Tafsir Al-Kahfi 66-68: Nabi Khidir A.S. Mengkritik Pengajaran Model Klasikal

Tafsir Al-Kahfi 66-68: Nabi Khidir A.S. Mengkritik Pengajaran Model Klasikal Ilustrasi.

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

66. Qaala lahu muusaa hal attabi’uka ‘alaa an tu’allimani mimmaa ‘ullimta rusydaan

Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?”

67. Oaala innaka lan tastathii’a ma’iya shabraan

Dia menjawab, “Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku.

68. Wakayfa tashbiru ‘alaa maa lam tuhith bihi khubraan

Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”

TAFSIR AKTUAL

Seperti ditutur pada ayat sebelumnya, bahwa Khidir A.S. adalah mahaguru yang dicari-cari oleh nabi Musa A.S. dan diketemukan di majma’ al-bahrain, tepi laut. Khidir yang nabi itu sedang menghadapi seorang rasul, Musa dengan disiplin ilmu berbeda.

Urusan strata, meskipun sama-sama dianugerahi wahyu, tapi Rasul berkewajiban mendidik umat, sementara nabi tidak. Jadi, rasul lebih tinggi. Tapi soal disiplin ilmu atau spesifikasi, tentu tidak bisa diperbandingkan. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Ketahuilah, hanya air yang bisa membesarkan pohon. Meskipun susu lebih komplit, tapi susu tidak bisa membesarkan pohon.

Kali ini sang Rasul yang mau menimba ilmu dari sang nabi untuk menambal kekurangan yang ada padanya. Persoalannya tentu tidak semudah itu, karena perbedaan silabi dan cara pandang.

Rasul mengampu syari’ah murni dengan pandangan lahiriah tentu tidak mudah memahami pola irfaniah yang meninitik beratkan kondisi obyektif di depan yang tak terlihat, tak terjangkau. Syariah yang diampu Musa menghukumi apa yang ada, yang terlihat sekarang. Sementara hakikat irfaniah yang diampu Khadlir menghukumi yang akan datang dan tak terlihat.

Benar, ilmu Musa adalah ilmu lahiriah, sedangkan ilmunya Khidir adalah ilmu batiniah. Inilah perbedaan mendasar yang dalam kisah lanjutan nanti, keduanya tidak bisa ketemu. Meskipun demikian, ayat studi ini menyiratkan banyak mutiara hikmah yang patut kita petik.

Diawali sowanan Musa ke hadirat Khidir, dengan penuh tawadlu’ Musa memohon agar sang Guru berkenan menerimanya sebagai murid yang menimba ilmu kepadanya. “Hal attabi’uk ‘ala an tu’allimani mimma ‘ullimta rusyda”. Inilah yang kemudian berkembang dan diformalkan menjadi pendaftaran bagi siswa baru.

Musa telah memberi contoh mulia tentang sosok calon santri, calon siswa, calon mahasiswa yang mesti santun dan berakhlaq mulia. Sebelum mengambil ilmu, perlu sekali memohon ridhanya, mengenali lebih dekat siapa gurunya, disowani, dan dimuliakan. Karena guru itu agen Tuhan dalam kerja penyebaran ilmu. Memang guru tidak minta dihormati, tetapi murid-lah yang butuh menghormati.

Dengan ridha guru, diharap proses belajar-mengajar lancar dan sukses. Tidak hanya itu, kemanfaatan dan keberkahan ilmu juga ditentukan seberapa jauh keridhaan sang guru. Kadang ilmu yang diperoleh santri saat mesantren cuma sedikit, tapi manfaatnya di masyarakat luar biasa. Namun kadang ada juga yang sudah menyandang gelar akademik, tapi menghidupi diri sendiri saja tidak bisa.

Keberkahan itu susah dirumuskan bahkan tidak dimatematikakan. Tidak pula dipelajari dalam ilmu ekonomi. Tapi ada dan nyata. Pendekatannya tidak lewat jalur ilmu, tidak lewat kurikulum atau silabi, tapi melalui jalur ketulusan, ridla, dan ikhlas.

