
“Kami mengapresiasi langkah Gubernur Jawa Timur dan provinsi lain yang melindungi driver. Tapi masalahnya provinsi atau daerah tidak punya kewenangan untuk memblokir aplikator nakal seenaknya. Pemerintah Pusat yang disini Kominfo tidak memiliki sanksi tegas pemblokiran,” tegas Richo.
Menanggapi keluhan itu, Ning Lia mendesak Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk turun tangan.
Menurutnya, Dishub maupun pemerintah daerah punya keterbatasan kewenangan, sehingga peran Kominfo sangat penting dalam memberi tekanan pada aplikator nakal.
“Kalau aplikator seenaknya merugikan driver, Komdigi jangan ragu memberi sanksi bahkan memblokir sementara. Negara harus hadir melindungi rakyatnya, bukan membiarkan korporasi raksasa menekan para pekerja,” tegas Ning Lia.
Ning Lia menekankan bahwa persoalan ini bukan sekadar soal tarif, melainkan menyangkut keadilan ekonomi dan perlindungan pekerja.
Menurutnya, status mitra yang disandang driver online kerap menjadi alasan aplikator lepas tangan dari kewajiban perlindungan, padahal faktanya mereka diperlakukan seperti pekerja tetap.
“Driver online ini disebut mitra, tapi perlakuannya seperti pekerja tanpa perlindungan. Itu jelas tidak adil,” ujarnya.
Senator asal Jawa Timur itu mendorong pemerintah pusat memperkuat regulasi agar aplikator tidak semena-mena. Banyak aturan yang dinilai sudah dibuat oleh pemerintah daerah dan seharusnya diperkuat dengan dukungan pemerintah pusat dengan aturan serta sanksi tegas.
“Kalau aplikatornya masih nakal, driver tetap rugi. Kalau sudah dihentikan, ditutup, lalu dipaksa menormalkan tarif, saya rasa keadilan bisa tercapai,” tandasnya.
Putri ulama kharismatik KH Maskur Hasyim itu menegaskan, perjuangan para driver ojol adalah bagian dari upaya menciptakan efisiensi berkeadilan dalam ekosistem transportasi digital.
“Saya berharap Komdigi tidak sekadar merespons, tetapi benar-benar menghadirkan kebijakan yang menyeimbangkan kepentingan aplikator, pemerintah, dan mitra driver,” pungkasnya. (mdr/van)