KEDIRI, BANGSAONLINE.com - Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Koordinator Daerah (Korda) Kediri bekerja sama dengan PT. Gudang Garam Tbk, berlangsung seru. Acara dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-25 IJTI itu digelar di Hotel Merdeka, Kota Kediri, Kamis (31/8/2023)
FGD menampilkan narasumber Direktur koranmemo.com Bambang Iswahyoedhi, Founder dan Pimpinan Redaksi kediripedia.com Dwijo Utomo Maksum, dan CEO Andika Medianet Rofik Huda dengan dipandu Hari Tri Warsono. Banyak pertanyaan yang muncul dari peserta yang hadir walapun terkesan masalah klasik.
Baca Juga: RPKD 2025-2029, Bappeda Sumenep Upayakan Grand Design Penanggulangan Kemiskinan
Salah satu pertanyaan di antaranya ialah bagaimana cara mengatasi wartawan yang melakukan penekanan dan pemerasan. Penanya menceritakan, ada temannya yang kebetulan mempunyai masalah terkait WIL. Masalah itu diendus oknum yang mengaku wartawan. Si oknum lalu mengikuti si pria yang kebetulan sedang membonceng WIL-nya.
Singkat cerita, si oknum yang mengaku wartawan terang-terangan minta uang tutup mulut agar kasusnya tidak dimuat. Karena ketakutan, maka diberilah si wartawan itu uang sebagai uang tutup mulut.
Mendapat pertanyaan seperti itu, Dwijo Utomo Maksum mencoba memberikan jawaban dengan cara jenaka. Menurut Dwijo, sebenarnya setiap orang bisa mengaku sebagai apa saja demi mendapatkan uang. Ada yang mengaku wartawan, ada juga yang mengaku polisi dan lain. Intinya, mereka itu hanya ingin mendapatkan uang dengan cara menakuti-nakuti calon korbannya.
Baca Juga: Gelar FGD Bersama Polres, Kemenag Tuban Serukan Pilkada Damai Tanpa Hoaks dan Politik Identitas
"Kalau kejadiannya seperti itu, korban bisa langsung lapor ke polisi, karena itu merupakan bentuk pemerasan yang kebetulan dilakukan oleh oknum yang mengaku wartawan," ujar mantan wartawan Majalah Tempo itu.
Menurut Bambang menjadi wartawan itu sebenarnya tidaklah mudah. Dia mencontohkan, bagi seseorang yang ingin menjadi wartawan harus melalui proses rekrutmen yang tidak mudah oleh perusahaan media. Setelah lolos, wartawan harus mengikuti uji kompetensi wartawan (UKW) yang dilaksanakan oleh Dewan Pers. Ada beberapa jenjang yang harus dilalui, yaitu jenjang wartawan muda, madya, dan utama.
"Kalau di PWI, sebelum mengikuti UKW, wartawan tersebut harus mengikuti dulu OKK (Orientasi Kewartawanan dan Keorganisasian)," ujar pria yang juga Ketua PWI Kediri itu.
Baca Juga: Peringati HUT Humas Polri, Polres Kediri Gelar Tasyakuran dan Santunan Anak Yatim
Jadi, lanjutnya, untuk bisa menjadi profesional, si wartawan itu harus mengikuti proses yang ditentukan oleh masing-masing organisasi kewartawanan, seperti PWI, AJI, dan IJTI.
Sementara Rofiq Huda menyoroti soal kekritisan wartawan dalam menulis atau menyiarkan sebuah berita. Menurutnya, saat ini media mainstream kalah pamor dengan media sosial.
"Kenapa bisa begitu? Karena sebuah kejadian yang diunggah di medsos biasanya hal-hal yang sifatnya mengkritik pemerintah," ujarnya.
Baca Juga: Bekali Kiat Menulis Berita Ekonomi, BI Kediri Gelar Capacity Building dan Media Gathering
"Misalnya soal jalan yang rusak, orang langsung bisa mengunggah di medsos-nya seperti Facebook, Twitter, atau Instagram. Kalau media mainstream, mengetahui jalan rusak tidak bisa langsung ditayangkan, karena harus dilakukan konfirmasi kepada pihak terkait. Ini jelas butuh waktu. Kalau di medsos tidak perlu konfirmasi, yang penting langsung bisa diketahui masyarakat," kata mantan wartawan sebuah harian yang terbit di Surabaya itu.
Tapi bagaimanapun juga, lanjut Rofiq, media mainstream pasti lebih akurat dalam menayangkan sebuah berita atau kejadian, karena sudah melalui proses cek and ricek dan konfirmasi kepada pihak terkait.
Ketua IJTI Korda Kediri, Roma Duwi Juliandi, mengatakan bahwa FGD yang membahas Jurnalisme Positif dan Kemerdekaan Pers ini memang sengaja digagas oleh IJTI Kediri sekaligus meneruskan visi dari IJTI Pusat.
Baca Juga: Berangkat ke Porwanas XIV di Banjarmasin, 2 Atlet Catur PWI Kediri Targetkan Emas
"Harapannya adalah media-media yang ada di suatu daerah itu memberikan space (ruang) untuk membuat program berita-berita yang positif," ungkap Roma.
"Catatannya adalah berita positif, tentunya bukan hanya berita yang bagus saja, tetapi ada nilai-nilai kritis kemudian ada nilai-nilai menggali ide hingga investigatif dalam proses produksi jurnalisme positif itu," pungkasnya. (uji/ns)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News