JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa menurun jika sikap presiden tidak tegas dengan rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penegasan itu diungkapkan peneliti senior Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia, Hendro Prasetyo, di acara diskusi dan temuan survei 'Revisi UU KPK dan Pertarungan Modal Politik Jokowi' di kantor Indikator, Jakarta, Senin (8/2).
"Ketika dikaitkan dengan rencana revisi UU KPK, kepuasan yang sudah cukup baik ini bisa terganggu jika Presiden tidak memenuhi aspirasi publik untuk mempertahankan posisi KPK," bebernya, seperti dikutip dari merdeka.com.
Baca Juga: Vinanda-Gus Qowim dapat Pesan Peningkatan Industri Pariwisata dari Jokowi
Presiden memang sampai saat ini masih belum mengeluarkan sikap resmi atas revisi tersebut lantaran rancangannya masih di tangan DPR.
"Dapat diprediksi jika revisi UU KPK tetap dilaksanakan dan Presiden tidak mengakomodasi aspirasi masyarakat maka tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden berpotensi menurun," tandasnya.
Meski demikian, dia menyebut, sebanyak 65,5 persen warga sangat puas dengan kinerja Presiden Jokowi Widodo (Jokowi) dalam menjalankan pemerintahan. Kata Hendro, tingkat kepuasaan tersebut tampak lebih tinggi dibanding saat Jokowi dilantik sebagai presiden.
Baca Juga: Warisan Buruk Jokowi Berpotensi Berlanjut, Greenpeace Lantang Ajak Masyarakat Awasi Prabowo-Gibran
"Terutama didorong oleh persepsi warga terhadap kondisi perekonomian nasional saat ini yang dirasakan terus membaik," paparnya.
Survei Indikator dilakukan terhadap warga berusia 17 tahun ke atas, pada 18-28 Januari 2016. Adapun, jumlah responden seluruhnya mencapai 1.500 responden. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara tatap muka, dengan margin of error sebesar lebih kurang 2,5 persen.
Hasil survey tersebut juga menyebut, bahwa masyarakat menilai revisi UU KPK akan melemahkan KPK. "54,4 persen mayoritas publik berpendapat bahwa revisi UU KPK akan melemahkan KPK dan sekitar 34,1 persen menilai bahwa revisi UU KPK memperkuat KPK," ujar Hendro.
Baca Juga: Pembina AJB Dipercaya KPK Beri Ulasan Terkait Integritas Pejabat dan Pelayanan Pemkab Bangkalan
"Kecuali pada kelompok pendidikan menengah pertama, perempuan, wilayah pedesaan dan terutama dari Maluku dan Papua," sambungnya.
Tidak hanya itu, menurut Hendro terdapat 83,9 persen publik tidak setuju dengan poin yang akan direvisi yaitu tentang dibentuknya dewan pengawas untuk lembaga anti rasuah tersebut. "Dan sekitar 86,7 persen publik tidak setuju dengan penghapusan kewenangan KPK melakukan penuntutan," bebernya.
"Mayoritas warga yang mengetahui tentang beberapa kewenangan KPK yang diusulkan untuk revisi, tidak setuju jika kewenangan KPK melakukan penyadapan dibatasi dan juga tidak setuju jika kewenangan penuntutan oleh KPK dihapuskan," tutupnya.
Baca Juga: 22 Saksi Ngaku Tak Tau soal Penggunaan Pemotongan Dana Insentif Pegawai BPBD Sidoarjo
Rencana revisi UU KPK menurut hasil survei itu, juga membikin DPR dan partai politik (parpol) makin tak dipercaya. "Mereka yang mengikuti berita revisi UU KPK cenderung memberikan kepercayaan yang lebih rendah, dibanding mereka yang tidak tahu," ujar Hendro.
Dia juga menjelaskan, menurut survei Indikator, pada Januari 2015, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR mencapai 59,2 persen. "Tetapi setelah munculnya wacana revisi UU KPK pada awal Januari 2016 tingkat kepercayaan publik terhadap DPR turun menjadi 48,5 persen," bebernya.
Tidak hanya itu, menurutnya, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik juga mengalami penurunan. "Kepercayaan terhadap partai menurun dalam setahun terakhir, yaitu 50,1 persen dan sekarang menjadi 39,2 persen," ungkapnya.
