Oleh: Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, M.Ag*
Di tengah kesibukan masyarakat menghadapi Covid 19, ternyata muncul heboh Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang menjadi topik hangat pembicaraan publik. Suhunya sempat meninggi ketika ormas-ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah serta Majelis Ulama Indonesia (MUI), melakukan perlawanan secara frontal terhadap RUU HIP tersebut.
Baca Juga: Aqiqah Cucu ke-20 Kiai Asep, Prof Ridwan Nasir Singgung Rabiah Al Adawiyah dan Khofifah
Kita bersyukur, akhirnya mereda ketika Menkopolhukam Machfud MD memberikan klarifikasi bahwa pelarangan komunisme bersifat final.
Sesungguhnya, ada dua pandangan masyarakat terhadap komunisme ini. Pertama, mereka yang menganggap komunisme, khususnya dalam perspektif global, sebagai suatu sistem bernegara terbukti tidak mampu menciptakan kemakmuran, sebagaimana yang dicapai oleh negara-negara demokratis. Uni Sovyet yang komunis telah bubar menjadi negara-negara kecil yang cenderung berideologi sosialis-demokratis.
Demikian pula Jerman Timur yang berpaham komunis kemudian bergabung dengan Jerman Barat, menjadi sebuah negara Jerman yang sosialis-demokratis. Artinya, negara-negara Eropa tersebut dengan “sengaja membuang” komunisme karena dianggap sebagai ideologi gagal.
Baca Juga: Elektabilitas Terus Melejit, Khofifah: Banyak Doa Kita Temukan di Pasar
Atas dasar realitas itu, sekelompok masyarakat berpendapat bahwa tidaklah perlu khawatir akan kemunculan kembali komunisme karena memang paham ini memiliki inferioritas dibandingkan sistem demokratis. Ambil saja contoh, Korea Utara berhaluan komunisme merupakan negara miskin. Sebaliknya, Korea Selatan adalah sebuah negara maju (industrialized country) yang termasuk dalam jajaran G20.
Kedua, mereka yang berpendapat bahwa komunisme, khususnya dalam kontek Indonesia, akan kembali muncul kapan saja. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana. Karena komunisme di Indonesia bukanlah “sengaja dibuang” oleh seluruh masyarakat, akan tetapi “ditumpas” oleh sebagian besar masyarakat. Artinya, ada kelompok masyarakat pendukung komunisme yang sejak tahun 1965 telah kalah.
Secara alami (by nature), mereka yang kalah akan terus berusaha menjadi pemenang dengan berbagai cara. Buktinya, peristiwa sengketa tanah di daerah Jenggawah, Jember tahun 1978, ternyata ditengarai didalangi oleh tokoh-tokoh eks G-30- S/PKI.
Baca Juga: Ketum Pergunu Prof Kiai Asep: Ratu Zakiyah Simbol Idealisme Kita
Munculnya fenomena Partai Komunis Indonesia (PKI) Gaya Baru dalam beragam aksinya yang terbaru adalah upaya tidak dimasukkannya Tap MPRS No.XXV/1966 dalam RUU HIP. Secara umum, perlu diingat bahwa setiap ideologi di dunia, baik yang masih eksis maupun yang sudah musnah, semuanya mempunyai pengikut dan pernah meraih masa kejayaan.
Oleh karena itu, kapan saja akan muncul kerinduan akan hadirnya kembali romantisme kejayaan masa lalu. Sebagai contoh: lahirnya gerakan Nazi-Baru (Neo-Nazi) di Jerman, Ku-Klux-Klan (KKK), sebuah aliran rasisme di Amerika Serikat yang sering muncul secara sporadis seperti kasus pembunuhan George Floyd, warga kulit hitam. Ia dibunuh oleh seorang polisi kulit putih yang disinyialir penganut KKK.
Secara khusus, paham komunisme di Indonesia harus diakui bukan hilang karena tidak populer, akan tetapi semata-mata karena “dihabisi” oleh warga agamis dan nasionalis. Sudah barang tentu, sisa-sisa pengikut yang fanatis, terutama “keturunan biologis” dari mereka yang ditumpas di masa lalu, akan terus mempunyai dendam-ideologis dan balasdendam nyawa yang terus membara. Komunis di Indonesia sedang dalam masa hibernasi, yang akan muncul kapan saja, oleh siapa saja, di mana saja, dan berbentuk apa saja.
Baca Juga: Kiai Asep Bentuk Saksi Ganda Mubarok dan Khofifah-Emil, Gus Barra Siap Biayai Siswa Berprestasi
Mungkin tidak lagi PKI Gaya Baru, akan tetapi PKI Milenial.
*Penulis adalah Guru Besar pada UINSA Surabaya dan Pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto Jawa Timur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News