Selamat Datang Kementerian Haji dan Umroh

Selamat Datang Kementerian Haji dan Umroh Aguk Irawan MN. Foto: ist

Oleh: Aguk Irawan MN

Setahun yang lalu, 2024, Gus Abdul Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), melontarkan sebuah pemikiran progresif tentang urgensi pembentukan Kementerian Khusus Umroh dan Haji. Gagasan itu tidak lahir dalam ruang kosong, melainkan dari pengamatan kritis di lapangan saat menjadi ketua pengawas haji terhadap carut-marut penyelenggaraan haji tahun 1445 H/2024 M.

Pemikiran Cak Imin kemudian dituangkan dalam sebuah buku berjudul _Blueprint Transformasi dan Revolusi Manajemen Haji: Belajar dari Permasalahan Tahun 1445 H/2024 M,_ yang diterbitkan Raksa Ajar Indonesia, Serang, Banten.

Dalam buku itu, Cak Imin mengurai empat permasalahan serius tata kelola haji 2024: kebijakan yang tidak matang; prosedur yang amburadul; urusan teknis (hotel, transportasi, tenda, katering, MCK, dan lainnya) yang banyak kurangnya; serta diplomasi dengan Arab Saudi yang tidak maksimal.

Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, ia menawarkan sejumlah solusi: pembentukan Panitia Khusus (Panja), audit keuangan, evaluasi mitra kerja, penyusunan visi besar pengelolaan haji, dan yang terpenting—pembentukan Kementerian Haji sebagai institusi khusus yang fokus mengurusi haji dan umroh.

Gagasan Cak Imin itu sejatinya adalah sumbangan berharga untuk tata kelola haji yang mendesak, yang sayangnya belum bisa diterapkan segara, namun relevansinya tetap aktual hingga musim haji 2025 tahun ini. Di lapangan, kita semua tahu kenyataannya kebijakan penyelenggaraan haji 2025 masih menghadapi masalah klasik.

Kita menyaksikan musim 2025 ini, muncul kendala berupa ketidaksesuaian data jamaah antara Arab Saudi dan Indonesia, risiko pemisahan jamaah akibat sistem multisyarikah, penempatan hotel yang tidak sesuai prosedur, hingga risiko kesehatan yang tinggi bagi jamaah lansia.

Ironisnya, sikap pemerintah pun terasa seperti mengulang kaset lama. Kementerian Agama kembali meminta maaf kepada jamaah, berjanji mengevaluasi sistem multisyarikah, hingga sekadar beretorika menjelaskan kepada publik Indonesia maupun Arab Saudi terkait pelaksanaan dam serta urusan teknis lainnya.

Tidak heran apabila publik berharap pemerintah mencetuskan dengan berani solusi struktural dan strategis, bukan sekadar permintaan maaf atau janji evaluasi tanpa perubahan mendasar.

Masalah klasik yang berulang dari tahun ke tahun seringkali diselesaikan dengan pendekatan tambal sulam. Sistem multisyarikah memang terdengar modern, tetapi sejatinya hanya menambah variasi teknis tanpa menyentuh akar masalah.

Kompleksitas ibadah haji dan umroh jauh melampaui kapasitas Kementerian Agama yang masih harus membagi konsentrasi dengan berbagai urusan lain. Apalagi, penyelenggaraan haji 2024 juga kini sedang diselidiki kasus hukumnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kita bisa melihat betapa peliknya persoalan haji: antrean panjang yang bisa mencapai puluhan tahun, distribusi kuota yang belum merata, biaya haji yang terus meningkat, subsidi negara yang semakin membengkak, hingga diplomasi yang rumit menyangkut kuota, transportasi, akomodasi, dan layanan lainnya.

Jika pemerintah benar-benar berkomitmen pada pelayanan yang baik, seharusnya Kementerian Agama berani melepas urusan penyelenggaraan haji ini kepada lembaga khusus. Tanpa langkah berani tersebut, masalah akan tetap berulang.

Lebih buruk lagi, bukan mustahil reputasi Indonesia sebagai negara dengan jamaah haji terbesar di dunia bisa tercoreng. Jangan sampai karena komitmen pemerintah yang tidak serius, kuota jamaah haji Indonesia dikurangi oleh pemerintah Arab Saudi.

Di tengah situasi yang berulang tanpa solusi permanen, pembentukan Kementerian Haji adalah keniscayaan. Seperti kementerian lainnya, keberadaan Kementerian Haji akan menghadirkan tata kelola yang lebih transparan, akuntabel, efisien, ramah jamaah, dan berbasis teknologi mutakhir.

Kementerian Haji adalah solusi jangka panjang, bukan tambal sulam. Dengan lembaga khusus, manajemen haji akan memiliki fokus dan otoritas penuh dalam mengelola aspek teknis, administratif, hingga diplomatik.

Tidak hanya itu, Kementerian Haji ini dapat menjamin keadilan sosial, memberikan pelayanan maksimal, serta menutup celah korupsi melalui tata kelola yang lebih profesional. Jika Kementerian Agama masih mempertahankan otoritas penyelenggaraan haji, bukan tidak mustahil musim 2026 nanti akan lebih parah.

Pada akhirnya, publik menunggu keberanian politik pemerintah. Apakah hanya akan mengulang pola lama dengan permintaan maaf dan evaluasi parsial, ataukah benar-benar berani mewujudkan gagasan besar, pembentukan Kementerian Haji.

Dengan berkaca pada pengelaman 2024 dan 025, Kementerian Haji adalah jalan keluar struktural untuk perbaikan permanen penyelenggaraan haji dan umroh di Indonesia. Selama jalan permanen ini tidak diambil dengan berani, solusi-solusi akan selalu bersifat tambal sulam, karena akar persoalannya tidak diselesaikan. Wallahu a’lam bis shawab.[]

*Pengasuh Pesantren Kreatif Baitul Kilmah Yogyakarta dan Anggota Pengawas Haji 2024.