Baca Juga: Di Banyuwangi, Khofifah Ucapkan Selamat untuk Prabowo dan Gibran
"22,5 persen responden yang mengikuti pemberitaan soal revisi UU KPK, sebanyak 36 persen percaya pada DPR. Lalu sebanyak 62 persen menyatakan tidak percaya kepada DPR, dan 1 orang menyatakan tidak tahu," tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, juru bicara Presiden, Johan Budi mengatakan bahwa revisi Undang-undang KPK merupakan inisiatif DPR. Dalam konteks itu, Presiden Jokowi setuju revisi tetapi harus dimaksudkan untuk memperkuat lembaga KPK. "Jika itu sebaliknya, misalnya lembaga KPK dibatasi umurnya hanya 12 tahun, kewenangan penuntutannya diambil, maka kata presiden, itu bisa menarik diri, tidak melanjutkan pembahasan," kata Johan Budi saat menjadi pembicara rilis hasil survei bertajuk 'Revisi UU KPK dan Pertaruhan Popularitas Jokowi' di kantor Indikator, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (8/2)
Johan menambahkan, poin-poin draft revisi itu juga belum jelas. Masyarakat banyak yang tidak mengetahui. Sebab ada yang mengatakan empat poin dan ada yang tiga belas poin. "Nah, ketidakjelasan itu menurut saya, Menkum HAM pasti lebih paham detailnya ya, saya dari perspektif survei tadi, saya mengomentari hasil survei. Nah kalau pembicaraannya nanti mengarah ke melemahkan KPK, sikap presiden itu (menarik diri)," ujarnya.
Baca Juga: Di Penghujung Jabatan Presiden Jokowi, Menteri ATR/BPN Gebuki Mafia Tanah
"Apakah Istana sudah menerima draftnya?" tanya wartawan. "Kalau soal detail ini, anda tanya ke Menkum HAM. Saya kan nggak dilaporin ini. Tanya ke Menkum HAM apakah sudah ada draft yang dimaksud itu, jangan nanya ke saya," sebutnya.
Johan mengaku belum bertanya ke presiden apakah sudah menerima draft tersebut. Namum dalam hal ini, Menkum HAM dan Menko Polhukam telah ditunjuk untuk mewakili pemerintah. "Iya, (Memkumham pasti lapor ke presiden), saya belum tahu, belum nanya, jangan diplintir. Saya belum tahu apakah presiden sudah mendapat laporan," tandasnya.
Sikap pemerintah yang mengaku tak tahu isi draf revisi Undang-undang KPK itu mendapat kritikan dari Bambang Widjojanto, bekas pimpinan KPK. Menurut Bambang, sikap pemerintah yang mengaku tak tahu detail draf revisi sangat aneh. Sebab, revisi UU KPK sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016.
Baca Juga: Rakor Bersama DPRD, Pjs Bupati: Perkuat Sinergi Turunkan Angka Korupsi di Sidoarjo
"Kalau revisi ini sudah ada di Prolegnas DPR, tapi kolega seperti Pak Johan Budi belum mendapatkan apa isi revisi itu, ini naif dan ironi," sindir lelaki yang akrab disapa BW ini di Kantor Indikator Politik Indonesia, Jalan Cikini V No 15A, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (8/2/2016).
Johan kini menjabat sebagai anggota Tim Komunikasi Kepresidenan. Posisi itu diduduki selepas menjabat sebagai pelaksana tugas Pimpinan KPK.
Menurut Bambang, sikap dan pernyataan pemerintah ini berkebalikan. Sebab, pemerintah sebelumnya sudah menyatakan revisi UU KPK tersebut bertujuan untuk memperkuat lembaga antirasuah itu.
Baca Juga: Khofifah Kembali Dinobatkan sebagai 500 Muslim Berpengaruh Dunia 2025
Jika pemerintah bersikap ingin memperkuat, kata Bambang, pemerintah pun telah mengetahui isi draft revisi UU KPK. "(Jadi) Bagaimana mungkin sebuah pernyataan bisa dikeluarkan tanpa belum tahu revisi itu. Bagaimana rakyat akan merespon kalau partnernya saja belum mengetahui, ini naif dan ironi," sindir Bambang. (mer/dtc/mtrv/sta)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News