>>>>>> Rubrik ini menjawab pertanyaan soal Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan pembimbing Dr. KH. Imam Ghazali Said. SMS ke 081357919060, atau email ke bangsa2000@yahoo.com. Jangan lupa sertakan nama dan alamat. <<<<<<
Pertanyaan:
Baca Juga: Saya Dilamar Laki-Laki yang Statusnya Pernah Adik, Keluarga Melarang, Bagaimana Kiai?
Assalamualaikum Pak Kyai, saya mau tanya bagaimana hukumnya megengan itu, dan bagaimana kalau dia tidak ikut melakukannya seperti pada umumnya di daerah saya, yaitu ikut bersedekah dengan makanan pada saat acara? Terima kasih, mohon jawabannya. (Abdul Hamid, Papua)
Jawaban:
Pada dasarnya “megengan” itu adalah kata dalam bahasa Jawa yang berarti “menahan”. Namun kata ini sudah menjadi istilah pada masyarakat Jawa sebagai bentuk ekspresi untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Maka, dapat ditebak bahwa di daerah Anda pasti masih banyak orang Jawanya atau transmigrasi dari Jawa. Sebab itu adalah budaya Jawa yang baik untuk menyambut dan mengenalkan hadirnya bulan puasa, menahan diri dari makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan puasa kepada masyarakat umum dan para pemuda.
Baca Juga: Istri Tak Penuhi Kebutuhan Biologis, Saya Onani, Berdosakah Saya?
Ekspresi “megengan” itu dapat berupa ziarah ke makam keluarga yang telah meninggal dan membersihkan lokasi kuburan tersebut, atau dengan memasak makanan yang akan dikirimkan ke tetangga terdekat dan keluarga. Atau dengan mengadakan acara resmi dari pihak dukuan atau desa, mengajak berkumpul bersama-sama di pendopo atau pedukuhan sambil membawa makanan yang ia mampu. Biasanya membawa tumpeng atau jajan pasar. Kebiasannya “megengan” ini dilakukan di minggu terakhir bulan sya’ban atau -yang jelas- setelah nisfu sya’ban.
Oleh sebab itu, “megengan” merupakan budaya ekspresi budaya untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Ia masuk dalam kategori muamalat, dalam bahasa fiqihnya bukan ibadat. Maka, tidak dapat dikatakan kalau megengan itu bid’ah, karena tidak ada pada zaman Rasulullah saw. Budaya ini tentunya berbeda bentuk dan penamaannya dari satu kawasan ke kawasan yang lain, namun intinya adalah menyambut datangnya bulan Ramadhan.
Di antara nilai-nilai yang dapat diambil manfaat dari “megengan” ini adalah; (1) memberikan pengumunan kepada masyarakat bahwa bulan puasa telah tiba kembali. (2) mengajak masyarakat untuk kembali membuka-buka dan mempelajari hukum fiqih puasa, sehingga puasa yang dijalankan nanti sah dan diterima. (3) memberikan semangat kepada generasi muda dan anak-anak untuk ikut serta berpuasa dan menimba ilmu tentang fiqih dan hikmah puasa. (4) mengingat jasa-jasa orang tua yang telah meninggal sehingga kita tidak lupa mendoakannya pada bulan yang mulia ini. Dan, (5) melatih diri untuk berbagi dengan sesama, artinya yang mampu bersedekah dengan uang, sedangkan yang kurang mampu dapat bersedekah dengan tenaga.
Baca Juga: Rencana Nikah Tak Direstui karena Weton Wanita Lebih Besar dan Masih Satu Buyut
Maka, “megengan” adalah ekspresi budaya yang apabila tidak Anda lakukan juga tidak mendapatkan dosa, karena ia adalah hal sosial untuk menyemarakkan hadirnya bulan puasa, bukan ibadah yang harus dilakukan. Memang, terkadang terjadi ketimpangan ketika ada yang tidak melakukan, kemudian ia dianggap tidak taat beragama. Nah, ini yang perlu diluruskan dan dibenarkan. Dan juga, “megengan” itu tidak harus dengan makanan, sebab ini dapat memberatkan sebagian orang yang kurang mampu. Oleh sebab itu, setiap ekspresi budaya lokal yang terjadi pada sebuah kawasan itu bukan wajib atau sunnah hukumnya tapi kebaikan bagi masyarakat tersebut jika mengajak pada kebaikan. Wallahu a’lam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News