SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Pengamat Politik Universitas Airlangga Surabaya, Dr. Kris Nugroho menyatakan penjabat Wali Kota Surabaya harus menjaga netralitasnya guna mengantisipasi pelaksanaan Pilkada Surabaya yang tak berintegritas.
Penjabat yang mengganti fungsi wali kota tidak diperbolehkan terlibat partisan dengan calon manapun. “Untuk memenuhi unsur fairness atau kejujuran politik dan kesetaraan politik, penjabat tidak boleh memihak manapun,” paparnya, Jumat (18/9).
Baca Juga: Untuk Cawali Surabaya, Risma Dikabarkan Punya Dua Jago: Ery Cahyadi dan Hendro Gunawan
Kris Nugroho mengakui, penjabat Wali Kota yang diusulkan dan diangkat oleh gubernur Jawa Timur pasca berakhirnya masa jabatan Wali Jota Tri rismaharini dan Wakilnya Whisnu Sakti Buana, 28 September 2015 setelah ada persetujuan dari Mendagri.
Namun, penjabat tetap tidak boleh menjadi “remote kontrol” dari pengangkatnya, yakni Gubernur Jawa timur. Ia menilai penjabat rentan terlibat dalam urusan politik praktis, karena Gubernur Jawa Timur juga merupakan fungsionaris Partai politik tertentu. “Dia tidak boleh jadi Pj boneka yang dikendalikan yang mengangkatnya (gubernur jatim) yang berasal dari partai tertentu,” tegasnya.
Pakar politik Unair ini menegaskan, untuk menjaga netralitasnya gubernur Jawa timur harus memilih figur yang kompeten, sesuai dengan kepangkatannya dan memenuhi kaidah hukum.
Baca Juga: PDIP Minta Mahar Hingga Rp 10 M, Cawawali Surabaya Punya Uang Berapa?
Kris Nugroho menegaskan, sesuai PP 49 Tahun 2008 penjabat walikota tidak diperbolehkan membuat keputusan strategis, diantaranya mutasi pejabat, pemekaran daerah, serta keputusan yang berkaitan dengan anggaran.
“Pj harus melanjutkan program kebijakan kepala daerah yang diganti,” katanya. Ia menambahkan, apabila mutasi memang harus dilakukan, karena pejabat dinas terkait dibutuhkan harus melalui kajian kebutuhan yang ada dan mendapat supervisi dari Mendagri.
“Jika ada kepala dinas yang pensiun, dan harus ada yang mengisi. Maka, yang didudukkan harus netral dan duduk untuk mengisi jabatan tersebut,” ujar Alumnus UGM tersebut.
Baca Juga: PKB Intruksikan Kader Sosialisasikan Fandi Utomo sebagai Cawali Surabaya
Kris Nugroho menegaskan, alasan tidak diperbolehkannya penjabat melakukan mutasi karena dikhawatirkan mempunyai muatan politis. Menurutnya sesuai aturan Pj hingga Pilkada Desember mendatang harus status quo tidak boleh mengeluarkan kebijakan strategis. “PP 49 tahun 2008 dibuat untuk mengantisipasi tingginya pelibatan PNS dalam Pilkada,” katanya.
Ia mengatakan, apabila ketentuan tersebut dilanggar dengan adanya kegiatan mutasi pejabat untuk kepentingan mobilisasi hal itu menunjukkan pelanggaran. “Jika ada mobilisasi melalui mutasi, maka hal itu sudah melanggar, bisa kena sanksi,” pungkasnya. (lan/dur)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News