BangsaOnline-Tahun 2014 diwarnai dengan kegagalan
Jaksa Agung mengeksekusi mati para gembong narkotika. Malah, kini hubungan
Mahkamah Agung (MA)-Mahkamah Konstitusi (MK) retak. Komisi Yudisial (KY)
berpihak pada MK, sedangkan BNN condong ke MA.
Sengkarut hukum
bermula saat Presiden Joko Widodo menyatakan menolak grasi seluruh gembong
narkoba yang ada di mejanya, total 64 orang pada 9 Desember 2014. Secara
tersirat, Presiden Jokowi berharap para perusak generasi bangsa itu segera
dieksekusi mati. Menkum HAM langsung menyidak Pulau Nusakambangan yang
direncanakan akan dijadikan lokasi eksekusi mati.
Jaksa Agung
Prasetyo langsung ancang-ancang. Mantan politikus Partai NasDem itu lalu
mendaftar nama-nama terpidana yang bisa disegera didor. Dia mengambil daftar
gembong yang belum dieksekusi mati di 2013 dan muncul 4 nama yaitu 2 WNI dan 2
WNA. Eksekusi mati akan dilaksanakan antara tanggal 12 hingga 31 Desember 2014.
Namun tiba-tiba Jaksa Agung mengurungkan niatnya, sebab dua terpidana
mengajukan peninjauan kembali (PK).
"Mereka
semuanya ajukan PK terus," alasan Jaksa Agung Prasetyo.
Hal ini membuat
tensi Mahkamah Agung (MA) naik. Sebagai pihak yang telah memberikan hukuman
mati, MA gerah dengan sikap jaksa yang menawar putusan pengadilan.
"Dalam prinsip
UU kita, PK tidak menghambat eksekusi. PK itu upaya hukum luar biasa. Jangan
cari-cari alasan," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur.
Jaksa Agung
Prasetyo buang badan dengan menyebut putusan MK menjadi biang kerok eksekusi
tertunda. Putusan MK itu menghapus pasal 268 ayat 3 dan membolehkan PK
berkali-kali. Atas nama keadilan, PK membolehkan para terpidana mengajukan PK
berkali-kali.
"Keadilan untuk siapa?
Keadilan itu relatif, tidak mungkinlah menemukan keadilan bagi semua pihak
karena keadilan mutlak hanya milik Allah. Faktor lain harus juga diperhatikan,
tidak bisa dikesampaingkan," kata Prof Dr Krisna Harahap mengritik.
Seakan Prasetyo
lupa, dalam ayat sebelumnya dituliskan tegas bahwa PK tidak menunda eksekusi.
Untuk keluar dari
kebuntuan, MA lalu membuat terobosan hukum dengan menunjukan UU Kekuasaan
Kehakiman dan UU Mahkamah Agung yang masih tegas mencantumkan PK hanya berlaku
satu kali. Dua UU ini tidak serta merta dihapus oleh MK. Himbauan ini
dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 yang
langsung ditandatangani Ketua MA Hatta Ali.
Tapi siapa nyana,
SEMA ini dipersoalkan MK. Wakil Ketua MK Arief Hidayat bahkan menilai MA telah
melakukan pembangkangan karena tidak mematuhi putusan MK. Padahal putusan MK
ini juga inkonsisten sebab MK sempat memutuskan bahwa PK tetap berlaku satu
kali.
"Menurut
Mahkamah, jika ketentuan permohonan peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar
biasa tidak dibatasi, maka akan terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian
hukum, sampai berapa kali peninjauan kembali dapat dilakukan," putus MK
pada 2010 yang diubah pada 2014 menjadi PK boleh berkali-kali.
Komisi Yudisial
(KY) setali tiga uang yang menilai SEMA itu tidak sesuai dengan norma yang ada.
"Putusan MK
itu sejajar dengan UU, prinsipnya peraturan yang lebih tinggi harus dimenangkan
dari yang lebih rendah," ujar komisioner Komisi Yudisial (KY) Imam Anshori
Saleh.
Baca Juga: Elemen Masyarakat Jatim Dukung Putusan MK soal Netralitas ASN dan Polisi dalam Pilkada 2024
Badan Narkotika Nasional
(BNN) menyambut baik langkah Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan peraturan yang
menegaskan Peninjauan Kembali (PK) hanya dilakukan sekali. Langkah itu
memperjelas kegamangan eksekusi selama ini yang tidak kunjung dilaksanakan
jaksa.
"Itu jauh
lebih bagus karena menjadi jelas," kata Kepala BNN Komjen Anang Iskandar
kepada detikcom, Selasa (6/1/2014).
Anang
mempertanyakan alasan eksekutor yang menunda-nunda eksekusi. Padahal
persidangan memutus, narapidana tersebut dihukun mati.
"Orang sudah
ditahan 10 tahun, tapi enggak dieksekusi. Ada yang enggak pas. Kalau masih
setahun masih wajar, ini 10 tahun, itu enggak wajar. Enggak pas," kata
Anang.
Hiruk pikuk hukum ini tidak
membuat BNN mundur dalam memberantas narkoba. Usai membongkar kasus narkoba
terbesar di Asia Tenggara dengan bukti seberat 800 kg sabu, BNN mendukung MA karena
SEMA ini membuat segalanya jelas, daripada putusan MK yang tidak implementatif.
"Itu jauh
lebih bagus karena menjadi jelas. Orang sudah ditahan 10 tahun, tapi enggak
dieksekusi. Ada yang enggak pas. Kalau masih setahun masih wajar, ini 10 tahun,
itu enggak wajar. Enggak pas," kata Kepala BNN Komjen Anang Iskandar
kepada detikcom, Selasa (6/1/2014).
Di tengah kebuntuan
hukum, Presiden Joko Widodo rencananya akan mengundang seluruh pihak yang
terlibat dalam penegakan hukum untuk membahas bersama atas sengkarut itu.
"Kan ada yang
bilang SEMA ini tidak punya kekuatan hukum, ada yang bilang SEMA ini bisa,
makanya kita cari dulu, kita akan kumpulkan semuanya," ujar Menko
Polhukam, Tedjo Edhy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News