Oleh: Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA*)
SURABAYA, BANGSAONLINE.com - KH. Abdul Chalim (pakai C atau Chalim) dilahirkan di Leuwimunding pada tanggal 2 Juni 1898. Ia putra Kedung Wangsagama dan ibu Satimah. Ayahnya seorang Kuwu (kepala desa dengan wilayah yang luas) dan ia sangat disegani. Putra dari seorang kuwu juga, bernama Kedung Kertagama, putra dari Buyut Liuh yang merupakan seorang pejuang republik. Putra seorang Pangeran Cirebon, sehingga silsilah KH. Abdul Chalim pun bersambung kepada Sunan Gunung Djati (Syarif Hidayatullah).
Baca Juga: Di Hadapan Mendagri, Anggota DPR RI Ungkap Tumpukan Uang dan Pelanggaran ASN dalam Pilbup Mojokerto
KH. Abdul Chalim menghabiskan masa kecilnya bersekolah di Sekolah H I S (Hollandsch Inlandsche School). Kemudian, Ia belajar di beberapa pesantren di wilayah Leuwimunding dan Rajagaluh, di antaranya Pondok Pesantren Banada, Pondok Pesantren al-Fattah Trajaya, dan Pondok Pesantren Nurul Huda al Ma’arif Pajajar. Pada tahun 1913, KH. Abdul Chalim naik haji dan belajar di Mekkah.
KH. Abdul Chalim pada saat belajar di Mekkah bertemu dan berkawan antara lain dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Asnawi Kudus. Ia tercatat sebagai anggota SI (Syarikat Islam) termuda cabang Mekkah. Ia berguru kepada beberapa ulama Mekkah, yang antara lain KH. Mahfud Termas, dan pada tahun 1914 KH. Abdul Chalim bersama dengan beberapa temannya kembali ke IndonesIa
KH. Abdul Chalim sekembalinya dari Mekkah Ia berkhidmat kepada kedua orang tuanya, yaitu membantu untuk menyelesaikan tugas tugas ayahnya. Setelah ayahnya meninggal dunia Ia teringat akan temannya KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan komitmennya untuk ikut serta memerdekakan Indonesia . Maka pada tahun 1922 Ia berangkat ke Surabaya dengan berjalan kaki selama 14 hari untuk menanamkan dan menebalkan nasionalisme dan kecintaanya terhadap tanah air. Pada hari ke-12 beliau singgah di Pondok Pesantren Tebuireng dan tinggal sehari semalam di Tebuireng untuk mendapatkan bimbingan, pengarahan dan nasehat dari KH. Hasyim Asy’ari, dari sinilah mulai terbangun komunikasi intensif dengan KH. Hasyim Asy’ari.
Baca Juga: Jualannya Diborong Kiai Asep, Pedagang Pasar Pugeran: Kami Setia Coblos Paslon Mubarok
KH. Abdul Chalim setibanya di Surabaya. Ia langsung bergabung dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah. Untuk membantu menangani dan memanage organisasi organisasi yang telah dirintis oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, yaitu Nahdlatul Wathan dan Taswirul Afkar.
Dengan kepiawaian dan kepandaiannya dalam memanage organisasi maka organisasi-organisasi tersebut berkembang pesat sehingga terbentuk Nahdlatul Wathan di berbagai cabang, yaitu Sidoarjo dan Gresik dan cabang cabang yang lain. Nahdlatul Wathan yaitu tempat pengkaderan dan pengkursusan para pemuda yang dipersiapkan untuk menjadi para pemimpin bangsa, untuk periode 1924 dipimpin langsung oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Abdul Chalim sebagai sekretarisnya dengan jumlah peserta sebanyak 65 peserta. Mereka berdua juga bertindak sebagai tutor dan karena kepandaian mereka dalam melakukan Tahrikil Afkar (memotivasi dan membangkitkan semangat) utamanya untuk kemerdekaan maka Nahdlatul Wathan pada periode ini setelah menyelesaikan program kurikulumnya menjelma menjadi Syubbanul Wathan yang diketuai oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Abdul Chalim bertindak sebagai sekretarisnya
KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Abdul Chalim mulai tahun 1922 merupakan dua orang sahabat senior dan juniornya yang tidak pernah berpisah, saling harga menghargai dan saling menghormati, keduanya adalah anak-anak muda yang cerdas antisipatif dan penuh kreatif.
