Sumamburat: Antara Kesempatan dan Hasrat

Sumamburat: Antara Kesempatan dan Hasrat Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo*

SEPENDARAN cahaya itu menyembulkan sungging senyum dan lelehan air mata haru yang tumpah di bentara mayoritas Muslimat Jawa TImur pada tanggal 27 Juni 2018 sore hari. Malamnya semakin larut dalam bisikan yang menggemakan komat-kamit doa syukur atas kemenangan paslon nomor 1 dalam kontestasi yang dilansir hasilnya oleh lembaga survei.

Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis

Hasil hitung cepat itu membinarkan wajah emak-emak yang tengah menunjukkan kehebatannya dalam menghantar Ketua Umum mereka untuk bertahta. Hasil hitung cepat itu semakin kukuh dengan hasil rekapitulasi KPU tertanggal 7 Juli 2018 di Grand City, Surabya, dengan hasil final Khofifah Indar Parawansa – Emil E. Dardak mendapatkan 10.465.218 suara yang setara dengan 53,55%, sementara Saifullah Yusuf – Puti Guntur Soekarno meraup 9.076.014 suara alias 46,45%.

Hasil itu dikawal dengan waspada untuk membahasakan rasa gelisah atas kemampuan pemimpinnya. Gelisah yang disemat agar KIP amanah dengan suara yang dipersembahkan kepadanya. Tentu saja para politikus dengan parpolnya sangatlah bermakna dan mereka semua juga berjuang tanpa kenal lelah. Saya menyaksi betapa kaum perempuan bangkit untuk memenangkan KIP, dari ragam parpol yang membopongnya.

Kisahnya memang para pendukung paslon senantiasa membentuk kerumunan melantunkan “pujian” dan “nyanyian” selaksa tengah mempersiapkan diri memasuki gelanggang pertarungan besar. Hari-hari mendatang diformulasi menjadi saat-saat yang menguras tenaga dalam panggung “menanti pelantikan” 12 Februari 2019.

Baca Juga: Sahabat Ning Lia Nganjuk Sokong Lia Istifhama Menuju DPD RI

Segala bentuk janji yang diformat dalam visi-misi yang ditebarkan separti “benih kehidupan” yang menentukan kelangsungan hayat siapa saja yang musti diwujudkan. Pilkada diterima sebagai “angkot demokrasi” untuk memperjalankan rakyat menuju titik kumpul menggapai harapan. KIP memang digendong wes wayahe dengan tetap menyadari bahwa aktor dibaliknya adalah tokoh penting, Pakde Karwo, Gubernur Jawa Timur, Dr H Soekarwo.

Kemenangan KIP adalah hasil dari proses panjang sejak 2008 di kala mengikuti “pertandingan babak” awal pilgub Jatim. Ikut bertanding sebanyak tiga kali telah memberikan gambaran betapa “kuatnya daya tanding KIP”: tak kenal lelah, tak kenal putus asa”. Setiap laganya layak diunggah dengan bobot yang mencerminkan gumpalan kiprahnya.

Ini adalah kemenangan yang mampu menggiring kaumnya “the power of emak-emak” untuk turut merayakan “perjamuan pasangan”. Begitulah kalau mengikuti alur cerita novel bagus garapan Ally Condie, Matched (2012): pemilihan ini seberkas ultimatum yang harus ditempuh “siapapun, antara kesempatan dan hasrat”. Ya … KIP mampu mengakumulasi setiap “kesempatan dan hasratnya” untuk menduduki kursi otoritas pemerintahan yang selama sepuluh tahun “diayahi” Pakde Karwo. Dan Pakde Karwo menunjukkan peran strategisnya untuk mampu menghantarkan “kesempatan dan hasrat wanita ini untuk bertahtah”. Sebuah langkah yang mengajarkan betapa dalam politik itu yang dibutuhkan adalah “keindahan menarikan kekuasaan” yang tepat dengan “alunan gendingnya”.

Baca Juga: KPU Jatim Ajukan Anggaran Pilgub Rp 1,9 Triliun, DPRD Jatim: Tak Masalah, Asal...

Terhadap fenomena ini, saya bergegas membuka-buka kembali karya sastra berbentuk roman L’Etranger,(Orang Asing) yang ditulis Albert Camus di tahun 1942. Pesan Camus tampaknya jelas: “semua manusia pada akhirnya harus bertanggung jawab dengan keputusan dan pilihannya” meski dengan sosok “yang semula lawan tandingnya”.

Memang pilkada sekarang ini merekam “keunikan kekuatan perempuan” yang menisbikan kehendak bebas konstituen ormas “maskulin yang selama ini memamerkan kekekarannya”. Pada lingkup inilah semua sudah terpotret sangat kentara mengenai siapa memerankan apa: tergantung tempat dan “yang terlipat” dalam tabungan kedaulatan rakyat.

Momen kampanye tempo hari memunculkan gelora pidato berapi-api, tetapi jangan abai, juga akan ada langkah sepi menempuh “ritual hening” menjemput suara yang berserak di kegelapan. Bukankah sinar benderang dalam cakrawala ini semakin menyemburatkan terang bahwa gubernur wanita memang dimimpikan, dan kini akan sebagai kenyataan. Pasangan KIP-Emil E. Dardak di pilgub Jatim memang kasat mata pengusung utamanya walaupun terbersit “lumer” dalam kerucut “supremasi kuasa” yang dirasakan tetap esok hari terbuka dinamika, pengusung bisa ditinggalkan.

Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin

Pada saat itulah sawur manuk celoteh akan hinggap di kedai-kedai kopi maupun rumah-rumah pengajian yang mengembang menjadi kristal yang polesannya tergantung pada “tim transisinya”. Amatilah gerak-gerik dari Jakarta yang “suka mengusik” demi langgengnya kuasa produk 2019 nanti. Oh … oh … si dia yang “berkelambu di tombol otoritas” itu terus menguntit agar setiap orang “berlutut menyimpuhkan diri”. 

Pada tataran inilah saya berbisik lirih saja dengan bahasa Clifford Geertz dalam Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali (1980 dan 2017): “negara bukanlah suatu tirani, bukan pula suatu birokrasi hidrolik, dan bahkan bukan suatu pemerintahan, melainkan sebuah pertunjukkan yang diorganisir, suatu teater yang dipakai untuk mendramatisir obsesi-obsesi kelas yang berkuasa”. Lantas, akankan rakyat dipermainkan daulatnya sebagaimana rupiah yang kian limbung ditendang dolar?  

*Dr H Suparto Wijoyo: Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar

Sumber: Suparto Wijoyo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO