Tak Sikapi Revisi UU KPK, Citra Jokowi Bisa Anjlok

Tak Sikapi Revisi UU KPK, Citra Jokowi Bisa Anjlok Diskusi hasil survei 'Revisi UU KPK dan Pertarungan Modal Politik Jokowi' di kantor Indikator, Jakarta, Senin (8/2). foto detik.com

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Joko Widodo () bisa menurun jika sikap presiden tidak tegas dengan rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (). Penegasan itu diungkapkan peneliti senior Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia, Hendro Prasetyo, di acara diskusi dan temuan survei 'Revisi UU dan Pertarungan Modal Politik ' di kantor Indikator, Jakarta, Senin (8/2).

"Ketika dikaitkan dengan rencana revisi UU , kepuasan yang sudah cukup baik ini bisa terganggu jika Presiden tidak memenuhi aspirasi publik untuk mempertahankan posisi ," bebernya, seperti dikutip dari merdeka.com.

Baca Juga: Eks Wakil Ketua KPK Jadikan Peserta Seminar Responden Survei: 2024 Masih Sangat Banyak Korupsi

Presiden memang sampai saat ini masih belum mengeluarkan sikap resmi atas revisi tersebut lantaran rancangannya masih di tangan DPR.

"Dapat diprediksi jika revisi UU tetap dilaksanakan dan Presiden tidak mengakomodasi aspirasi masyarakat maka tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden berpotensi menurun," tandasnya.

Meski demikian, dia menyebut, sebanyak 65,5 persen warga sangat puas dengan kinerja Presiden Widodo () dalam menjalankan pemerintahan. Kata Hendro, tingkat kepuasaan tersebut tampak lebih tinggi dibanding saat dilantik sebagai presiden.

Baca Juga: Kasus Hibah Pokmas APBD Jatim, Anak Cabup Jombang Mundjidah Dipanggil KPK

"Terutama didorong oleh persepsi warga terhadap kondisi perekonomian nasional saat ini yang dirasakan terus membaik," paparnya.

Survei Indikator dilakukan terhadap warga berusia 17 tahun ke atas, pada 18-28 Januari 2016. Adapun, jumlah responden seluruhnya mencapai 1.500 responden. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara tatap muka, dengan margin of error sebesar lebih kurang 2,5 persen.

Hasil survey tersebut juga menyebut, bahwa masyarakat menilai revisi UU akan melemahkan . "54,4 persen mayoritas publik berpendapat bahwa revisi UU akan melemahkan dan sekitar 34,1 persen menilai bahwa revisi UU memperkuat ," ujar Hendro.

Baca Juga: Nama-Nama Anggota DPRD Jatim yang Diperiksa KPK dalam Kasus Dugaan Korupsi Dana Hibah

"Kecuali pada kelompok pendidikan menengah pertama, perempuan, wilayah pedesaan dan terutama dari Maluku dan Papua," sambungnya.

Tidak hanya itu, menurut Hendro terdapat 83,9 persen publik tidak setuju dengan poin yang akan direvisi yaitu tentang dibentuknya dewan pengawas untuk lembaga anti rasuah tersebut. "Dan sekitar 86,7 persen publik tidak setuju dengan penghapusan kewenangan melakukan penuntutan," bebernya.

"Mayoritas warga yang mengetahui tentang beberapa kewenangan yang diusulkan untuk revisi, tidak setuju jika kewenangan melakukan penyadapan dibatasi dan juga tidak setuju jika kewenangan penuntutan oleh dihapuskan," tutupnya.

Baca Juga: Dukung Swasembada Pangan, Menteri ATR/BPN: Butuh Tata Kelola Pertanahan yang Baik

Rencana revisi UU menurut hasil survei itu, juga membikin DPR dan partai politik (parpol) makin tak dipercaya. "Mereka yang mengikuti berita revisi UU cenderung memberikan kepercayaan yang lebih rendah, dibanding mereka yang tidak tahu," ujar Hendro.

Dia juga menjelaskan, menurut survei Indikator, pada Januari 2015, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR mencapai 59,2 persen. "Tetapi setelah munculnya wacana revisi UU pada awal Januari 2016 tingkat kepercayaan publik terhadap DPR turun menjadi 48,5 persen," bebernya.

Tidak hanya itu, menurutnya, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik juga mengalami penurunan. "Kepercayaan terhadap partai menurun dalam setahun terakhir, yaitu 50,1 persen dan sekarang menjadi 39,2 persen," ungkapnya.

