GUINEA (bangsaonlione) - Uji klinik vaksin eksperimental untuk mengatasi virus Ebola, yang rencananya akan tersedia untuk publik tahun depan, akan segera dimulai.
mengutip dw.de, Wabah Ebola telah merenggut nyawa hampir 1000 orang di Afrika Barat dan penyakit ini masih dapat terus tersebar selama berbulan-bulan. Hingga kini belum ada obat atau vaksin yang terbukti mampu mencegah seseorang terinfeksi Ebola. Skala wabah virus ini memaksa organisasi kesehatan dunia (WHO) menyebutnya sebagai kondisi darurat kesehatan dunia.
Baca Juga: Vaksinasi Dapat Bantu Kurangi Risiko Kematian Akibat Demam Berdarah
GlaxoSmithKline (GSK) telah memproduksi vaksin eksperimental dengan hasil menjanjikan dalam penelitian yang melibatkan primata. Kini studi itu memasuki Fase pertama uji coba pada manusia yang masih menunggu persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA).
Minggu (10/08/14), juru bicara perusahaan GSK mengatakan, uji klinik akan dimulai "tahun ini". Sementara mitra GSK, lembaga nasional penyakit alergi dan infeksi AS (NIAID) dalam pernyataan di situsnya mengatakan, uji klinik paling cepat akan dilakukan "awal musim gugur 2014".
Walau uji klinik kelak dilakukan sangat cepat, vaksin baru tidak akan siap sebelum 2015. Ini pun jika semua berjalan sesuai harapan.
Baca Juga: Cara Update PeduliLindungi ke Satu Sehat Mobile
"Kami masih di tahap awal pengembangan dan prosesnya masih panjang," ujar jubir GSK yang menolak untuk memberikan perkiraan waktu peluncuran obat.
Vaksin uji coba ini berdasarkan adenovirus simpanse yang diinjeksi dua gen Ebola, yang artinya tidak mengandung materi virus Ebola yang menular. Adenovirus dikenal sebagai penyebab penyakit flu biasa.
Saat vaksin memasuki sel dan mengantarkan muatan genetiknya, dua gen yang diinjeksi memproduksi protein yang membangkitkan respon kekebalan tubuh - adenovirus yang membawa gen tersebut tidak mengalami replikasi lebih lanjut.
Baca Juga: Mahasiswi FKG Unair dari Madiun Sampaikan Pentingnya Memahami Ebola
Obat Eksperimental
Keputusan untuk mencoba obat yang masih dalam taraf eksperimental terhadap dua warga AS yang terinfeksi ebola menyulut kontroversi etis, karena ebola sudah merenggut nyawa hampir 1.000 warga Afrika.
Walaupun debat sudah tersulut, mengingat sudah banyaknya korban jatuh di Afrika, para pakar di AS mengatakan, itu bisa dibenarkan secara etis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan, pihaknya menjadwalkan pertemuan khusus pekan depan. Dalam pertemuan akan ditelaah penggunaan obat yang masih dalam tahap eksperimental, untuk penyebaran ebola di Afrika Barat. Obat yang dinamakan ZMapp itu kini sudah digunakan untuk mengobati dua pekerja organisasi kemanusiaan AS, Samaritan's Purse.
Baca Juga: Dalam 2 Hari, Program Satu Juta Vaksin Booster Sudah Diikuti 867.449 Warga
ZMapp masih dalam tahap awal pengembangan, dan sebelum digunakan pada kedua warga AS, obat ini baru diujicobakan pada monyet. Oleh sebab itu obat ini juga tidak diproduksi dalam jumlah banyak, dan belum ada bukti bisa mengobati atau menyembuhkan ebola. Tetapi kondisi kedua pekerja kemanusiaan tersebut, Kent Brantly dan Nancy Writebol, sudah menunjukkan perbaikan sejak diberikan obat tersebut.
Mengapa tidak di Afrika?
Berita tersebut segera disambut seruan untuk menyebarkan obat di Liberia, Sierra Leone dan Guinea, di mana korban ebola sudah sangat banyak. Nigeria, di mana tujuh kasus ebola sudah terkonfirmasi, kini mengumumkan diadakannya pembicaraan dengan badan penanggulangan penyakit menular AS, Centers for Disease Control. Mereka menanyakan kemungkinan untuk memperoleh ZMapp.
Baca Juga: Targetkan Capai 70 Persen, Pangkoarmada II Gelar Serbuan Vaksin di Ngawi 30 Ribu Dosis
Sementara itu, tiga pakar ebola terpenting, termasuk Peter Piot, salah satu penemu virus itu pada tahun 1976, mendesak agar ZMapp disebarluaskan. "Kemungkinan besar, jika Ebola menyebar di seluruh Afrika Barat, badan berwenang akan memberikan obat eksperimental atau vaksin kepada orang yang terancam akan terjangkit," demikian pernyataan ketiga pakar itu, seperti diberitakan harian AS Los Angeles Times. "Negara-negara Afrika, di mana ebola sekarang merajalela harus mendapat kesempatan sama," demikian ditambahkan.
