Sumamburat: Antara Kesempatan dan Hasrat

Sumamburat: Antara Kesempatan dan Hasrat Suparto Wijoyo

Ini adalah kemenangan yang mampu menggiring kaumnya “the power of emak-emak” untuk turut merayakan “perjamuan pasangan”. Begitulah kalau mengikuti alur cerita novel bagus garapan Ally Condie, Matched (2012): pemilihan ini seberkas ultimatum yang harus ditempuh “siapapun, antara kesempatan dan hasrat”. Ya … KIP mampu mengakumulasi setiap “kesempatan dan hasratnya” untuk menduduki kursi otoritas pemerintahan yang selama sepuluh tahun “diayahi” Pakde Karwo. Dan Pakde Karwo menunjukkan peran strategisnya untuk mampu menghantarkan “kesempatan dan hasrat wanita ini untuk bertahtah”. Sebuah langkah yang mengajarkan betapa dalam politik itu yang dibutuhkan adalah “keindahan menarikan kekuasaan” yang tepat dengan “alunan gendingnya”.

Terhadap fenomena ini, saya bergegas membuka-buka kembali karya sastra berbentuk roman L’Etranger,(Orang Asing) yang ditulis Albert Camus di tahun 1942. Pesan Camus tampaknya jelas: “semua manusia pada akhirnya harus bertanggung jawab dengan keputusan dan pilihannya” meski dengan sosok “yang semula lawan tandingnya”.

Memang pilkada sekarang ini merekam “keunikan kekuatan perempuan” yang menisbikan kehendak bebas konstituen ormas “maskulin yang selama ini memamerkan kekekarannya”. Pada lingkup inilah semua sudah terpotret sangat kentara mengenai siapa memerankan apa: tergantung tempat dan “yang terlipat” dalam tabungan kedaulatan rakyat.

Momen kampanye tempo hari memunculkan gelora pidato berapi-api, tetapi jangan abai, juga akan ada langkah sepi menempuh “ritual hening” menjemput suara yang berserak di kegelapan. Bukankah sinar benderang dalam cakrawala ini semakin menyemburatkan terang bahwa gubernur wanita memang dimimpikan, dan kini akan sebagai kenyataan. Pasangan KIP-Emil E. Dardak di pilgub Jatim memang kasat mata pengusung utamanya walaupun terbersit “lumer” dalam kerucut “supremasi kuasa” yang dirasakan tetap esok hari terbuka dinamika, pengusung bisa ditinggalkan.

Pada saat itulah sawur manuk celoteh akan hinggap di kedai-kedai kopi maupun rumah-rumah pengajian yang mengembang menjadi kristal yang polesannya tergantung pada “tim transisinya”. Amatilah gerak-gerik dari Jakarta yang “suka mengusik” demi langgengnya kuasa produk 2019 nanti. Oh … oh … si dia yang “berkelambu di tombol otoritas” itu terus menguntit agar setiap orang “berlutut menyimpuhkan diri”. 

Pada tataran inilah saya berbisik lirih saja dengan bahasa Clifford Geertz dalam Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali (1980 dan 2017): “negara bukanlah suatu tirani, bukan pula suatu birokrasi hidrolik, dan bahkan bukan suatu pemerintahan, melainkan sebuah pertunjukkan yang diorganisir, suatu teater yang dipakai untuk mendramatisir obsesi-obsesi kelas yang berkuasa”. Lantas, akankan rakyat dipermainkan daulatnya sebagaimana rupiah yang kian limbung ditendang dolar?  

*Dr H Suparto Wijoyo: Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Sumber: Suparto Wijoyo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO