SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Ali Imron, mantan teroris peledak bom Bali mengatakan bahwa radikal itu ada dua. Pertama, radikal yaitu teroris. Kedua, setengah radikal. “Kalau yang radikal itu gak mau duit,” kata Ali Imron dalam video yang kini viral di media sosial.
Sebab prinsip mereka, kata Ali Imron, ada dua. Pertama, Negara Islam. Kedua, jihad fisabilillah.
Baca Juga: Tiga Napi Tindak Pidana Terorisme di Lapas Kediri Nyatakan Ikrar Setia pada NKRI
Menurut Ali Imron, radikal itu selalu mendambakan kerusuhan. “Kalau orang normal mendambakan kedamaian. Tapi kalau radikal mendambakan kerusuhan,” katanya. Sebab dengan kerusushan itulah, mereka bisa menemukan front jihad, medan perang.
Ia lalu memberi contoh saat terjadi demo 212 di Jakarta. Menurut dia, saat itu tokoh-tokoh radikal yang pernah dikirim ke Afghanistan mayoritas berkumpul di Jakarta. Mereka menunggu chaos antara pendemo dengan petugas kepolisian.
Karena itu, menurut dia, meski Indonesia makmur, bahkan lebih makmur dari Singapura, tetap akan ada teroris. Karena tujuan teroris bukan kemakmuran, tapi Negara Islam dan jihad fisabilllah.
Baca Juga: Napiter Asal Semarang Bebas di Lapas Tuban
Lalu bagaimana dengan yang setengah radikal? “Mereka ini katanya masih mau Pancasila, katanya mau NKRI, tapi menggerogoti Pancasila dan NKRI, mau juga uang pemerintah, mau juga uang Negara,” katanya.
Tapi, apakah mereka yang setengah radikal itu akan jadi radikal? Menurut dia, tak mungkin. “Sudah sering saya ajak, mereka gak berani, kenapa? Mereka gak mau risiko,” katanya.
Menurut dia, menjadi radikal dan teroris itu tak mikir dunia atau uang. Ia mencontohkan dirinya saat meledakkan bom Bali. “Saat itu sepeser pun tak ada duit,” katanya. Bahkan untuk konsumsi, kata Ali Imron, diatur Amrozi dan istrinya.
Baca Juga: Densus 88 Libatkan PPATK dan Stakeholder untuk Telusuri Transaksi Terduga Teroris DE
Ketika berhasil meledakkan bom Bali, mereka berkumpul di rumah kontrakan Abdul Matin di Solo. Saat itulah masing-masing teroris itu diberi uang Rp 500 ribu. “Uang Rp 500 ribu suruh kabur dari Lamongan sampai mana,” katanya.
Ia juga bercerita, kenapa dirinya tumbuh menjadi radikal dan teroris. Ia mengaku menjadi radikal sejak kelas 5 SD. Saat itu ia sekolah di GUPPI, lembaga pendidikan milik milik Golkar. GUPPI , tempat sekolah Ali Imron ini, kemudian jadi LP Maarif. Menurut dia, di GUPPI dan LP Maarif tak ada pelajaran radikal.
Lalu kenapa ia menjadi radikal? Ia mengaku dipengaruhi kakaknya, Mukhlas, yang sekolah di Pesantren Ngruki pimpinan Ustadz Abu Bakar Baasyir. "Kalau liburan dia kan pulang," kata Ali Imron.
Baca Juga: Alumnus Tebuireng itu Dekati Mantan Teroris dengan Ushul Fiqh
Saat pulang itulah, Muchlas selalu mempengaruhi Ali Amron. "Saat itu presidennya kan Soeharto. Jadi Soeharto itu (menurut Mukhlas) thoghut, Pancasila itu thoghut," kata Ali Imron. Mukhlas sendiri kemudian diekskusi karena jadi pimpinan peledakan bom Bali
Padahal ayah Ali Imron itu sebenarnya carik atau sekretaris desa. "Namanya carik kan di rumah itu ada gambar wakil presiden, presiden, dan Pancasila," katanya.
Tapi karena terpengaruh Mukhlas yang nota bene anak didik Abu Bakar Baasyir, akhirnya Ali Imron antipati terhadap Pancasila. "Saya turunkan gambar presiden, wakil presiden dan lambang negara, garuda itu. Jadi saya kelas 5 SD itu sudah radikal," katanya.
Baca Juga: Kantor Polisi Jadi Target Bom Bunuh Diri: Berikut Deretan Jejak Penyerangannya di Indonesia
Karena itu ia mengingatkan agar pendidikan sejak dini itu harus dijaga agar tidak terpengaruh radikalisme. "Tapi orang NU gak perlu resah. Karena selama ini gak ada orang NU yang gabung dengan kami," kata Ali Imron. (tim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News