SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Banyak sekali mahasiswa mengeluh karena sulit sekali menemui dosen pembimbingnya. Akibatnya, skripsi, tesis, atau disertasi yang mereka garap terbengkalai.
Konsekuensi berikutnya, jadwal atau timeline yang tersusun rapi juga amburadul sehingga kelulusannya pun molor tak jelas.
Baca Juga: Pertama di Indonesia, Pentas Wayang Perjuangan Hadratussyaikh, Dalang Ki Cahyo Kuntadi Riset Dulu
Ini realitas pendidikan tinggi yang sangat menyedihkan. Ironisnya, ada saja alasan dosen pembimbing menunda pertemuan dengan para mahasiswa. Mulai dari urusan akademis sampai alasan tak masuk akal.
Padahal salah satu prestasi dosen profesional adalah, jika ia bisa meluluskan mahasiswa tepat waktu, bahkan lebih cepat dari waktu yang sudah ditentukan. Tak aneh, jika S2 di negara-negara maju cukup satu tahun. Bukan 2 tahun seperti di Indonesia.
Saat saya kuliah S2 di Universitas Airlangga (Unair), pembimbing saya adalah Prof Dr Kacung Marijan dan Pak Priyatmoko, Saat itu masa kuliah S2 di Unair 2 tahun.
Baca Juga: Polemik Nasab Tak Penting dan Tak Ada Manfaatnya, Gus Fahmi: Pesantren Tebuireng Tak Terlibat
Beliau-beliau sangat mudah sekali ditemui. Bahkan Prof Kacung saat itu berencana mengefisienkan waktu kuliah S2 di Unair jadi 1 tahun atau 1,5 tahun. Jadi beliau-beliau mempermudah, bukan mempersulit.
Lebih ironis lagi, dosen pembimbing sulit ditemui itu justru juga banyak terjadi di lingkungan perguruan tinggi agama Islam. Perguruan tinggi yang seharusnya memberi teladan akhlak yang elegan.
Melihat realitas tersebut, tampaknya para dosen penting menyimak pesan-pesan penting Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari dalam mengajar atau menghadapi mahasiswa.
Baca Juga: Alasan Hadratussyaikh Tolak Anugerah Bintang Hindia Belanda, Kenapa Habib Usman Bin Yahya Menerima
Hadratussyaikh selain populer sebagai pendiri Pesantren Tebuireng dan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) juga dikenal sebagai ulama ahli pendidikan yang sukses melahirkan jutaan ulama, tokoh, dan pemimpin berprestasi, baik secara nasional maupun internasional.
Hadratussyakh juga produktif melahirkan karya tulis, termasuk tentang ajar-mengajar atau pendidikan yang cukup detail. Kitab-kitab karya Hadratussyaikh itu sekarang banyak diterjemah ke bahasa Indonesia. Bahkan sebagian kitab dan terjemahannya diterbitkan dalam buku berjudul Mahakarya Hadratssyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari oleh Pustaka Tebuireng.
Konon, tak kurang 19 kitab telah beliau tulis. Di antaranya berjudul Adabul ‘Alim wal-Muta’allim. Yang membahas adab atau akhlak sekaligus tuntunan bagi para pengajar (guru atau dosen dan sebagainya) dan para murid atau santri.
Baca Juga: Disambut Antusias Warga Blitar, Khofifah: Pekik Allahu Akbar Bung Tomo Dawuh Hadratussyaikh
Nah, dalam kitab Adabul ‘Alim wal’Muta’allim itu Hadratussyaikh mengingatkan para guru atau dosen. Menurut Hadratussyaikh, seorang dosen atau guru, jangan sekali-kali mempersulit mahasiswa, siswa, atau santri. Sebaliknya, tegas Hadratussyaikh, sebisa mungkin seorang dosen harus mempermudah para mahasiswa.
Bahkan, menurut Hadratussyaikh, seorang guru atau dosen sebisa mungkin membantu siswa atau mahasiswa, jika mereka dalam kesulitan. Bukan malah dipersulit, termasuk menunda-nunda pertemuan.
Tujuannya agar siswa atau mahasiswa itu bisa fokus dan konsentrasi dalam menyerap ilmu (dalam hal ini menggarap skripsi, tesis, atau disertasi).
Baca Juga: Ba'alawi dan Habib Luthfi Jangan Dijadikan Pengurus NU, Ini Alasan Prof Kiai Imam Ghazali
Inti penting pesan Hadratussyaikh, seorang guru atau dosen jangan menjaga jarak dengan murid atau mahasiswa. Apalagi sampai sulit ditemui. Sebaliknya, tegas Hadratussyaikh, seorang guru atau dosen harus proaktif menemui murid atau mahasiswa.
“... jika ada murid kelas atau peserta kajiannya absen, tidak seperti biasanya, maka guru harus menanyakannya, bagaimana kondisinya dan siapa saja relasinya,” kata Hadratussyaikh saat membahas akhlak guru kepada murid-muridnya dalam Kitab Adabul ‘Alim wal’Muta’allim.
Bahkan, tegas Hadratussyiah, jika sang guru atau dosen tak mendapatkan kabar tentang murid atau mahasiswanya itu, sang guru atau dosen sebaiknya berkirim surat atau mendatangi rumah siswa atau mahasiswanya. Jangan malah menjauh, apalagi menunda-nunda pertemuan.
Baca Juga: Mahfud MD Respons Podcast BANGSAONLINE, Kakek Habib Luthfi Bukan Pendiri NU
“Jika dia sakit, jenguklah dia. Jika dia dalam kesusahan, ringankan penderitaannya,” tulis Hadratussyaikh.
Sekadar informasi, kitab-kitab karya Hadratussyaikh itu kini sudah banyak diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Terutama oleh para ustadz Pesantren Tebuireng yang kemudian diterbitkan oleh Pustaka Tebuireng.Termasuk kitab Adabul ‘Alim wal’Muta’allim.
Kitab tersebut kini dihimpun bersama karya-karya Hadratussyaikh yang lain dengan judul Mahakarya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.
Baca Juga: Ziarah ke Makam Pendiri NU, Khofifah: Gus Dur dan Gus Sholah itu Guru Saya, Beliau Sosok Istimewa
Pada era kepengasuhan KHM Yusuf Hasyim dan KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), Pesantren Tebuireng sangat peduli terhadap pengembangan karya tulis. Bahkan banyak para santri Pesantren Tebuireng yang kemudian piawai menulis. Kini mereka bisa melanjutkan dakwah literasi pada masyarakat digital yang semakin maju dan tak terbendung.
Sekarang tradisi menulis yang sejatinya tradisi kiai-kiai NU tempo dulu itu dilanjutkan pada masa kepengasuhaan KH Abdul Hakim Mahfud (Gus Kikin).
Memang kitab-kitab karya Hadratussyaikh semakin relevan dalam kehidupan modern. Apalagi karya-karya Hadratussyaikh sangat detail dan aplikatif. (m. mas’ud adnan/bersambung)
Baca Juga: Ribuan Santri Tebuireng Takbir Keliling dan Bakar Sate Massal, Idul Adha Makin Seru
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News