Baca Juga: Kota Pasuruan Perkuat Komitmen Antikorupsi lewat Sosialisasi dan Pakta Integritas DPRD

"22,5 persen responden yang mengikuti pemberitaan soal revisi UU , sebanyak 36 persen percaya pada DPR. Lalu sebanyak 62 persen menyatakan tidak percaya kepada DPR, dan 1 orang menyatakan tidak tahu," tambahnya.

Pada kesempatan yang sama, juru bicara Presiden, Johan Budi mengatakan bahwa revisi Undang-undang merupakan inisiatif DPR. Dalam konteks itu, Presiden setuju revisi tetapi harus dimaksudkan untuk memperkuat lembaga . "Jika itu sebaliknya, misalnya lembaga dibatasi umurnya hanya 12 tahun, kewenangan penuntutannya diambil, maka kata presiden, itu bisa menarik diri, tidak melanjutkan pembahasan," kata Johan Budi saat menjadi pembicara rilis hasil survei bertajuk 'Revisi UU dan Pertaruhan Popularitas ' di kantor Indikator, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (8/2)

Johan menambahkan, poin-poin draft revisi itu juga belum jelas. Masyarakat banyak yang tidak mengetahui. Sebab ada yang mengatakan empat poin dan ada yang tiga belas poin. "Nah, ketidakjelasan itu menurut saya, Menkum HAM pasti lebih paham detailnya ya, saya dari perspektif survei tadi, saya mengomentari hasil survei. Nah kalau pembicaraannya nanti mengarah ke melemahkan , sikap presiden itu (menarik diri)," ujarnya.

Baca Juga: Eks Kades Kletek Sidoarjo Dituntut 1 Tahun 10 Bulan Penjara di Kasus Dugaan Korupsi PTSL

"Apakah Istana sudah menerima draftnya?" tanya wartawan. "Kalau soal detail ini, anda tanya ke Menkum HAM. Saya kan nggak dilaporin ini. Tanya ke Menkum HAM apakah sudah ada draft yang dimaksud itu, jangan nanya ke saya," sebutnya.

Johan mengaku belum bertanya ke presiden apakah sudah menerima draft tersebut. Namum dalam hal ini, Menkum HAM dan Menko Polhukam telah ditunjuk untuk mewakili pemerintah. "Iya, (Memkumham pasti lapor ke presiden), saya belum tahu, belum nanya, jangan diplintir. Saya belum tahu apakah presiden sudah mendapat laporan," tandasnya.

Sikap pemerintah yang mengaku tak tahu isi draf revisi Undang-undang itu mendapat kritikan dari Bambang Widjojanto, bekas pimpinan . Menurut Bambang, sikap pemerintah yang mengaku tak tahu detail draf revisi sangat aneh. Sebab, revisi UU sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016.

Baca Juga: Vinanda-Gus Qowim dapat Pesan Peningkatan Industri Pariwisata dari Jokowi

"Kalau revisi ini sudah ada di Prolegnas DPR, tapi kolega seperti Pak Johan Budi belum mendapatkan apa isi revisi itu, ini naif dan ironi," sindir lelaki yang akrab disapa BW ini di Kantor Indikator Politik Indonesia, Jalan Cikini V No 15A, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (8/2/2016).

Johan kini menjabat sebagai anggota Tim Komunikasi Kepresidenan. Posisi itu diduduki selepas menjabat sebagai pelaksana tugas Pimpinan .

Menurut Bambang, sikap dan pernyataan pemerintah ini berkebalikan. Sebab, pemerintah sebelumnya sudah menyatakan revisi UU tersebut bertujuan untuk memperkuat lembaga antirasuah itu.

Baca Juga: Warisan Buruk Jokowi Berpotensi Berlanjut, Greenpeace Lantang Ajak Masyarakat Awasi Prabowo-Gibran

Jika pemerintah bersikap ingin memperkuat, kata Bambang, pemerintah pun telah mengetahui isi draft revisi UU . "(Jadi) Bagaimana mungkin sebuah pernyataan bisa dikeluarkan tanpa belum tahu revisi itu. Bagaimana rakyat akan merespon kalau partnernya saja belum mengetahui, ini naif dan ironi," sindir Bambang. (mer/dtc/mtrv/sta)

Sumber: merdeka.com/detik.com

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Presiden Jokowi Unboxing Sirkuit Mandalika, Ini Motor yang Dipakai':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO