SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Madi seorang penarik becak menjadi pegiat seni dan sastra di Surabaya. Siapa sangka sosok tukang becak ini, juga dikenal sebagai penggiat sastra dan seni.
Cak Madi, begitu sapaan akrab, tinggal di Karang Tembok, Surabaya Utara. Penarik becak menjadi profesinya tidak menyurutkan hasrat dan keinginan untuk menulis dan berkesenian. Justru dari profesinya tumbuh ide-ide untuk berkarya.
Baca Juga: Pantatnya Diremas Penonton, Biduan di Sragen Lapor Polisi
Bapak dari 4 orang anak ini sukses membawa anak pertama hingga lulus D-1 PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) fokus Desain di ITS Surabaya melalui pekerjaannya menjadi penarik becak.
Cak Madi menuturkan bahwa dirinya membecak sejak tahun 2004 yang sebelumnya berprofesi sebagai juru foto keliling yang masih menggunakan kamera film, saat itu. Sejak beredar handphone yang berfitur kamera, jasanya sebagai juru foto keliling mulai surut pelanggan.
"Suatu saat saya berbincang dengan seorang teman yang mengatakan, Nek awakmu rai gedhek gowoen motor tank (becak) iku!," terang Madi kepada Bangsaonline.com.
Baca Juga: Perjalanan Fathurrohman Hartono, Pelukis Sketsa yang Bisa Terawang Kehidupan Seseorang
Kemudian, dengan sederhana istrinya menjawab keinginan Madi untuk mencari nafkah dengan mbecak, "Selama itu halal silakan, mas!" jawab istrinya kepada Madi. Madi sangat bersyukur saat bercerita kepada Bangsaonline.com.
Madi semenjak muda suka menulis puisi bahkan sampai terkumpul menjadi satu buku. Menurutnya, gagasan-gagasan itu banyak muncul ketika mbecak, baik saat menunggu penumpang bahkan saat mengantarkan penumpang. Gagasan itu semakin banyak juga karena buku puisi yang ditaruh di atas lemari basah dan tidak bisa dibaca saat kejatuhan air bocoran genteng saat hujan.
Bahkan, Madi mengibaratkan bahwa menulis itu layaknya rasa lapar yang harus segera dituntaskan. Madi mengakui bahwa kegemarannya menulis tidak langsung disambut baik oleh keluarga terutama istri. "Membaca, menulis, menggambar, lihat ke belakang pancinya akan rusak" kata istri Madi.
Baca Juga: Tiga Hari di Turki, Pelukis Sket Hamid Nabhan Jadikan Tempat Peninggalan Bersejarah sebagai Obyek
Hal tersebut tetap tidak menyurutkan semangatnya. Bagi dirinya, hal tersebut harus ditanggapi sebagaimana pepatah 'tak kenal maka tak sayang'. Maka Madi dengan rajin mengenalkan puisi-puisi karyanya kepada istri yang lama-lama istrinya mulai memakluminya.
Di samping menulis puisi pada umumnya, Madi juga menulis geguritan, puisi bahasa jawa dengan subdialek Suroboyoan dan pernah dimuat majalah Joyoboyo.
Sedangkan tulisannya yang lain berupa opini tentang perbecakan pernah dimuat oleh Kompas biro Jawa Timur. Kumpulan opininya kini telah dibukukan pada tahun 2012 dengan judul "Pledoi Becakan".
Baca Juga: Gubernur Khofifah Optimis PSLI 2022 Jadi Resonansi Bangkitnya Ekonomi Kreatif dan Industri Seni
Pada tahun 2017, kali pertama Madi menggalakkan literasi dengan membaca puisi di atas becak yang dituliskannya "Ayo Membaca" saat Car Free Day Darmo. "Ketika saya membaca puisi, saya tidak tahu kenapa banyak orang memberikan saya uang" terang Madi kepada Bangsonline.com.
Dengan begitu Madi berinisiatif untuk meneruskan hal demikian dan mengumpulkan uang hasilnya membaca puisi untuk membeli buku. Pada tanggal 21 Maret 2017, buku-buku yang dibelinya didonasikan kepada rekan-rekan becakannya di Jembatan Merah. Sampai saat ini Madi dapat dijumpai ketika Car Free Day Darmo, di sana dia tidak lagi membacakan puisi tapi mematung dengan merias diri seperti aktor pantomim dan mengenakan kostum yang unik.
Beberapa waktu lalu, bersama seniman se-Surabaya Madi menyelenggarakan acara sastra untuk membangkitkan lagi animo dan geliat sastra Surabaya di bawah Bengkel Sastra, salah satu devisi dari komunitas Bengkel Muda Surabaya. (*)
Baca Juga: Hamid Nabhan: Impian Saya Membuat Sketsa Menara Eiffel Terkabul
bergaya pantomim saat car free day di Raya Darmo. foto: istimewa
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News