BangsaOnline-Mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Rizal
Ramli, mengaku mencium ada gelagat penggembosan saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menyelidiki dugaan penyimpangan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL)
penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap pemilik Bank Dagang
Negara Indonesia, Sjamsul Nursalim. Dia memperkirakan ada lobi tingkat tinggi
buat berusaha menghambat penyelidikan dugaan pelanggaran hukum penerbitan SKL
itu.
"Saya juga minta tolong pada Presiden Jokowi
jangan menarik penyidik-penyidik KPK, baik dari kejaksaan maupun polisi,"
kata Rizal kepada awak media selepas memberikan keterangan terkait penyelidikan
SKL Sjamsul Nursalim, di Gedung KPK, Jakarta, Senin (22/12).
Sebelumnya Ketua KPK, Abraham Samad menyatakan bahwa
pihaknya tidak segan-segan memeriksa Megawati yang merupakan Presiden RI kelima
itu, dalam menyelidiki kasus pemberian SKL BLBI.
"KPK sudah pernah periksa JK (Jusuf Kalla) mantan Wapres (Wakil Presiden).
Serta Boediono saat masih Wapres kita juga sudah periksa dalam kasus lain
(Century). Apalagi Megawati, dia kan sudah mantan (Presiden)," kata Samad
ketika ditemui wartawan di Gedung KPK saat itu.
Baca Juga: Eks Wakil Ketua KPK Jadikan Peserta Seminar Responden Survei: 2024 Masih Sangat Banyak Korupsi
Bahkan Putri Presiden RI pertama, Rachmawati Soekarnoputri, menyebut kakak
kandungnya itu, yakni Megawati kemungkinan terlibat dalam kasus BLBI.
Atas dasar itu, Rachmawati meminta kepada KPK untuk mengusut kemungkinan keterlibatan
Megawati.
"Jangan tebang pilih. (BLBI) Itu kalau diproses bagus. Saya beri imbauan
ya kalau memang ada persoalan hukum, ya silakan dikejar (Megawati)," kata
Rachmawati dalam jumpa pers di kediamannya, Jalan Jati Padang Raya 54A, Pasar
Minggu, Jakarta, Rabu (6/8).
Kasus penerbitan SKL untuk beberapa obligator BLBI memang terjadi di era
Presiden Megawati tahun 2002. SKL itu dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.
Rizal menaruh curiga ada pihak-pihak berusaha menghambat
penyelidikan dugaan penyimpangan SKL Sjamsul Nursalim. Dia mengatakan taktik
seperti ini kerap terjadi dan hasil dari lobi-lobi tingkat tinggi.
"Biasanya modelnya kayak gitu. Ada kasus yang diperiksa bertahun-tahun,
ada tim, di penyidik sudah mengerti masalah, sudah bagus, tapi kemudian ditarik
oleh Kejaksaan, oleh Kepolisian. Nah, ini permainan tingkat tinggi begini
segera dihentikan," jelas Rizal.
Rizal mengaku bila penegakan hukum terus dijalankan seperti ini, maka tidak ada
lagi keadilan bisa didapat. Sebab ada pihak-pihak dengan kekuatan modal dan
pengaruh kekuasaan menyalahgunakan wewenangnya buat merusak penyelidikan kasus.
Dia ingin semua penegak hukum bekerja sama menegakkan keadilan.
"Saya minta Presiden Jokowi jangan diam saja. Jangan enggak tahu saja.
Harus tahu. Jangan sampai KPK digerogoti, sehingga kasus-kasus besar di sini
akhirnya terhenti. Mulai lagi tim baru yang harus belajar lagi setahun-dua
tahun," sambung Rizal.
Rizal mengatakan, taktik seperti itu kerap dijalankan di masa lalu. Yakni para
penegak hukum main mata dengan penguasa buat merekayasa proses penyelidikan
sebuah perkara hukum. Dia juga mengimbau Kapolri Jenderal Polisi Sutarman
dan Jaksa Agung HM Prasetyo
supaya tidak goyah jika diminta bersekongkol menghalangi proses penegakan
hukum.
"Model-model begini, zaman dulu, Kejaksaan Agung dan Polisi main semua.
Jadi saya minta ke Kapolri Sutarman, dan Jaksa Agung Mas Prasetyo, dan Presiden
Jokowi mohon diberhentikan langkah-langkah begini. Beri kesempatan KPK
menegakkan hukum," lanjut Rizal.
Dalam pemeriksaan, Rizal Ramli dicecar oleh penyidik KPK soal penerbitan SKL BLBI.
Baca Juga: Kasus Hibah Pokmas APBD Jatim, Anak Cabup Jombang Mundjidah Dipanggil KPK
"Soal penerbitan SKL yang dikeluarkan pada era Presiden Megawati, ditanya macam-macam," kata Rizal.
Rizal juga membeberkan kepada penyidik mengenai banyaknya konglomerat penerima SKL namun pada kenyataannya sekarang keadaannya kaya raya.
