Oleh: Suhermanto Ja’far
SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Hiruk pikuk keterlibatan PBNU dalam politik partisan mengemuka pada pemilu 2024, sejak Gus Nadzirsyah Hosen melontarkan kritik terhadap PBNU yang cenderung mengarahkan kepada pengurus NU yang berada di level Pengurus Wilayah dan Cabang untuk memilih paslon tertentu. Arahan atau instruksi oleh pengurus PBNU tersebut dianggap sebagai keterlibatan NU dalam politik partisan.
Baca Juga: Rais Aam PBNU Ngunduh Mantu dengan Pemangku Pendidikan Elit dan Tim Ahli Senior di BNPT
Syahwat politik partisan yang dijalankan PBNU ini telah menjebak NU dalam pragmatisme kekuasaan. NU, mengikuti jalan pikir Komaruddin Hidayat, akan terjebak dalam “politik panjat pinang”. Dalam politik panjat pinang, kue kekuasaan diraih di tengah penderitaan orang lain; yang lain itu harus dipanjat dan diinjak bahunya. Dan, Ketika kue kuasa diraih, maka yang terjadi adalah perebutan kursi jabatan. Kursi panas di sekeliling pejabat pasti akan menjadi rebutan; maka terulang kembali politik panjang panjat pinang.
Pemimpin NU yang memanjat kursi kekuasaan harus memanjat pundak warganya. Pasti, orang terinjak sangatlah merasa berat, bahkan sakit. Kemudian ketika kuasa diraih, maka konflik antara warga NU pasti akan terjadi dan mencerai-beraikan warga NU lagi. Tragedi demi tragedi menumpuk.
Mengapa pengurus PBNU begitu bersyahwat masuk lorong politik partisan pada pemilu 2024? Pertama, konsep Khittah 1926 telah menjadi ”mitos”, dalam semiotik Roland Barthes sebagai type of speech, sehingga memunculkan kesewenang-wenangan pembacaan oleh pemegang otiritas NU yang dalam hal ini adalah PBNU. Khittah yang telah dirumuskan para ulama dalam Muktamar ke-27 Situbondo pada tahun 1984, walaupun dalam Munas NU di Asrama Haji Sukolilo tahun 2006 Rais Aam PBNU KH. Sahal Mahfudh telah menyatakan bahwa pengurus NU harus bersikap independen, tidak terlibat dalam politik praktis. Kalau terlibat, silakan mengundurkan diri. Mbah Sahal, begitu beliau akrab dipanggil, juga menegaskan bahwa politik NU adalah politik kebangsaan. Politik yang bertujuan membawa kemaslahatan seluruh warga bangsa Indonesia.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Seruan KH. Sahal Mahfudz dalam khotbah iftitah merupakan afirmasi atas pernyataannya dalam Muktamar di Solo tahun 2004. Sejak saat itu, Mbah Sahal selalu menegaskan bahwa Khittah NU 1926 selalu menempatkan NU sebagai pengayom seluruh bangsa. NU bukan organisasi politik. Untuk itu, semua pengurus NU dilarang rangkap jabatan dalam politik praktis. Sayang, seruan ini tidak banyak dipahami, atau tidak diindahkan oleh para pengurus NU sendiri, sehingga NU tidak lagi concern memikirkan agenda-agenda pemberdayaan sosial kemasyarakatan. NU larut dibawa pengurusnya untuk menopang kuasa politik pragmatis.
Kedua, NU sedang mengalami “miskin” kiai sepuh yang dapat dijadikan jangkar seluruh elemen NU. NU tidak seperti tahun 1980-an yang masih kaya dengan kiai kharismatik, semisal KH Ali Ma’sum, KH Ahmad Siddiq, KH Mahrus Ali, dan KH As’ad Syamsul Arifin.
