi. Antitesis dalam posture, style, pemikiran, lingo, dan sebagainya.
Baca Juga: Alasan PDIP Pecat Jokowi dan Kelucuan Pidato Gibran Para-Para Kiai
Karim lah yg mempromosikan Jokowi di media-media internasional sebagai calon pengganti SBY. Seperti biasa, media-media nasional langsung menjadi pengikut atau followers.
"Mulai saat itulah Jokowi booming. Apa lagi didukung oleh mayoritas Pollsters dan Influencers," kata RR sapaan akrab Tokoh Nasional itu melalui keterangan tertulis yang diterima BANGSAONLINE.com, Minggu (5/3/2023).
Pertanyaannya hari ini siapa antitesis Jokowi? Apakah Anies Baswedan, seperti yang pernah disampaikan politikus NasDem, Zulfan Lindan atau dia hanya sintesis Jokowi ? Yang jelas antitesis itu harus terlihat dalam bentuk substansi, posture, gestur, gaya, lingo dsb.
Baca Juga: Sidang Restitusi, Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Tuntut Rp17,5 M dan Tagih Janji Presiden
RR mengaku dengan sadar memang memilih untuk jadi antitesis Jokowi. Baik karena secara alamiah memang tidak suka dengan basa-basi, apa adanya (candid), to-the-point, kritis tapi selalu solutif karena percaya itulah yg dibutuhkan oleh rakyat hari ini.
RR juga dengan sengaja memilih bahasa dan lingo yang agak urakan, memancing pertukaran pikiran. Tidak jaim karena memamg tidak suka jaim, just be myself. Tentu ada resikonya, elit feodal yang berlapis baju kesantunan akan tidak suka.
"Tapi coba cek di Jawa Timur, pantau Jawa Tengah bagian Utara, Jawa Barat, Maluku, Sulawesi, Sumatera, ternyata happy saja. Banyak yang senang dengan gaya apa adanya RR. Tapi saya memang sulit diterima di kalangan feodal Solo dan Selatan Jawa Tengah," ujar Menko Perekonomian Era Presiden Abdurrahman Wahid ini.
Baca Juga: Rocky Gerung Ajak Pemuda di Surabaya Kritis Memilih Pemimpin
RR mengungkapkan, Almarhum Buya Syafi'i Maarif sering sekali menasehati dirinya supaya lebih ‘Njawani’. Namun RR menjawab dengan gamblang.
“Maaf Buya ndak bisa, kalau nyoba-nyoba akan keliatan palsunya," imbuh Ekonom senior itu.
Rizal juga menceritakan, sering kali Perdana Menteri Singapora Lee Kwan Yew ke Jakarta, pasti ngajak makan malam dirinya. Terakhir kali ke Indonesia, Pak Lee undang ia makan malam di Shangrilla. Rizal pun memberanikan bertanya. “ Pak Lee kok ngomong terlalu terus terang, apa adanya, terlalu candid ? Apa tidak takut tidak populer ?”.
Baca Juga: Dukung Swasembada Pangan, Menteri ATR/BPN: Butuh Tata Kelola Pertanahan yang Baik
Jawaban Pak Lee: “Saya harus bicara apa adanya supaya rakyat mengerti, masalah, solusi dan resikonya. Ndak populer ndak apa-apa, rakyat baru akan berterima kasih kepada saya setelah melihat hasilnya," katanya.
Mantan Komisaris Utama Semen Gresik ini mengatakan, pemimpin - pemimpin Asia yang berhasil menjadi transformer bangsanya ternyata memiliki kesamaan. Mereka semua bicara apa adanya, tidak banyak kembang atau candid.
"Contohnya, Gubernur DKI Ali Sadikin, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad, Perdana Menteri Singapore Lee Kwan Yew, Perdana Mentri China Zhu Rong Yi dan PM Thailand Thaksin Sinawatra. Semua pemimpin-pemimpin hebat di masanya," tutur RR.
Baca Juga: Vinanda-Gus Qowim dapat Pesan Peningkatan Industri Pariwisata dari Jokowi
Menurut RR, sudah waktunya bangsa ini meninggalkan kembang - kembang pencitraan dan sifat - sifat feodal.
"Mari kita dorong kompetisi kepemimpinan Indonesia yang berdasarkan integritas (amanah), visi dan strategi perbaikan, track record dan kapasitas problem-solving. Barulah Indonesia makmur dan berjaya," pungkas sahabat dekat Gus Dur tersebut. (mdr/mar)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News