JAKARTA, BANGSAONLINE.com – KH Abdul Chalim Leuwimunding Majalengka Jawa Barat layak menjadi pahlawan nasional karena jasa-jasanya sebagai salah seorang kiai pendiri NU dan pejuang kemerdekaan RI. Kiai Abdul Chalim juga ulama yang berinteraksi langsung dengan Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Hasbullah yang dua-duanya telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada17 Nopember 1964 oleh Presiden Soekarno. Sedang Kiai Wahab Hasbullah ditetapkan pemerintah sebagai pahlawan nasional pada 7 Nopember 2014 oleh Presiden Joko Widodo.
Baca Juga: Di Hadapan Mendagri, Anggota DPR RI Ungkap Tumpukan Uang dan Pelanggaran ASN dalam Pilbup Mojokerto
Demikian pemikiran para nara sumber yang berkembang dalam Seminar Nasional bertema Mengusung KH Abdul Chalim sebagai Pahlawan Nasional yang berlangsung di Ruang Delegasi, Gedung Nusantara IV, Komplek Parmenen, Senayan Jakarta, Selasa (18/4/2023).
Para nara sumber itu terdiri dari Wakil Ketua MPR Yandri Susanto, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran Prof Dr Reiza D Dienaputra, Guru Besar Sosiologi Politik UIN Sunan Ampel Surabaya Prof Dr Abdul Halim, mantan Waka BIN Dr KH As’ad Said Ali dan Wakil Bupati Mojokerto Dr Muhammad Albarra (Gus Bara). Yang terakhir ini cucu Kiai Abdul Chalim.
Sementara Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim yang merupakan putra ke-21 Kiai Abdul Chalim didaulat sebagai keynote speaker.
Baca Juga: Jualannya Diborong Kiai Asep, Pedagang Pasar Pugeran: Kami Setia Coblos Paslon Mubarok
Prof Dr Reiza D Dienaputra berpendapat bahwa Kiai Abdul Chalim sangat layak mendapat gelar pahlawan nasional. Bahkan Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad Bandung Jawa Barat itu mengaku telah mengusulkan Kiai Chalim sebagai pahlawan sejak 2019 saat membimbing atau menguji disertasi Muhammad Albarra (Gus Bara) yang membahas tentang perjuangan Kiai Abdul Chalim.
“Saat itu saya menyampaikan kepada Gus Bara bahwa Kiai Abdul Chalim ini sangat layak diusulkan sebagai pahlawan nasional,” kata Prof Reiza sembari mengatakan bahwa Kiai Abdul Chalim adalah sosok luar biasa.
Baca Juga: Petakan Potensi Desa, Mendes Yandri: Harus Jadi Supplier Bahan Baku Makan Bergizi Gratis
(Peserta Seminar Nasional Pengusungan KH Abdul Chalim sebagai Pahlawan Nasional di Ruang Delegasi, Gedung Nusantara IV, Komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (18/4/2023). Foto: BANGSAONLINE)
Prof Reiza berpendapat bahwa para kiai dan santri paling berperan dalam memerdekaan negara Indonesia.
“Tanpa peran kiai dan santri tak akan pernah ada negara ini,” tegas Prof Reiza di depan sekitar 250 peserta seminar yang berasal dari Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Makassar dan lainnya.
Baca Juga: Jelang Debat Kedua Pilgub Jatim 2024, Khofifah Didoakan Kiai Asep
Hanya saja Prof Reiza mengingatkan agar proses pengusungan Kiai Abdul Chalim sebagai pahlawan nasional itu ditempuh secara procedural dan sesuai regulasi. Terutama lewat perjuangan dengan dokumen sesuai historiografi.
“Tidak ujug-ujug atau berdasar alkisah atau konon, “ tegas Prof Reiza dalam seminar yang dipandu Ahmad Zuhri itu.
Karena itu perjalanan hidup dan perjuangan Kiai Abdul Halim harus ditelusuri, termasuk heritage-nya. Ia khawatir sosok besar sekaliber Kiai Abdul Chalil gagal jadi pahlawan nasional gara-gara masalah dokumentasi atau histiografi yang digarap secara tidak profesional.
Baca Juga: Emil Dardak Puji Gus Barra Berilmu Tinggi, Punya Jejaring Luas, Rubaie: Dekengani Pusat
“Karena itu kita perjuangkan dengan cara bermartabat,” tambah Prof Reiza.
Ia juga mengungkapkan bahwa pahlawan nasional yang mendapat gelar resmi dari pemerintah masih sangat sedikit dibanding jumlah pejuang yang terlibat dalam kemerdekaan RI. Apalagi dibanding jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar, yaitu mencapai 276.639.440 jiwa.
Baca Juga: Gus Barra dan Kiai Asep Borong Dagangan, Pedagang Pasar Kutorejo Bersyukur dan Mantap Pilih Mubarok
Sampai sekarang baru sekitar 200 orang,” kata Prof Reiza sembari mengatakan bahwa yang masuk kategori pahlawan tak hanya mereka yang terlibat perjuangan fisik tapi juga non fisik yang berjasa bagi negara Indonesia.
Ia juga menegaskan bahwa pahlawan nasional banyak berasal dari kiai dan santri karena laskar yang pertama muncul melawan penjajah adalah laskar Islam. Termasuk laskah Hizbullah. Karena itu wajar jika banyak kiai dan santri – termasuk Kiai Abdul Chalim – layak mendapat gelar pahlawan nasional.
Prof Dr Kiai Asep Saifuddin Chalim yang menjadi keynote speaker dalam seminar nasional itu mengungkap masa kecil Kiai Abdul Chalim hingga mondok di Makkah yang kemudian berteman akrab dengan Kiai Abdul Wahab Hasbullah dan terlibat mendirikan NU dan perang kemerdekaan RI.
