Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com - Man ‘amila shaalihan min dzakarin aw untsaa wahuwa mu/minun falanuhyiyannahu hayaatan thayyibatan walanajziyannahum ajrahum bi-ahsani maa kaanuu ya’maluuna.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Ayat studi kemarin (97) bicara soal orang yang beramal shalih dan beriman akan diberi kehidupan yang sangat bagus saat di dunia (hayah thayyibah), sedangkan di akhirat nanti akan mendapat balasan yang jauh lebih baik. Biasanya, ayat tentang iman dan amal shalih, redaksinya mendahulukan keimanan, baru amal shalih (al-ladzin amanu wa 'amilu al-shalihat). Sifatnya juga umum tanpa menunjuk jenis kelamin, pria dan wanita. Tapi pada ayat studi ini beda. Disebut dulu prestasi amal shalih ('amila shaliha), jenis kelamin (min dzakar aw untsa), baru keimanan (wahuw mu'min). Filosufisnya, kira-kira begini :
Pertama, Tuhan ingin memberitahu soal kesungguhan-Nya memberikan nilai dan penghargaan kepada umat manusia secara deatail dan rinci, sehingga tidak ada suatu amal yang sia-sia di hadapan-Nya. Dia merespon amal yang konferhenship, juga yang parsial. Sekecil apapun, tetap disikapi, tetap dihitung sesuai kebijakan. Tuhan jauh melampaui pedagang besar yang melayani eceran dan grosiran.
Kedua, menunjuk keadilan-Nya yang lintas apa-apa, tanpa memandang jenis kelamin. Hal itu sebagai koreksi terhadap tradisi jahiliah yang memandang kaum wanita dengan sebelah mata, dan Ketiga, memacu individu, pria maupun wanita agar berprestasi dan terus berprestasi dalam bidang kebaikan. Kini persoalannya, bagaimana kita beradil-adil dalam menghargai prestasi seseorang.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Bangsa ini menyaksikan, betapa pemerintah lewat Menteri Pemuda dan Olahraga memberi penghargaan fantastis kepada anak bangsa yang yang berprestasi meraih medali di ajang olimpiade 2016 di Brazil kemarin. Peraih medali emas mendapatkan hadiah lima miliar rupiah plus tunjangan hidup 20 juta per bulan selama hidup. Peraih medali perak dan perunggu di bawah itu. Kita perlu apresiasi setinggi-tingginya atas penghargaan ini. Ini perhargaan terhebat sepanjang sepanjang sejarah dan tidak pernah diberikan kepada juara apapun, di tingkat apapaun sebelumnya.
Itu tidak seberapa bila dibandingkan dengan pujian berlebih, Owi dan Butet, pasangan ganda campuran badminton ini disanjung-sanjung sebagai pahlawan, mengharumkan nama bangsa dan seterusnya. Parameter pahlawan itu apa, mengharumkan nama bangsa itu kreterianya apa. Jika yang dimaksud mengharumkan nama bangsa itu setiap kali juara di tingkat internasional, maka harus adil dan tidak boleh pilih kasih, tidak boleh menyanjung satu anak dan menganak-tirikan anak yang lain.
Ternyata, dalam perumusannya, otak penguasa negeri ini lebih memuja-muja dan mendewakan sektor main-main, perlombaan, kemaksiatan, olahraga, utamanya yang populis, ketimbang pada keilmuan, apalagi keagamaan. Juara menyanyi, kontes kecantikan, berjoget yang notabenenya cenderung maksiat, termasuk olahraga yang "tidak ada manfaatnya" menurut pandangan agama, bahkan dilarang Allah SWT, justru malah diidolakan, dihargai besar dan dielu-elukan.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Memang, sehat adalah perintah agama, tapi berprestasi dalam olahraga tidak mesti terkait agama. Olahraga adalah main-main yang bersifat pribadi, berkeringat sendiri, sehat-sehat sendiri dan tidak ada manfaat yang ditebar kepada orang lain. Tanding dalam olahraga cenderung nafsu serta berpotensi hasud antar sesama. Ini, sungguh merusak nurani ketakwaan, meski juga ada guna, seperti menggalang persatuan dan persaudaraan. Benar, kesatuan saat berkumpul bersama dalam acara seremonial belaka, tapi hakikat di dalam hati adalah permusuhan dan saling ingin mengalahkan. Bahkan jika mungkin, menang dengan segala cara.