Kiai-kiai tersebut menjadi rujukan utama dalam menyeberangkan NU di tengah badai politik Orde Baru. Para kiai kharismatik tersebut begitu dihormati dan didengarkan tausiyah-tausiyahnya. Kini, kiai sepuh sedang sibuk berjuang mendirikan partai baru. Praktis, kiai sepuh NU yang relatif netral hanya KH Mustofa Bisri. Namun apa daya, Gus Mus - sapaan akrabnya - menahan dan menghela nafasnya, melihat pemaknaan PBNU tentang Khittah 1926 yang cenderung pada politik partisan dan kepentingan, sehingga cenderung pada pragmatisme kekuasaan.
Baca Juga: Bedah Visi-Misi Cagub Jatim 2024 di FISIP UINSA, Jubir 02 Kekeh soal Penyebutan Seminar Nasional
Keterjebakan di tengah pragmatisme kekuasaan segelintir pengurus PBNU, maka muncul kritikan kritikan dari pengurus NU itu sendiri. PBNU harus menegaskan kembali dirinya yang berpolitik kebangsaan. PBNU harus mengeluarkan “petisi’ agar semua pengurusnya tidak terseret dalam tragedi politik panjat pinang secara langsung ataupun tidak.
Kalau terlibat, silakan mengundurkan diri dari NU, sebagaimana pernah dilakukan Gus Solah (KH. Salahuddin Wahid) dalam Pilpres 2004. Hal ini sulit dilakukan oleh PBNU, karena segelintir pengurus PBNU turut terlibat dalam pragmatisme politik partisan.
Di setiap acara Muktamar, warga nahdliyin dihimbau agar tidak terjebak pada perilaku politik praktis-pragmatis, meski organisasi itu tak melarang secara tegas individu-individu yang terjun dan terlibat dalam dunia politik sesuai haknya sebagai warga negara.
Baca Juga: Hari Santri Nasional 2024, PCNU Gelar Drama Kolosal Resolusi Jihad di Tugu Pahlawan Surabaya
Namun, hendaknya mereka tetap harus terus memperhatikan khittah sebagai landasan berpikir, bersikap, dan bertindak. Sebab, tanpa memperhatikan khittah tersebut jelas akan membuat kerenggangan di antara warga NU. Himbauan ini tidak akan bermakna dan cenderung tidak digubris oleh warga NU, jika pengurus PBNU tidak mampu menahan diri dari syahwat politik pragmatis.
Argumen ketum PBNU, Gus Yahya, sapaan akrab KH. Yahya Cholil Staquf tentang netralitas NU secara organisatoris tidak akan bermakna jika pengurus PBNU masih ada yang membawa-bawa PBNU pada pragmatisme politik, sekalipun hal tersebut bersifat pribadi. Pengurus Harian PBNU, seharusnya bisa mengutamakan dirinya sebagai Pengurus daripada kepentingan pribadinya. Secara logika, sulit dibedakan jika sebagai pengurus PBNU, sekaligus sebagai pribadi dalam segala tindakannya pada saat yang sama.
Kecenderungan pengurus PBNU, baik sengaja maupun tidak sengaja, seperti sekarang yang menjadi isu hangat dalam keterlibatannya pada politik pragmatis dengan menganjurkan memilih paslon tertentu merupakan authority abuse terhadap NU. Oleh karena itu, para elit PBNU yang dengan sengaja melibatkan diri dalam pragmatisme politik partisan, merupakan sikap kurang peduli terhadap garis-garis instruksi organisasi dalam pedoman berpolitik yang diputuskan baik muktamar ke-27 di Situbondo maupun Muktamar ke-28 Yogyakarta. Pragmatisme politik partisan yang terjadi pada segelintir pengurus PBNU sangatlah tidak etis dengan memanfaatkan NU secara kelembagaan dan organisasi.
Baca Juga: Hari Pertama Kampanye, Khofifah Silaturahmi ke Kiai dan Tokoh di Pengukuhan Dr HC KH Zulfa Mustofa
Perbuatan ini disinyalir tidak memperhatikan khittah NU secara keseluruhan. Perbuatan segelintir pengurus PBNU ini cenderung contra produktif. Bahkan menempatkan Khittah sekedar sebagai “lipstik”. Karena itu PBNU dinilai ambigú. (bersambung)
Dosen Pascasarjana dan Fakultas Ushuluddin serta Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News