Mengungkap Politik Uang Pileg (1), Suara Rakyat Lebih Murah dari Tarif PSK

Mengungkap Politik Uang Pileg (1), Suara Rakyat Lebih Murah dari Tarif PSK Ilustrasi politik uang beserta amplopnya. foto: bangsaonline.com

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Ternyata lembaga pemantau pemilu – termasuk dan Komisi Pemberantasan Korupsi () - tak pernah menyentuh pada Pileg. Padahal praktik inilah yang jadi cikal bakal atau pintu masuk korupsi di DPR. Simak hasil investigasi BANGSAONLINE.com yang ditulis berdasar pengakuan caleg dan oknum penyelenggara pemilu.

Redaksi

Saking jengkelnya terhadap politik uang (money politics) masif saat pemilihan legislatif (pileg) 2019, seorang penceramah agama yang akrab dipanggil Gus Miftah  yang sehari-harinya membina pekerja seks komersial (PSK) berteriak lantang; hidup lonthe …!

Lonthe adalah bahasa Jawa yang artinya Pekerja Seks Komersial (PSK) yang dulu disebut WTS (Wanita Tuna Susila). “Tarif lonthe paling murah sekali tidur Rp 200 ribu rupiah. Tapi suara rakyat lima tahun hanya Rp 20 ribu. Hidup lonthe,” teriak Gus Miftah yang pakai blankon itu di tengah audien yang antusias mendengarkan ceramahnya.

Di media sosial juga marak meme menyayangkan murahnya harga suara rakyat. Salah satu meme berbunyi: jika harga suara rakyat dalam pileg Rp 100.000,- perorang (pemilih), berarti harga suara rakyat setiap tahun Rp 20.000,-. Jika Rp 20.000,- itu dibagi 12 bulan maka harga suara rakyat per bulan Rp 1.666,-

Nah, jika Rp 1.666,- itu dibagi 30 hari berarti harga rakyat tiap hari cuma Rp 55,5,- “Jadi harga suara rakyat jauh lebih murah dari pada harga kencing di toilet umum,” tulis meme itu sinis dan menggemaskan.

Praktik memang selalu marak setiap pemilu. Praktik terbagi pada dua bentuk. Pertama, praktik uang yang disebut serangan fajar, yaitu bagi-bagi uang langsung kepada rakyat menjelang waktu coblosan. Jadi tiap orang diberi uang agar nyoblos caleg tertentu.

Kedua, praktik politik melibatkan oknum penyelenggara pemilu. Praktik model ini biasanya transaksi secara struktural dengan oknum penyelenggara pemilu. Modusnya, oknum penyelenggara pemilu mengondisikan “anak buahnya” agar setiap oknum petugas di TPS “setor” sejumlah suara pada caleg tertentu. Misalnya, caleg A dapat jatah 5 suara atau 10 suara pada tiap TPS, sesuai transaksi dan harga yang disepakati.

Lihat juga video 'Resmi Dipecat! Novel Baswedan dkk Letakkan Kartu Identitas KPK':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO