DPR Setujui Perpu Kebiri Jadi UU: IDI belum Beri Tanggapan, PKS dan Gerindra Menolak

DPR Setujui Perpu Kebiri Jadi UU: IDI belum Beri Tanggapan, PKS dan Gerindra Menolak Menteri Sosoal Khofifah Indar Parawansa memberikan penjelasan seputar Perppu Kebiri. foto: liputan6.com

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU nomor 24 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menjadi UU.

"Apakah RUU tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dapat disetujui menjadi Undang-Undang?" kata Wakil Ketua DPR RI, Agus Hermanto di Ruang Rapat Paripurna DPR, Jakarta, Rabu (12/10).

Seluruh anggota DPR yang hadir dalam Rapat Paripurna itu menyatakan setuju Perppu soal itu menjadi UU. Sebelum keputusan itu diambil, ada dua fraksi yang tetap menyatakan menolak Perppu itu disetuju menjadi UU yaitu Fraksi Gerindra dan Fraksi PKS.

Anggota F-Gerindra, Saraswati Djojohadikusumo menegaskan fraksi tetap menolak Perppu itu disetujui menjadi UU meskipun telah melalui proses lobi yang difasilitasi Pimpinan DPR. Namun menurut dia, F-Gerindra tetap menghormati apabila mayoritas fraksi di DPR menyatakan setuju Perppu itu disetujui.

"Kami hormati sistem yang berjalan, apapun yang disahkan DPR dapat diimplementasikan dengan baik. Namun dengan catatan Gerindra belum bisa menyetujui Perppu tersebut menjadi UU," ujarnya, seperti dilansir Antara.

Dia mengatakan apabila Perppu itu disetujui maka harus ada komitmen dari tiap fraksi untuk melakukan revisi UU tersebut agar lebih komprehensif dan dapat dilaksanakan dengan efektif.

Ketua Fraksi PKS, Jazuli Juwaini mengatakan fraksi fokus pada perlindungan perempuan dan anak sehingga dibutuhkan regulasi yang komprehensif. Menurut dia, regulasi itu jangan hanya bersifat retorika dan pencitraan sehingga tidak memberikan solusi yang komprehensif.

"Kami hargai prinsip demokrasi dan hargai pendapat fraksi tentang 'comcern' perlindungan perempuan dan anak," jelasnya.

Menurut dia, catatan penting yang harus disepakati semua, Perppu yang setujui menjadi UU itu direvisi sehingga menghasilkan UU yang komprehensif dan menjadi kesepakatan bersama. Karena itu menurut dia, FPKS dapat menyetujui untuk menerima untuk direvisi kekurangannya.

Sementara Ketua Komisi VIII Ali Taher mengaku bersyukur Perppu Perlindungan Anak itu diteken.

Menurut Ali, UU ini bisa menjadi langkah preventif untuk mencegah para predator kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Aturan ini dinilai Ali juga bisa memberikan efek jera bagi pelaku.

"Kami bersyukur akhirnya DPR menyetujui meskipun tidak bulat suara, tetapi langkah yang terbaik adalah langkah preventif agar kejahatan tidak terulang kembali minimal ada faktor penjera yang bisa kita harapkan pada saat penerapan hakim pada waktunya," kata Ali.

Namun, walaupun telah disahkan, pelaksanaan UU ini juga perlu melibatkan unsur penegak hukum. Misalkan, katanya, untuk pemberian hukuman perlu adanya keputusan jumlah pidana dari hakim. Pemberian hukuman berlaku pada akhir masa pidana pelaku.

"Langkah kedua adalah meskipun sudah diundangkan tapi pelaksanaannya tergantung pada posisi hakim. Persoalan tambahan hukuman itu masuk di dalam dihitung dari putusan hakim atau tidak, nah ini kan perlu pidana," tegasnya.

"Kalau tidak ada hakim memutuskan tentang berapa jumlah pidana dan putusan yang dilakukan itu maka tidak berlaku. Kebiri itu bukan pada saat dia dihukum, tapi pada saat dia mengakhiri hukuman," sambung Ali.

Selain itu, UU Perlindungan Anak masih tersangkut persoalan yang harus dipikirkan pemerintah. Yakni peranan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai eksekutor hukuman . Ali menuturkan pihak IDI hingga kini belum memberikan opini apapun terkait tindakan medis terhadap pelaku.

"IDI sampai sekarang tidak memberikan opini karena faktor etik untuk melakukan tindakan medis terhadap pelaku kejahatan, nah ini yang harus dipikirkan oleh pemerintah," terangnya.

Ditambahkannya, panja mengusulkan dua opsi menyelesaikan masalah tersebut. Pertama pemerintah bisa melibatkan dokter dari lembaga permasyarakatan atau dokter dari rumah sakit kepolisian.

"Ada dua opsi dalam perdebatan komisi dan panja adalah satu kemungkinan dokter yang ada dilembaga permasyarakatan yang miliki kewenangan itu. Dan rumah sakit, kepolisian yang juga memiliki kewenangan untuk itu. Maka mudah-mudahan kita lihat perkembangan selanjutnya setelah diundangkan," jelas Ali.

Menyangkut catatan dari fraksi Gerindra dan PKS yang ingin UU ini direvisi, Ali menyebut pihaknya akan melihat perkembangan terlebih dahulu. Terpenting, lanjutnya, UU PPA telah memberikan kepastian hukum untuk pemberatan hukuman bagi pelaku.

"Setelah diberlakukan UU dulu baru nanti revisi. Yang paling ada kepastian hukum kalau pelaku kejahatan itu sudah dapat dilakukan tindakan maksimal dan berat," jelasnya.

Di sisi lain, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyambut baik disetujuinya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU nomor 24 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang. Ia menilai disahkannya Perppu itu akan lebih memantapkan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual.

"Dengan diundangkan mudah-mudahan makin mantap proses penetapan putusan pengadilan kepada pelaku," katanya.

Mensos mengatakan kasus-kasus yang sedang diproses di pengadilan bisa menjadikan UU tersebut sebagai landasan sebelum menjatuhkan hukuman.

"Saya rasa hakim dan jaksa memberikan penuntutan di pengadilan sehingga ketika Perppu itu sudah ditandatangani presiden sebenarnya sudah berlaku lalu kita melihat itu mungkin belum maksimal, maka dengan diundangkan ini bisa dilakukan pemberatan hukuman atau ini bisa diberikan tambahan hukuman sehingga harapannya adalah bisa mereduksi kemungkinan munculnya kekerasan-kekerasan seksual kepada anak," kata dia.

Namun dengan menjadi undang-undang, maka tugas Kementerian Sosial juga tambah banyak karena sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya memberikan rehabilitasi tidak hanya kepada korban dan keluarga korban tapi juga rehabilitasi kepada pelaku.

"Kita sedang menghitung mudah-mudahan 2017 kita punya dukungan anggaran yang cukup. Sekarang ini kita justru sebetulnya banyak di-support Taruna Siaga Bencana (Tagana) yang sudah disiapkan untuk menjadi tim psikososial terapi itu ada 3.200 personel," tambah dia. (rol/mer/tic/lan)

Sumber: antara.com/republika.co.id/merdeka.com

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO