Sumamburat: Sampar Korupsi

Sumamburat: Sampar Korupsi Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

GEMURUH pilkada dan pilgub Jatim terus membuncah menyuarakan duntum yang menggema di hayat rakyat, sepertalian dengan girangnya parpol mendapat nomor kepesertaan dalam pemilu 2019 tempo hari, Ahad, 18 Februari 2018. Di hari itu, ikrar damai pilgub Jatim dikumandangkan pula dalam balutan “upacara kenegaraan” yang diselenggarakan KPU.

Baca Juga: Usai Ditangkapnya 3 Hakim yang Bebaskan Ronald Tannur, PN Surabaya Dipenuhi Karangan Bunga

Detak jantung memasuki tahapan kampanye pun berlangsung kian cepat dan publik dibuat tersentak oleh ramainya KPK melakukan terhadap para Kepala Daerah, termasuk yang hendak “tanduk” (menyalonkan kembali, tambah periode lagi) untuk meraih “singgasana kursi tinggi”.

Kabar tangkapan KPK dalam mekanisme merambah di teritori seluruh NKRI. Daya ledak kasus korupsi pada rotasinya ternyata melebihi dari apa yang diimajinasi khalayak ramai. Pada tataran inilah saya teringat La Peste karya sastrawan besar Perancis kelahiran Aljazair 7 November 1913, Albert Camus. La Peste terbit perdana tahun 1947 dan kini telah dialihbahasakan menjadi Sampar (2013).

Pemahaman umum telah memotret bahwa sampar adalah penyakit menular yang ganas dan dalam tempo yang kilat ataupun melambat tetapi menyengat. Pada segmen tematiknya sampar berada dalam bongkahan urusan iman maupun epidemi kesehatan masyarakat di tingkatan yang mengkhawatirkan: membinasakan. Begitulah akar dasarnya dalam tradisi Ibrani bahwa sampar itu memang soal pembinasaan suatu kaum atas ketidaktaatannya, kemurtadannya pada ajaran Tuhan (deʹver). Dalam terminologi yang kita banget, sampar biasa dinamakan “penyakit kutukan”.

Baca Juga: Ketika Gus Ali dan Dua Putranya Kader PKB serta Menantunya Kader PDIP Deklarasi 02 Pasca OTT KPK

Albert Camus dengan ciamik membidik dalam kisah yang ganjil: “… tugas yang paling sukar bagi dokter itu ialah dia berhadapan dengan absurditas yang memang selalu hadir dalam kehidupan manusia. Apalagi di kota yang dikuasai epidemik … di masa kota berwabah itu, Tarrou menentukan sikap untuk ‘bersama korban’, yang berarti menolak untuk ‘menjadi sekutunya’ bencana … Lalu, barangkali pada suatu hari, guna kemalangan ataupun pelajaran bagi manusia, sampar akan membangunkan tikus-tikus, kemudian menyuruh mereka mati di tempat-tempat terbuka di suatu kota yang bahagia”.

Ya … Kota dalam absurditas. Absuditas dalam novel sampar itu sangat mewakili kompleksitas masalah korupsi di Republik ini yang di tahun 1954, Pramoedya Ananta Toer menyindirnya dalam novel Korupsi sebagai masalah moral individual yang bergeser ke arah problema sosial-politik. Korupsi menjadi budaya, kelakuan menggarong uang negara secara diam-diam yang sistemik. Begitu anggitan tanpa ragu dan hal ini sungguh menggedor nalar sehat saya selaku anak negeri ini. Pungli, suap, sogokan, atau apapun namanya yang terekam adalah berlangsung “wabah sampar korupsi” yang semarak dengan kebinasaan martabat. Tidakkah ini sudah sedemikian terang, tetapi terus saja memawah. Kisahnya benar-benar persis dengan “percepatan penyebaran penyakit sampar”.

Begitu banyak institusi pemerintahan yang terserang “sampar korupsi”. Buktinya kasus korupsi telah mendera di banyak daerah, juga kantor-kantor negara seperti BPK, DPR(D), kepala dinas, kejaksaan, kepolisian, kehakiman, dan BPN. Semua telah membentuk formasi sambung-menyambung menjadi satu untaian “sampar korupsi” yang melibatkan pemegang otoritas yuridis. Rakyat tertegun dalam kegemparan yang menestapakan jiwa. Batin umat terperangah tanpa mampu beranjak. Pun semua menyaksikan bahwa aktor korupsi mayoritas berkedudukan “terhormat”, status sosial bergengsi, dan rata-rata mengenyam pendidikan tinggi, lantas terpelanting akibat lemahnya integritas diri.

Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis

Rasa geram sebagai warga negara atas pengentitan uang negara yang bersarang dalam gedung-gedung kedaulatan, sejatinya menyembulkan kekesalan paripurna. Korupsi pada setiap segmennya, benar-benar mengancam daya tahan negara secara terencana dan menjadikan demokrasi terinjak dalam balutan arogansi nan serakah. yang dilakukan KPK memberikan pelajaran besar kepada bangsa ini untuk melawan budaya korupsi. KPK telah menjalankan peran selaksa selongsong peluru yang dalam bayangan puitis Wiji Tukul (2004) terekam pada ungkapan: Aku Ingin Jadi Peluru. KPK dapat menjadi peluru pembunuh korupsi.

Sadarilah bahwa di negeri ini sudah ada “paugeran berkuasa” anti korupsi. Pejabat negara yang bernorma dasar Pancasila tidaklah pantas dipameri tingkah pola korupsi. Dalam Tap MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa telah diamanatkan kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Betapa “sucinya” orientasi kolektif bernegara tersebut. Apabila sekarang, korupsi tengah menjadi sampar, maka KPK wajib bergerak “membredel” tindakan rasuah. Bagi mereka yang hendak menempuh jalan korupsi, sudilah membaca renungan yang dituliskan dalam Hikayat Arabia Abad Pertengahan (Tales of The Marverios) yang serupa legenda 1001 Malam (The Arabian Nights) seperti diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Inggris oleh Malcolm C. Lyons (2014):

Baca Juga: Soal KPK Tak hanya Fokus di OTT, Mahfud MD Anggap Pernyataan Luhut Tak Salah

“Pada mayat yang terbungkus, tergantung tablet dengan tulisan: Akulah Syaddad yang Agung. Aku menaklukkan seribu kota; seribu gajah putih dikumpulkan untukku; aku hidup selama seribu tahun dan kerajaanku menjangkau timur dan barat. Tetapi ketika kematian datang kepadaku, tak satu pun dari semua yang aku kumpulkan berfaedah bagiku. Engkau yang menyaksikanku dapat mengambil pelajaran: waktu tak bisa dipercaya”.

Rute terakhir armada kehidupan manusia menuju kematian, antara penempuh jalur korupsi dan yang mengabdi, pastilah bersimpang jalan. Korupsi, sekali lagi amat membahayakan dan mampu membuyarkan karakter bangsa. Untuk itulah sebagai tanda pengingat, kita semua para pembaca Sumamburat, saya catatkan ulang puisi Wiji Tukul tahun 1989, Tentang Sebuah Gerakan: “… aku berpikir tentang gerakan/tapi mana mungkin/kalau diam?

*Penulis merupakan Kolomnis adalah Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Baca Juga: Wakil Ketua DPRD Jatim Minta Maaf Usai Ditahan KPK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO