Sumamburat: Pilkada Bukan Dagelan

Sumamburat: Pilkada Bukan Dagelan Suparto Wijaya.

Oleh: Suparto Wijoyo*

SAMPAI tulisan ini tiba di Redaksi Harian Bangsa, banjir tetap menggenang di jogan dan memenuhi halaman serta menenggelamkan ruas-ruas jalan di kampung-kampung, di dusun-dusun, di desa-desa di Lamongan. Kisahnya nyaris seperceritaan banjir - rob yang acapkali terjadi di Kota Semarang, Bojonegoro, Tuban, maupun Gresik. Semua itu rutin.

Air datang “menyapa warga” setiap musim penghujan selaksa para paslon pilkada yang menghadirkan diri guna dikenal untuk dipilih. Janji digelar penuh gelegar agar setiap yang tertidur mendengar bahwa pilkada sedang dilakonkan kembali. Berpuluh-puluh tahun pemerintah diselenggerakan dan penguasa ditampilkan untuk mengatasi “masalah yang sama” dari periode ke periode. Banjir, harga sembako yang membubung, harga pupuk yang “subur”, harga TDL, BBM yang meninggi, serta pajak yang semakin progresif.

Saya menyaksikan orang-orang kampung sejak di Salatiga pekan lalu, lanjut di pedalaman Ngawi, Madiun, Nganjuk, Mojokerto, eh juga Pacitan, ternyata senyumnya sama. Senyum yang amat simpul bahwa derita mereka adalah karena “takdir yang harus diterima”. Iklimnya memang demikian. Alam dibuat menjadi sandaran pembenaran untuk menerima “bencana” apapun saja itu karena “kersane Gusti Allah”.

Penyataan itu mengunggah kebijakan diri dalam menghadapai tradisi demokrasi yang masih dikukuhi sebagai penawar solusi anak negeri. Silih bergantinya kepala daerah meski tidak mampu mengatasi banjir di desa-desa selama puluhan tahun ini, tetap diterima oleh warga menjadi bagian pesta yang dinanti. Mereka setia menunggu datangnya Ratu Adil, kapanpun adanya. Baginya, kesabaran harus tertundukkan pada sang waktu yang menggelindingkan nasibnya. Pasrah.

Itulah pelajaran menjembarkan hati dari rakyat untuk mampu menerima lakon pilkada yang terus digulirkan, termasuk dengan paslon-paslon yang beratribut tersangka korupsi. KPU yang sudah berisik memberikan sinyal penggantian paslon, tetap saja disorongkan kepada partai pengusungnya. Penyelesaian hukum yang mudah bahwa paslon yang sudah memasuki tahapan “masuk gelanggang dengan nomor urut yang terang” dilarang mundur.

Mundur dari palagan adalah tindakan kriminal, tidak kesatria dalam pertempuran yang sudah direncanakan, bahkan dibiayai oleh negara. Para koruptor itu diberi panggung untuk tetap menebarkan senyum dan pemilik suara dipercaya akan menggantang janji-janjinya. Ternyata urusan pilkada itu juga semacam “dagelan” yang dalam episode pewayangan “pas linsir wengi menjemput fajar”. Limbuk keluar bersama punokawan untuk “membanyolkan” kahidupan para satria “peliharaan”. Sisi-sisi pilkada yang "menggelikan”.

Pilkada difestivalkan untuk memasuki babakan “banyolan” seperwaktuan dengan “keluarnya Limbuk bersama punokawan” yang sedang mentertawakan hayatnya. Paslon yang terlibat korupsi dengan status yang dijumpaperskan oleh KPK, itu berarti ada masalah. Apabila mereka mundur dianggap oleh “frase hukum” bertindak kriminal, tetapi yang kriminal itu bukan korupsinya melainkan “tindakan mundurnya, tentu “rasa hukum” akan berkata lain bahwa paslon dimaksud (yang tetap rela mundur usai diberi “julukan tersangka” oleh KPK) sesungguhnya andalah pemenang pertarungan. Anda menang bertarung melawan “hausnya kuasamu”, mampu menundukkan egomu, dan itulah puncak kemenangan pilkada ini.

Lebih dari itu, paslon yang terlibat korupsi yang diundurkan KPU selaku penyelenggara pemilu pastilah tidak ada problem, mengingat paslon itu bukan mundur tetapi diundurkan. Adapun parpol pengusung yang tidak mampu mengatasi hal ini menandakan bahwa mereka sedang menyodorkan “prahara kepada konstituennya”. Soal pilkada itu jangan ada yang mempermainkan, mengigat memilih pemimpin itu bukan urusan dagelan, bukan soal pesta pora dengan panggung yang diisi lenggak lengkok pejoget, melainkan soal pertaruhan dalam penyerahan daulat kepada penerima mandat untuk memanggul “kekuasaan”.

Soal pilkada tidak elok dilakukan dengan cengegesan dan cekikak-cekikik mentertawakan diri, “banjir dan harga-harga yang melambung” yang kini terjadi dan diterima oleh rakyat dengan tetap tersenyum itu sebenarnya merupakan “tamparan keras bagi pemimpin” yang mampu mendengar suara terdalam “ejekan rakyat”. Terhadap hal ini saya teringat kisah yang diungkap Ibu Hajar al-Asqalani (1372-1449), ahli hadis dan pengarang Bulughul Maram.

Dalam buku Az-Zahru an-Nadhir Fi Naba’i al-Khadir yang mengungkap misteri Nabi Khidir beliau menuliskan hikayat dari Kitab al-Hilya pada biografi Raja Haiwah, Abu Na’im mengisahkan: pada suatu hari aku sedang berdiri bersama Sulaiman bin Abdul Malik. Aku adalah orang yang memiliki kedudukan di sisinya. Kemudian datanglah seorang laki-laki dan menyebut namaku dengan santun. Lelaki itu mengucapkan salam, lalu berseru:

Wahai Raja, sesungguhnya engkau sedang diuji dengan lelaki ini (Sulaiman), dan lelaki itu sangat dekat dengan penyimpangan. Wahai Raja berbuat baiklah dan tolonglah kaum lemah. Ketahuilah wahai Raja, barang siapa memiliki kedudukan, lalu dia memenuhi kebutuhan orang lemah, pada hari kiamat nanti dia akan bertemu Allah dalam keadaaan diteguhkan kedua kakinya untuk menghadapi hisab. Ketahuilah wahai Raja, barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya sesama muslim, sesungguhnya Allah juga akan membantu kebutuhannya. Ketahuilah, wahai Raja, diantara sebaik-baik amal bagi Allah adalah melapangkan jalan yang kau berikan kepada sesama muslim.

Lalu Raja pun kehilangan jejak lelaki itu. Menurutnya, lelaki yang dijumpainya itu adalah nabi Khidir. Subhanallah.

*) Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO