Tafsir Thaha 65-69: Lakon, Kalah Duluan

Tafsir Thaha 65-69: Lakon, Kalah Duluan Ilustrasi.

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

65. Qaaluu yaa muusaa immaa an tulqiya wa-immaa an nakuuna awwala man alqaa

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Mereka (para penyihir) berkata, “Wahai Musa, apakah engkau yang melemparkan (dahulu) atau kami yang lebih dahulu melemparkannya?”

66. Qaala bal alquu fa-idzaa hibaaluhum wa’ishiyyuhum yukhayyalu ilayhi min sihrihim annahaa tas’aa

Dia (Musa) berkata, “Silakan kamu melemparkan!” Tiba-tiba tali-temali dan tongkat-tongkat mereka terbayang olehnya (Musa) seakan-akan ia (ular-ular itu) merayap cepat karena sihir mereka.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

67. Fa-awjasa fii nafsihi khiifatan muusaa

Maka, terlintaslah dalam hati Musa (perasaan) takut.

68. qulnaa laa takhaf innaka anta al-a’laa

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Kami berfirman, “Jangan takut! Sesungguhnya engkaulah yang paling unggul.

69. wa-alqi maa fii yamiinika talqaf maa shana’uu innamaa shana’uu kaydu saahirin walaa yuflihu alssaahiru haytsu ataa

Lemparkan apa yang ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka buat. Sesungguhnya apa yang mereka buat itu hanyalah tipu daya penyihir (belaka). Tidak akan menang penyihir itu, dari mana pun ia datang.”

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata


TAFSIR AKTUAL:

Ayat sebelumnya bertutur tentang ketidakterimaan Fir’aun terhadap ular mukjizat yang dipamerkan di hadapan matanya oleh anak angkatnya sendiri, Musa A.S. Tersinggung dan geram, itulah yang ada di hati , lalu menantang Musa A.S. adu sakti di gelanggang terbuka. Tantangan diterima dan segalanya sudah disepakati, baik tempat maupun waktu.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Ayat kaji ini mengkisahkan keadaan di gelanggang, di mana kedua belah kubu sudah berhadapan hendak memulai pertempuran. Para penyihir bertanya: "Hai Musa, you duluan yang beraksi atau kami?". Musa A.S. menjawab: "kalian duluan saja, silakan".

Tidak membuang-buang kesempatan, mereka lantas beraksi dengan melemparkan tali dan tampar gede-gede yang sudah dipersipkan. Sebagian menggunakan media tongkat dan semuanya berubah menjadi ular yang jumlahnya sangat banyak. Semula, ukurannya sesuai dengan benda yang dijadikan media, lalu berkembang sesuai mantra sihir yang dibacakan.

Para hadirin yang notabene rakyat Mesir mengagumi dan berteriak memberi semangat serta menghina Musa. Fir’aun-pun makin membusungkan dada dan memerintahkan agar Musa segera dihabisi.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Ular jadi-jadian itu benar-benar sangar, seram, dan sangat menakutkan. Semuanya bergerak merangsek ke arah di mana Musa A.S. berada. Makin mendekat dan makin dekat sehingga membuat Musa benar-benar ketakutan.

Saat Musa A.S. benar-benar dalam keadaan emergensi dan krisis, Tuhan hadir dan membisikkan: "Hai Musa, jangan takut, kamu unggul, dan pasti menang. Ayo, segera lemparkan tongkat yang ada di tanganmu itu. Cepat, cepat... ojo digegem ae...".

Musa A.S. sadar, bahwa dulu sudah pernah dilatih di gurun Sinai, termasuk menggunakan tenaga dalam dan atraksi kesaktian. Perintah langsung dituruti, tongkat dilempar ke gelanggang dan berubah menjadi ular yang tampilannya aneh, seram, dan sangat menakutkan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Semula, ular mukjizat ini ukurannya persis seperti tongkat yang dijadikan media oleh A.S. Lalu bergerak lincah dan menjulur-julurkan lidahnya ke sana kemari seperti ular kelaparan yang sedang mendeteksi mangsa. Ular Musa melalap setiap ular sihir yang ada di depannya dengan sekali telan dan langsung masuk perut.

Subhanallah, setiap kali makan ular sihir, maka ukuran bodinya bertambah besar sesuai mangsa yang ditelan. Makin banyak yang ditelan, maka makin besar dan makin galak, makin kelaparan, hingga semua ular sihir habis tak tersisa. Meski ular itu sangat liar, tetapi tidak satu pun manusia di gelanggang itu yang dilalap.

Hanya menuju ke arah Fir’aun, dan gelagatnya mau nguntal Fir’aun. Namun Musa A.S. bergerak lebih cepat dan menangkap ular mukjizat itu hingga Fir’aun selamat. Sejatinya Musa juga takut kepada ular mukjizatnya sendiri, tetapi Tuhan memerintahkan agar segera ditangkap dan nyatanya ular berubah menjadi tongkat kembali.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

Drama yang diperagakan dalam ayat kaji ini banyak pelajaran yang bisa dipetik, antara lain:

Pertama, sebagai insan dakwah, ustadz, atau apa saja seyogianya melengkapi diri dengan modal yang dibutuhkan. Utamanya ilmu, kecedersan, kebijakan, dan kanoragan. Jangan sampai ada kelemahan fatal yang menyebabkan sang juru dakwah tidak berwibawa apa-apa.

Nabi Ayyub A.S. yang diuji Tuhan dengan kekurangan habis-habisan, kesehatannya rusak, dan sakitnya berkepanjangan. Semua hartanya habis, istrinya minggat, dan anak-anaknya tidak peduli. Hal demikian ternyata berakibat buruk terhadap misi dakwah yang diembannya. Masyarakat tidak hanya menjauh, bahkan merendahkan. Tetapi, akhirnya Tuhan memulihkan kembali.

Nabi Musa A.S. punya kelemahan di bidang orasi, tetapi tidak fatal, karena yang dibutuhkan adalah jagoan bertarung melawan Fir’aun yang pongah dan kejam. Khusus ini, okol lebih dibutuhkan dibanding akal.

Kekuatan fisik lebih diutamakan daripada orasi ilmiah. Makanya diback-up dengan kakaknya, Harun A.S. yang orasinya lebih fasih dan lembut tutur katanya sebagai penyimbang. Inilah kerja tim yang bagus.

Kedua, dalam memulai pertarungan, nabi Musa A.S. tidak mau memulai lebih dahulu, melainkan musuh dipersilakan beraksi duluan. “bal alqu..”. Hikmahnya, agar bisa membaca sekaligus menjajaki kemampuan musuh. Teknik apa yang mereka pakai, kekuatannya seberapa, dan seterusnya.

Sisi lain, agar tidak terkesan bahwa yang jahat, sok jagoan dan menantang, melainkan ditantang dan sebatas meladeni saja. Untuk itu, semua perang yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sifatnya mempertahankan diri, setelah pembicaraan di meja runding gagal.

Artinya, bukan diri umat islam yang ambisi dan berkepentingan berperang, malainkan murni mematuhi perintah Allah SWT. Maka bahasanya menjadi jihad “fi sabilillah”. Kemudian dibuktikan dengan aturan-aturan yang sangat manusiawi. Seperti tidak boleh membunuh anak-anak, wanita, pendeta, merusak bangunan, pepohonan, dan lain-lain.

Bahkan, musuh yang sudah dilumpuhkan, tidak berdaya dan menyerah, tidak boleh dihabisi dan seterusnya. Begitulah syariah Islam, meski dalam pertempuran melawan musuh-musuh agama, nilai humanistik tetap dijunjung tinggi.

Usamah ibn Zaid pernah menghabisi musuh macam itu, bahkan sudah membaca dua kalimah syahadat. Nabi Muhammad SAW mendengar khabar tersebut dan Usamah dipanggil agar segera menghadap.

“Benarkah demikian, wahai Usamah..?”. Tanya Nabi serius. Jawab Usamah: “Ya, benar. Tapi saya mengerti betul sifat dia yang licik. Ucapan syahadah itu hanya untuk penyelamatan dirinya saja, Li isqath al-silah”.

Rasulullah SAW makin marah dan membentak: “Apa kamu sudah membedah dadanya dan mengetahui niat dia memang begitu..”. Lalu, beliau berikrar: “Ya Tuhan saksikanlah, bahwa saya pribadi sama sekali tidak ikut-ikut, saya lepas tangan dari apa yang Usamah lakukan..”.

Ketiga, meskipun berderajat Nabi, tapi tetap manusia. Sifat-sifat manusia tetap melekat pada diri sang nabi tersebut, walau sebagian. A.S. tetap takut saat terkepung ular-ular tukang sihir yang sangar-sangar. Tetapi Allah SWT sangat cepat bertindak dan memberi bimbingan. Begitu halnya orang-orang shalih atau kita yang manusia biasa. Kadang ada keajaiban yang tak terduga yang kita alamai.

Keempat, memanfaatkan potensi diri pada waktu yang tepat. Tongkat nabi Musa A.S. dipergunakan pada waktu yang tepat, sehingga manfaatnya nyata dan bisa dirasakan. Artinya, kita perlu memiliki potensi diri sebaik-baiknya dan sebanyak-bantaknya. Suatu ketika kita nanti membutuhkan. Seperti nabi Musa A.S. yang berlatih lebih dahulu di gurun Sinai, baru dirasakan manfaatnya di medan laga.

Kelima, optimis pangkal sukses, pesimis pangkal gagal. A.S. yang takut sebelum bertanding dimarahi oleh Tuhan, “La takhaf”. Jangan takut, kamu itu nabi dalam perlindunganKu. Lalu diyakinkan, disemangati, dibesarkan hatinya, ditunjukkan potensinya: “Innak ant al-a’ka”. Sesungguhnya kamu itu unggul, berkemampuan hebat, dan pasti menang.

Keenam, “innak ant al-a’la” menyiratkan nasihat kepada semua guru, pembimbing, tutor, pelatih, dan sebangsanya mesti memberi semangat dan meyakinkan anak didiknya sebagai “bisa”, sebagai “unggul”, sebagai “menang”, dan seterusnya. Utamanya pada saat yang tepat dan sangat dibutuhkan. Jangan sampai malah mengendorkan semangat.

Ketujuh, kebatilan pasti runtuh di hadapan kebenaran. “wa la yuflih al-sahir haits ata”. Ular-ular sihir yang jumlahnya se lapangan penuh ternyata habis dilapap oleh ular mukjizat yang cuma satu. Tuhan tidak bisa dikalahkan.

Kedelapan, “wala yuflih al-sahir haits ata”. Potongan ayat ini juga memberi isyarat, bahwa sehebat apapun ilmu syetan, ilmu sihir pasti bisa ditangkis, bisa disahali dan bisa dilemahkan. Tidak sama dengan mukjizat yang mesti unggul selalu dan tidak bisa dipatahkan. Allah a’lam.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik HARIAN BANGSA, dan Pengajar di Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO