SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Ternyata lembaga pemantau pemilu – termasuk Pers dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) - tak pernah menyentuh politik uang pada Pileg. Padahal praktik politik uang inilah yang jadi cikal bakal atau pintu masuk korupsi di DPR. Simak hasil investigasi BANGSAONLINE.com yang ditulis berdasar pengakuan caleg dan oknum penyelenggara pemilu.
Redaksi
Baca Juga: Eks Wakil Ketua KPK Jadikan Peserta Seminar Responden Survei: 2024 Masih Sangat Banyak Korupsi
Saking jengkelnya terhadap politik uang (money politics) masif saat pemilihan legislatif (pileg) 2019, seorang penceramah agama yang akrab dipanggil Gus Miftah yang sehari-harinya membina pekerja seks komersial (PSK) berteriak lantang; hidup lonthe …!
Lonthe adalah bahasa Jawa yang artinya Pekerja Seks Komersial (PSK) yang dulu disebut WTS (Wanita Tuna Susila). “Tarif lonthe paling murah sekali tidur Rp 200 ribu rupiah. Tapi suara rakyat lima tahun hanya Rp 20 ribu. Hidup lonthe,” teriak Gus Miftah yang pakai blankon itu di tengah audien yang antusias mendengarkan ceramahnya.
Di media sosial juga marak meme menyayangkan murahnya harga suara rakyat. Salah satu meme berbunyi: jika harga suara rakyat dalam pileg Rp 100.000,- perorang (pemilih), berarti harga suara rakyat setiap tahun Rp 20.000,-. Jika Rp 20.000,- itu dibagi 12 bulan maka harga suara rakyat per bulan Rp 1.666,-
Baca Juga: Kasus Hibah Pokmas APBD Jatim, Anak Cabup Jombang Mundjidah Dipanggil KPK
Nah, jika Rp 1.666,- itu dibagi 30 hari berarti harga rakyat tiap hari cuma Rp 55,5,- “Jadi harga suara rakyat jauh lebih murah dari pada harga kencing di toilet umum,” tulis meme itu sinis dan menggemaskan.
Praktik politik uang memang selalu marak setiap pemilu. Praktik politik uang terbagi pada dua bentuk. Pertama, praktik uang yang disebut serangan fajar, yaitu bagi-bagi uang langsung kepada rakyat menjelang waktu coblosan. Jadi tiap orang diberi uang agar nyoblos caleg tertentu.
Kedua, praktik politik melibatkan oknum penyelenggara pemilu. Praktik politik uang model ini biasanya transaksi secara struktural dengan oknum penyelenggara pemilu. Modusnya, oknum penyelenggara pemilu mengondisikan “anak buahnya” agar setiap oknum petugas di TPS “setor” sejumlah suara pada caleg tertentu. Misalnya, caleg A dapat jatah 5 suara atau 10 suara pada tiap TPS, sesuai transaksi dan harga yang disepakati.
Baca Juga: Nama-Nama Anggota DPRD Jatim yang Diperiksa KPK dalam Kasus Dugaan Korupsi Dana Hibah
Hebatnya, oknum petugas pemilu biasanya tidak hanya “melayani” satu caleg, tapi banyak caleg. Caleg A misalnya, dijatah 5 atau 15 suara per-TPS, caleg B juga 5 suara per-TPS. Karena itu oknum penyelenggara pemilu itu bisa “jual suara” ke banyak caleg. Sekali lagi, sesuai transaksi dan kesepakatan.
Loh, dari mana suara rakyat yang mereka jual itu? “Kan setiap TPS pasti banyak pemilih yang absen. Ada yang malas datang ke TPS alias golput. Ada yang tidak dapat surat undangan nyoblos. Ada juga pemilih yang sudah meninggal tapi hak pilihnya tetap ada. Ada juga pemilih yang pindah alamat atau rumah dan banyak lagi. Kan paling tinggi partisipasi pemilih 70 persen setiap TPS,” tutur seorang petugas pemilu di sebuah TPS di Surabaya kepada BANGSAONLINE.com.
Pria bertubuh kurus dan berkulit hitam itu mengaku sangat berpengalaman untuk melakukan patgulipat suara di TPS karena sudah berkali-kali ia jadi petugas pemilu. “Instruksi dari kecamatan jangan sampai suara yang tercoblos kurang dari 70 persen. Kalau kurang dari 70 persen pemilunya dianggap tidak sukses. Kalau banyak orang gak datang gimana. Ya, itu yang kami mainkan,” akuinya terang-terangan.
Baca Juga: Kota Pasuruan Perkuat Komitmen Antikorupsi lewat Sosialisasi dan Pakta Integritas DPRD
Memang, suara-suara rakyat yang orangnya ghaib itulah yang dipermainkan oleh oknum penyelenggara pemilu. Tapi ada juga yang legal. Yaitu suara petugas TPS sendiri bersama keluarganya. Misalnya satu petugas TPS diwajibkan setor 5 suara ke caleg tertentu.Petugas itu biasanya mengajak keluarga dan tetangganya untuk nyoblos caleg tertentu. Nanti petugas itu diberi uang konpensasi sesuai kesepakatannya. Tapi intinya ya sama, jual-beli suara.
Berapa harga suara rakyat itu dijual? Sangat bervariasi. Ada yang Rp 20.000,- per orang, ada yang Rp 30.000,-, tapi yang paling umum Rp 50.000,- dan Rp 100.000,- per orang atau per suara. Tergantung daerahnya. Di luar Surabaya bahkan ada yang hanya Rp 10.000 dan Rp 15.000 per suara.
Transaksi dengan oknum penyelenggara pemilu lebih aman bagi caleg. Misalnya caleg DPRD Provinsi dan DPR RI. Ia bisa beli suara ke penyelenggara pemilu 5 suara per-TPS. Ambil contoh dapil 1 Surabaya. Jumlah TPS di Surabaya 8.146, maka 5 suara X 8.146 = 40.730 suara. Dengan demikian ia sudah punya stok 40.730 suara. Itu baru dari petugas pemilu saja. “Apalagi kalau tiap TPS 10 suara kan tinggal mengalikan saja. Paling tidak bisa 80 ribu lebih suara se-kota Surabaya. Aman kan?,” ungkap seorang caleg.
Baca Juga: Eks Kades Kletek Sidoarjo Dituntut 1 Tahun 10 Bulan Penjara di Kasus Dugaan Korupsi PTSL
Di kalangan caleg, traksaksi haram ini sudah sangat lumrah. Bahkan jadi perbincangan dari mulut ke mulut, terutama beberapa hari sebelum coblosan. Maklum, transaksi politik uang model ini terjadi dari pemilu ke pemilu. (bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News