Mapp Pharmaceuticals, perusahaan AS yang memproduksi obat itu menyatakan, keputusan apapun untuk menggunakan obat tersebut harus diambil dokter yang merawat pasien, dalam lingkup peraturan yang berlaku. Perusahaan itu juga menambahkan, mereka sedang bekerja untuk menambah produksi.
Mengambil risiko?
Baca Juga: Reses DPRD pada Masa Pendemi, di Probolinggo Masih Banyak Warga Belum Paham Vaksin
Tapi Presiden AS Barack Obama mengatakan Rabu (06/08), negara-negara yang terkena wabah Ebola sebaiknya memfokuskan diri pada langkah-langkah yang sudah terbukti berhasil selama ini, dan tidak mencoba obat yang masih dalam tahap eksperimental.
Namun demikian, "Saya akan terus mencari informasi tentang apa yang sudah kami ketahui berkaitan dengan kelanjutan percobaan obat ini," ditambahkan Obama.
Para pakar mengatakan, perluasan penggunaan ZMapp bukan masalah kecil. Mereka juga menolak tuduhan tidak adil dalam menggunakan obat kepada dua warga AS yang berkulit putih. "Jika menghadapi jumlah sebesar ini, memang tekanan untuk menyebarluaskan obat rasanya tidak tertahankan. Tapi orang harus ingat, dari penggunaan obat yang masih dalam tahap eksperimental, kerugian bisa ada," demikian ditekankan G. Kevin Donovan, direktur pusat studi bioetik pada Universitas Georgetown.
Baca Juga: Polda NTB Bentuk Batalyon Pcare untuk Input Data Vaksin, Ini Penjelasannya
Ia menambahkan, Brantly dan Writebol adalah calon baik untuk mencoba obat berisiko ini, karena mereka keduanya berpengalaman secara medis. Pengetahuan mereka membantu untuk mengerti besarnya risiko.
WHO Keluarkan Rekomendasi
Panel pakar kesehatan WHO menyatakan pemberian obat eksperimental kepada pasien yang terinfeksi virus Ebola sebagai etis. Jumlah korban tewas karena virus tersebut telah lebih dari 1000 orang.
Baca Juga: Ketua TP PKK Kota Surabaya Salurkan Bantuan ke Ibu Hamil
Dalam pernyataannya, badan kesehatan dunia (WHO) mengatakan bahwa panel mencapai konsensus dan menyimpulkan penawaran intervensi yang belum terbukti sebagai obat atau pencegahan adalah hal yang etis.
Saat ini belum ada obat atau vaksin bagi Ebola, dan WHO telah menyatakan wabah ini sebagai kondisi darurat kesehatan publik global.
Picu Perdebatan
Tapi penggunaan obat eksperimental ZMapp pada dua warga AS dan seorang pendeta Spanyol yang terinfeski virus tersebut saat bekerja di Afrika telah memulai perdebatan masalah etis.
Obat yang tersedia dalam jumlah sedikit ini dilaporkan menunjukkan hasil menjanjikan pada dua warga AS. Sementara, Selasa (12/08), rumah sakit Spanyol yang merawat pendeta mengatakan pasiennya telah meninggal.
Organisasi Dokter Lintas Batas mengatakan krisis mencengkeram Guinea, Liberia dan Sierra Leone hanya akan bertambah buruk dan memperingatkan tidak ada strategi menyeluruh untuk menangani wabah Ebola terburuk di dunia selama ini.
Perusahaan AS Mapp Biopharmaceutical yang memproduksi obat tersebut mengatakan telah mengirimkan semua suplai yang tersedia ke barat Afrika.
Data harus Dibagi
Pakar kesehatan dari seluruh dunia turut menghadiri acara diskusi yang digelar WHO Senin (11/08) untuk merancang haluan penggunaan obat yang belum diotorisasi pada kasus darurat seperti Ebola. Selain kriteria etis, panel juga menekankan pentingnya "obligasi moral untuk mengumpulkan dan membagi semua data."
Menurut data terbaru dari WHO, penyakit Ebola menginfeksi 1848 orang dan menyebabkan 1013 kematian sejak awal tahun ini. Badan kesehatan dunia ini juga mengatakan, wabah kali ini adalah yang terburuk sejak Ebola pertama kali ditemukan empat abad lalu.
Wabah mematikan ini baru ditemukan di Guinea, Liberia, Sierra Leone dan Nigeria. Semua negara di barat Afrika yang sistem kesehatannya sangat buruk.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News