Baca Juga: Jelang Debat Kedua Pilgub Jatim 2024, Khofifah Didoakan Kiai Asep
Mereka senantiasa mendapatkan bimbingan dan pantauan serta pengarahan dari KH. Hasyim Asy’ari. Sehingga pada saat mereka memimpin Syubbanul Wathan mereka mendirikan komite Hijaz yang bertugas untuk mengundang ulama-ulama pesantren dengan agenda untuk mendirikan organisasi Ulama – ulama Pesantren, meresponkejadian yang terdapat di Hijaz dan agenda utamanya adalah untuk kemerdekaan IndonesIa.
Susunan kepengurusan komite Hijaz ini penasehatnya adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah, dan KH. Abdul Chalim ditempatkan sebagai wakil sekretaris untuk memudahkan percepatan penjabaran konsep-konsep organisasi. Ketuanya Hasan Gipo, sedangkan wakil ketuanya Shaleh Syamil dan sekretarisnya Muhammad Shodiq.
KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Abdul Chalim setelah mendirikan komite Hijaz segera mereka mengkonsep surat yang ditulis oleh KH. Abdul Chalim di Kertopaten, Surabaya. Kemudian surat tersebut dikirimkan ke ulama – ulama besar pesantren seluruh Jawa dan Madura yang pengirimannya dikoordinir oleh KH. Abdul Chalim. Yang agendanya adalah untuk mengkonsep surat yang ditujukan kepada Raja Abdul Azis dalam rangka merespon apa yang rencana dilakukan oleh Raja abdul Azis, untuk menghancurkan situs-situs Nabi termasuk makam Nabi.
Baca Juga: Emil Dardak Puji Gus Barra Berilmu Tinggi, Punya Jejaring Luas, Rubaie: Dekengani Pusat
Agenda kedua adalah untuk mendirikan organisasi para Ulama Pesantren, sedangkan agenda utamanya adalah untuk kemerdekaan Negara Republik IndonesIa. Surat yang ditulis dan dikirimkan kepada Ulama – ulama pesantren dan pengirimannya dikoordinir oleh KH. Abdul Chalim mendapatkan respon yang luar bIasa dari para ulama, mereka semuanya hadir untuk memenuhi undangan tersebut.
Komite Hijaz pada tanggal 31 Januari 1926 yang bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H menyelenggarakan pertemuan yang diikuti oleh 65 ulama, yang antara lain KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng, KH. Ahmad Dahlan Ahyat Surabaya, KH. Abdul Wahab Hasbullah Surabaya, KH. Abdul Chalim, KH. Abdullah Ridhwan Surabaya , KH. Mas Alwi Surabaya, KH. Dara Muntaha Bangkalan, KH. Ridhwan Semarang, KH. Zubeir Sarang, KH. Asnawi Kudus, KH. Mas Nawawi Sidogiri.
Dengan menelurkan beberapa keputusan, antara lain ;
Baca Juga: Gus Barra dan Kiai Asep Borong Dagangan, Pedagang Pasar Kutorejo Bersyukur dan Mantap Pilih Mubarok
1. Pokok – pokok pikiran dari surat yang dikirim kepada Raja Abdul Azis di Makkah
2. Memutuskan nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama sebagai pengirim dari surat yang
akan dikirim. Nahdlah diambilkan dari nama Nahdlatul Wathan, sedangkan ulama
Baca Juga: 3.000 Relawan Barra-Rizal Ikuti Bimtek Saksi, 20 Rombong Bakso, Tahu Thek dan Soto Gratis Ludes
dari para ulama yang hadir saat itu.
3. Menetapkan delegasi yang akan mengirimkan surat adalah KH. Asnawi Kudus
4. Terus mengobarkan semangat untuk kemerdekaan.
Baca Juga: Antusias Masyarakat Sambut Gus Barra Borong Dagangan di Pasar Trawas
Setelah ditetapkannya pengirim surat ini adalah Nahdlatul Ulama, maka saat itu pula disusun pengurus intinya Syuriah, Rais Akbar KH. Hasyim Asy’ari, Wakil Rais KH. Ahmad Dahlan Ahyat, Katib Awwal KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Katib Tsani KH. Abdul Chalim.
Sedangkan susunan Tanfidziyahnya diambilkan dari pengurus komite Hijaz, ketuanya Hasan Gipo, Wakilnya Shalih Syamil dan sekretarisnya Muhammad Shodiq dan Bendaharanya H. Burhan. Kelengkapan susunan pengurusnya diserahkan kepada pengurus inti dan dikoordinir oleh KH. Abdul Chalim.
Dari hal tersebut di atas, yang membedakan KH. Abdul Chalim dengan 65 pendiri NU yang lainnya, KH. Abdul Chalim sebagai penulis surat dan koordinator pengiriman surat, KH. Abdul Chalim yang mengusulkan agar isi surat tersebut tujuan pertamanya yaitu kemerdekaan Republik.