Baca Juga: 3.000 Relawan Barra-Rizal Ikuti Bimtek Saksi, 20 Rombong Bakso, Tahu Thek dan Soto Gratis Ludes
Menurut Kiai Asep, Kiai Abdul Chalim dilahirkan di Leuwimunding pada tanggal 2 Juni 1898.
“Ia putra dari Kedung Wangsagama dan ibu Satimah. Ayahnya adalah seorang Kuwu (kepala desa dengan wilayah yang luas) dan ia sangat disegani,” tutur Kiai Asep.
Menurut dia, Kedung Wangsagama juga putra dari seorang kuwu, bernama Kedung Kertagama,” katanya.
Baca Juga: Polemik Nasab Tak Penting dan Tak Ada Manfaatnya, Gus Fahmi: Pesantren Tebuireng Tak Terlibat
Begitu Kedung Kertagama. Dia putra dari Buyut Liuh yang merupakan seorang pejuang republik. “Putra seorang Pangeran Cirebon, sehingga silsilah KH. Abdul Chalim pun bersambung kepada Sunan Gunung Djati,” katanya. Sunan Gunung Djati itu bernama Syarif Hidayatullah.
Kiai Asep juga menjelaskan bahwa Kiai Abdul Chalim menghabiskan masa kecilnya bersekolah di Sekolah H I S (Hollandsch Inlandsche School). Kemudian, Ia belajar di beberapa pesantren di wilayah Leuwimunding dan Rajagaluh, di antaranya Pondok Pesantren Banada, Pondok Pesantren al Fattah Trajaya, dan Pondok Pesantren Nurul Huda al Ma’arif Pajajar. Pada tahun 1913, KH. Abdul Chalim naik haji dan belajar di Mekkah.
Nah, di Makkah itulah Kiai Abdul Chalim berteman akrab dengan Kiai Abdul Wahab Hasbullah dan KH Asnawi dari Kudus. “Ia tercatat sebagai anggota SI (Sarikat Islam) termuda cabang Mekkah,” kata Kiai Asep.
Jadi kegemarannya berorganisasi sudah tumbuh sejak muda, sejak mondok di Makkah. Tak aneh, jika saat kembali ke tanah air Kiai Abdul Chalim dan Kiai Abdul Wahab Hasbullah kemudian banyak mendirikan organisasi.
Bahkan Kiai Wahab dan Kiai Chalim mendapat gelar Muharrikul Afkar. Artinya penggerak dan pembangkit semangat perjuangan.
“Kiai Abdul Chalim dan Kiai Wahab itu dwi tunggal,” kata Dr Kiai As’ad Said Ali yang juga menjadi pembicara.
Karena itu, mantan Wakil Ketua BIN itu sepakat Kiai Abdul Chalim diangkat sebagai pahlawan nasional.
Senada dengan Kiai Asep, Gus Bara mengungkap poin-poin disertasinya saat meraih gelar S3 di Unpad. Putra sulung Kiai Asep Saifuddin Chalim itu menceritakan perjalanan Kiai Abdul Chalim saat mondok di Makkah hingga mendirikan NU dan terlibat perjuangan kemerdekaan RI.
Sementara Yandri Susanto mengungkapkan bahwa Kiai Abdul Chalim adalah ulama yang besar jasanya terhadap bangsa Indonesia. Karena itu ia lalu menempatkan seminar ini di Gedung MPR.
Meski demikian ada yang tak setuju. Menurut dia, ada yang mengusulkan agar seminar itu tak digelar di ruang rapat pimpinan MPR RI itu. Alasannya, “Karena ini ruang khusus pimpinan MPR. Para pimpinan MPR kalau rapat di sini. Semua masalah-masalah penting internal MPR dibahas di ruangan ini, ” kata Yandri Susanto.
Tapi Yandri mengaku tetap bersikukuh agar seminar digelar di ruangan rapat MPR itu. Menurut dia, sosok Kiai Abdul Chalim jauh lebih penting dari pada kita semua.
“Karena Kiai Abdul Chalim inilah yang mendirikan republik ini. Kalau saya hanya penikmat kemerdekaan. Kita semua hanya penikmat kemerdekaan,” kata Yandri saat memberikan sambutan dalam seminar nasional yang berlangsung sore hari menjelang buka puasa itu.
Apalagi, kata Yandri, Kiai Abdul Chalim pernah menjadi anggota MPRS. Jadi, tegas Yandri, peran Kiai Abdul Chalim sangat paripurna andilnya terhadap bangsa.
"Itulah sebabnya mengapa saya, ikut andil dalam pengusungan KH. Abdul Chalim mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional. Semoga dengan dukungan rakyat, jalan ke arah itu akan semakin mudah dan lancar," kata Yandri kepada wartawan.
Sedang Prof Dr Abdul Halim lebih banyak mengungkap sisi spiritulitas Kiai Abdul Halim, terutama menjelang wafatnya. Mengutip dokumen yang diberitakan Gus Bara dan penjelasan Kiai Asep, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya itu mengatakan bahwa Kiai Abdul Chalim selalu membawa Kitab Al-Hikam karya ulama besar Imam Ghazali.
Bahkan, kata Prof Abdul Chalim, menjelang wafatnya Kiai Abdul Chalim selalu didatangi dua orang berjubah putih yang selalu mengucapkan salam. Menurut dia, dua orang berjubah putih itu mengucapkan salam kepada Kiai Abdul Chalim tapi menyebut sebagai Imam Ghazali.
“Berarti Kiai Abdul Chalim sudah diakui sebagai santri Imam Ghazali,” kata Prof Abdul Halim menyimpulkan. (M Mas’ud Adnan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News