Anak bangsa ini sudah banyak yang berprestasi di tingkat internasional, baik dalam bidang ilmu, sain, teknologi maupun prestasi keislaman. Yang menjadi juara Hafidh al-Qur'an 30 juz, tafsir al-Qur'an, Tilawah al-Qur'an dalam musabaqah internasional sangat banyak. Bahkan dalam waktu hampir bersamaan dengan Olimpiade Brazil kemarin juga ada. Tapi sama sekali tidak dihitung apa-apa dan dianggap tidak ada apa-apa.
Sadarlah, bahwa penduduk negeri ini mayoritas muslim, beragama islam. Ini sungguh fenomena mengenaskan bagi kaum muslimin di negeri ini. Nampak sekali bahwa kita hanyalah seorang beragama islam, tapi belum berkomitmen islami. Jika anak-anak ilmu, anak-anak teknolagi, anak-anak al-qur'an itu disoal sebagai bukan berkiprah di bidang olahraga?. Itu betul, tapi jangan lupa, mereka juga pemuda, mereka juga anak bangsa yang menjadi bagian dari amanat negara, amanat menteri pemuda dan olahraga atau menteri apa.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Dulu, penulis sangat gembira saat yang diamanati menjadi menteri pemuda dan olahraga dari kalangan santri pesantren, tokoh Ansor, nahdliyin nyel. Mugo iso mengangkat pemuda dan olahraga dengan warna keislaman dan pekerti islami. Eh, nyatanya malah nemen menyanjung duwur sundul langit juara dulinan lan tamplekan. Sementara juara kesantrian, juara keislaman, juara kealqur'anan sama sekali tidak dilirik babar blas.
Lebih menjijikkan lagi saat ganda campuran menang, pak menteri yang santri itu langsung menggunduli rambutnya di hadapan umum, seperti yang dilakukan oleh orang-orang politik saat menang. Padahal, biasanya yang gunduli rambut macam itu kebanyakan wong sing gak patek ngerti agomo. Ini fakta, bahwa pak menteri memang seorang muslim, tapi dalam mengemban amanat kementrian, ternyata belum berlaku islami. Ini fakta, bahwa pak menteri memang seorang santri, tapi dalam mengemban amanat kementrian tidak nyantreni.
Dalam diskusi kecil terkait arak-arakan menyambut sang juara yang dibesar-besarkan oleh menteri olahraga kemarin, seseorang berkomentar: "lho, medali emasnya kan cuma satu, kok euforianya berlebihan seperti juara umum".
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Teman lain menimpali: "seharusnya menteri olah raga itu dipecat, seperti menteri lain yang dinilai gagal oleh Presiden. Ketahilah, bahwa medali emas yang disediakan dalam Olympiade Brazil 2016 kemarin berjumlah sekitar 300an, tapi Indonesia hanya dapat satu atau hanya mencapai 0.33 persen dari total prestasi emas tingkat dunia. Urutannya ke 46, kalah dengan negara-negara miskin Afrika, Kuba, Jamaika, malah Kenya urutan ke 15 dengan 6 medali emas, 6 perak dan satu perunggu. Prestasi apa? Pahlawan apa?.
"Tapi saya harus mengakui" sambung si teman.. "Pak menteri satu ini sungguh pinter mengelabui rakyat dengan menutupi kegagalannya. Owi dan Butet dielu-elukan sedemikian wah dan besar-besaran, sehingga rakyat terbius dan tidak berpikir komparatif yang membandingkan antara prestasi dengan kegagalan. Bayangkan, hanya 0,33 persen lho... Yang mengherankan lagi, kok yo pak presiden ikut hanyut dalam sihir pak menteri. Huebat tenan hizibnya.
Sebagai santri, penulis senang beliau tetap diamanati sebagai menteri dengan harapan ke depan bisa berlaku lebih islami, sehingga prestasi kaum santri juga dihargai. Itulah pesan ayat kaji kita sekarang ini, "falanuhyiyannahu hayah thayyibah", Servis duniawi yang bagus bagi mereka yang berprestasi, (97). Sejatinya negeri ini "tidak" begitu harum di Olimpiade Brazil kemarin, cuma kita saja yang terlalu mengharum-harumkan diri. Moga ke depan, dunia memandang harum kepada kita.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News