Baca Juga: Kampanye Simpatik Pasangan Mubarok, Kiai Asep Gelorakan Semangat untuk Masyarakat
KH. Abdul Chalim sejak tahun 1922 bertempat tinggal di Kedung Sroko gg. 5 Surabaya untuk terus berjuang bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah menggerakkan dan memanage organisasi dan mendirikan sekolah – sekolah, antara lain sekolah – sekolah yang didirikannya di Kedung Sroko Surabaya, di Bubutan dan Kebon Dalem Surabaya, tetapi sesekali juga pulang ke Jawa Barat, ke Cirebon dan Majalengka untuk mendirikan cabang – cabang Nahdlatul Ulama di Jawa Barat dan menggerakkan semangat perlawanan terhadap penjajah.
Selanjutnya, KH. Abdul Chalim juga ditugaskan di Semarang untuk mendirikan cabang – cabang Nahdlatul Ulama di Jawa Tengah dan membina sekolah – sekolah di Semarang. Ia terus berjuang bersama dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah untuk mengembangkan Nahdlatul Ulama. Ia senantiasa hadir dalam setIap muktamar Nahldatul Ulama hingga akhir hayatnya, ikut serta aktif dan memberikan kontribusi.
KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Abdul Chalim sempat tersendat komunikasi mereka saat penjajahan Jepang, karena Jepang mengawasi ketat terhadap keberadaan organisasi – organisasi. tetapi setelah berakhirnya penjajahan Jepang, Kembali aktif komunikasi KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Abdul Chalim, dan mereka juga terus mendapatkan bimbingan dan pengarahan dari KH. Hasyim Asy’ari.
KH. Abdul Chalim selain sebagai teman kepercayaan KH. Abdul Wahab Hasbullah, Ia juga sebagai orang kepercayaan KH. Hasyim Asy’ari. Pada tahun 1945 di Bulan November sebagai orang yang pernah menempuh rute Cirebon ke Surabaya pada tahun 1922,
Ia diminta oleh KH. Hasyim Asy’ari untuk bersama – sama dengan KH. Abbas Buntet dalam membawa pasukan ke Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945. KemudIan di zaman kemerdekaan, sebagai seorang ahli hikmah dan pemberani Ia melakukan tugasnya menyadarkan para Kyai yang terprovokasi oleh PKI yang memplesetkan singkatannya Parta Kyai IndonesIa dan menyadarkan para Kyai yang terpengaruh oleh propaganda DI TII (Darul Islam Tentara Islam IndonesIa) untuk kembali ke pangkuan Republik, baik di Jawa Barat ataupun di Makassar.
Perjalanan dan pengalaman KH. Abdul Chalim dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah pada saat di Makkah, KH. Abdul Chalim menjadi pendamai dari ketegangan yang kadang- kadang terjadi anatara KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Asnawi Kudus. Dan pada saat di Surabaya, di Nahdlatul Wathan menjadi pendamai dari ketegangan yang kadang terjadi antara KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Mas Alwi Surabaya, dan menjadi komunikator yang intensif antara KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Hasyim Asy’ari dalam pendirIan organisasi Nahdlatul Ulama, Sehingga KH. Abdul Chalim mendapatkan laqob “Mushlikhu Dzatil Bain” (pendamai dari kedua pihak yang berselisih).
Gelar lain yang dimiliki KH. Abdul Chalim yaitu Muharrikul Afkar yaang artinya penggerak dan pembangkit semangat perjuangan. Dan KH. Abdul Wahab Hasbullah memilki juga gelar Muharrikul Afkar dan secara khusus beliau memiliki gelar Badrul Ihtifal yang artinya Singa Podium atau pusat perhatian hadirin.
KH. Abdul Chalim wafat dan dikebumikan di Leuwimunding pada tanggal 12 Juni 1972 dalam keadaan terkelungkup. Di sebelahnya terbuka buku tergeletak bulpoin tengah menuliskan sya’ir yang menggambarkan ketika seseorang akan meninggalkan kehidupan, pada pukul 11.30 menjelang Dhuhur, setelah sebelumnya pada pukul 10.00 mengumpulkan seluruh anggota keluarganya untuk diberikan nasehat. KH. Abdul Chalim kedapatan meninggal dunia oleh istrinya saat mengantarkan makan siang.
*) Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA adalah putra ke-21 KH Abdul Chalim yang kini Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) dan pendiri serta pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto Jawa Timur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News