"Saya esensinya mengimbau, karena memang ada sejumlah pengusaha atau konglomerat yang belum memenuhi kewajibannya tapi sudah diberikan SKL. Banyak dari pengusaha-pengusaha itu sekarang masih sangat kaya raya," terangnya.
Baca Juga: Nama-Nama Anggota DPRD Jatim yang Diperiksa KPK dalam Kasus Dugaan Korupsi Dana Hibah
Selain itu, dia menyesalkan masih banyaknya konglomerat yang menerima pinjaman namun tidak mengembalikan hutang, meskipun telah mendapat SKL.
"Jadi walaupun sudah dapat SKL, tapi mereka belum memenuhi kewajibannya, saya mengimbau kepada konglomerat yang bersangkutan untuk segera memenuhi kewajibannya, karena kenyataannya mereka mampu," tegasnya.
Mantan Menko Perekonomian ini enggan menjawab saat ditanya siapa yang paling bertanggungjawab dalam menerbitkan SKL ini. "Jangan sebut-sebut nama lah," pintanya.
Baca Juga: Dukung Swasembada Pangan, Menteri ATR/BPN: Butuh Tata Kelola Pertanahan yang Baik
TIPU MUSLIHAT KONGLOMERAT
Rizal juga menguak tentang penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.
Menurut Rizal, saat krisis yang melanda Indonesia dan pemerintah menyelamatkan bank yang kolaps, pemilik bank yang berutang harusnya membayar utangnya dalam bentuk rupiah sehingga bisa ditagih setiap saat.
Baca Juga: Kota Pasuruan Perkuat Komitmen Antikorupsi lewat Sosialisasi dan Pakta Integritas DPRD
Akan tetapi, kata Rizal, kebijakan terebut berubah lantaran lobi kepada pemerintah agar utang diganti melalui penyerahan aset.
"Ada yang ngelobi pada pemerintah pata waktu itu, 97-98 akhirnya diganti dengan menyerahkan aset. Aset-aset ini banyak yang kurang bagus, sebagian busuk, sebagian nggak sesuai nilainya, tapi seolah-olah sudah menyerahkan aset yang benar," ungkap Rizal usai memberikan keterangan kepada KPK, Jakarta, Senin (22/12/2014).
Saat menjabat Menko Perekonomian, Rizal mengaku melihat kelemahan mekanisme pembayaran utang melalui lego aset tersebut. Akhirnya, setelah mendapatkan masukan dari ahli-ahli ekonomi terkemuka, pemerintah memutuskan semua obligor yang punya beban besar kepada BPPN harus menyerahkan personal 'guarantee noted'.
Baca Juga: Eks Kades Kletek Sidoarjo Dituntut 1 Tahun 10 Bulan Penjara di Kasus Dugaan Korupsi PTSL
"Artinya apa, konglomerat yang bersangkutan bertanggung jawab hingga tiga generasi sampai seluruh kewajibannya terlunasi," ujar Rizal.
Sayang, kebijakan tersebut hilang bersamaan setelah dirinya tidak lagi menjabat menteri. "Nah ini sebetulnya senjata pamungkas supaya pemerintah punya bargaining. Tapi setelah kami nggak jadi menteri dan pemerintahnnya ganti, beberapa tahun, personal guarantee ini dikembalikan lagi," kata Rizal yang menjadi Menko Perekonomian dalam kabinet Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pemerintahan Gus Dur kemudian digantikan Megawati Soekarnoputeri. Saat Megawati jadi presiden inilah yang dimaksud Rizal Ramli.
Walau demikian, ada juga para obligor yang memenuhi atau membayar utangnya kepada pemerintah. Sebagian ada yang tidak lunas atau bolong-bolong. Padahal para obligor tersebut kaya raya. "Untuk itu kami mengimbau bayarlah kewajibannya pada pemerintah," ujar Rizal.
Baca Juga: Vinanda-Gus Qowim dapat Pesan Peningkatan Industri Pariwisata dari Jokowi
Sekadar informasi, SKL dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Instruksi Presiden Megawati Soekarnoputri Nomor 8 Tahun 2002. Berdasarkan SKL dari BPPN itu, Kejaksaan Agung menindaklanjutinya dengan menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).
Belakangan diketahui bahwa perilaku debitur BLBI diduga penuh tipu muslihat. Debitur BLBI mengaku tidak mampu lagi melaksanakan kewajibannya mengembalikan BLBI dan bersedia menyerahkan asetnya kepada negara melalui BPPN.
Namun saat aset-aset itu dilelang BPPN dengan harga sangat murah, para obligor membeli lagi aset-aset tersebut melalui perusahaan miliknya di luar negeri. Aset tetap dikuasai debitur, sementara debitur bersangkutan sudah dinyatakan bebas dari kewajiban mengembalikan dana BLBI.
Baca Juga: Warisan Buruk Jokowi Berpotensi Berlanjut, Greenpeace Lantang Ajak Masyarakat Awasi Prabowo-Gibran
Sebelum memanggil Rizal Ramli untuk diperiksa, KPK telah memanggil eks Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Laksamana Sukardi dan Menteri Koordinator Perekonomian era Megawati Soekarnoputri, Dorodjatun Kuntjoro Jakti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News