Sama-sama berjualan barang yang sama, di lapak berukuran sama, berjajar dalam deretan yang sama, jam bukanya sama, harganya juga sama. Pertanyaannya, apakah larisnya sama? Begitu halnya belajar. Materinya sama, di pesantren yang sama, gurunya sama, jam belajarnya sama. Apakah manfaatnya di masyarakat nanti sama? Ketulusan murid, kerelaan guru, itulah pangkal keberkahan ilmu.

“Rusyda”, kedewasaan, kecakapan, kearifan, tidak sama dengan ilmu atau pengetahuan, “ilma”. Yang diminta Musa dari Khadir adalah “rusyda” dan bukan “ilma”. Karena Musa tidak membutuhkan ilmu normal lagi, melainkan kewaskitaan ke depan dan kearifan pandangan.

Bila harus dibedakan, maka Ilmu itu science, al-‘ilm, pengetahuan yang sudah dirumus-rumus dan baku, seperti ilmu fikih, ilmu bahasa, fisika, matematika, ekonomi dll. Sedangkan pengetahuan itu knowledge, al-ma’arif, masih merupakan value, nilai yang universal.

Itulah sebabnya, maka Khidir menguji Musa dengan disiplinnya sendiri sesuai permintaan. Karena mengerti beratnya “rusyda”, di mana Musa dipandang tidak cukup mampu menerimanya, maka jauh-jauh Khidir memberi tahu: “You tidak akan mampu berguru kepada kami”, Lan tastathi’ ma’iy shabra.

Di sini terlihat sedikit kearoganan Musa yang mengisyaratkan diri bisa menimba “rusyda” yang dimiliki Khidir. Ada semacan show of force yang dipamerkan Musa kepada pakar di depannya. Lalu Khidir tidak menguji Musa dengan potensi akademik atau keilmuannya, tidak pula menguji IQ-nya, tapi menguji adab, perilaku, kesabaran, kedewasaan atau menguji EQ-nya.

Terbacalah, bahwa Khidir adalah mahaguru yang tidak sekadar berilmu, tapi makrifat. Mampu melihat potensi anak didik dan keahliannya sekaligus kelemahannya. Seolah-olah Khidir jauh hari sudah berkata: "Jangan menekuni ilmu ini, ilmu yang “rusyda”, tapi cukup ilmu itu saja, ilmu yang “ilma” yang sudah kamu miliki, karena di situlah bakatmu".

Maka, sesungguhnya pendidikan model klasikal, di mana sekian banyak murid dikumpulkan dalam satu kelas dan diajari ilmu yang sama itu sesungguhnya kurang tepat, kurang mengena. Ya, karena masing-masing anak punya bakat sendiri-sendiri. Ada yang bakat ilmu sosial tapi lemah di ilmu pasti, dan sebaliknya. Model klasikal dilakukan karena memburu irit, mudah, murah, dan meriah. Itu pendidikannya wong miskin yang tidak mampu membiayai model privat.

Ayat ini jauh-jauh memberi panduan, bahwa privat jauh lebih mengena, lebih intensif, dan lebih tepat dalam mengarahkan anak didik ke disiplin keilmuan yang sesuai dengan potensi dirinya. Jadinya, mereka diproyeksikan menjadi ahli beneran. Dia tahu banyak dalam sedikit hal. Dia punya ilmu andalan yang spesifik dan selanjutnya menjadi pakar dan ahli.

Tidak sama dengan pendidikan model klasikal, apalagi dengan materi yang banyak dan bermacam-macam. Pasti si peserta didik tidak bisa menguasai semua, karena berbagai keterbatasan, termasuk keterbatasan akal dan waktu. Jadinya, mereka tahu sedikit dalam banyak hal. Aroma ayat ini menggiring kita ke upaya “lebih baik tahu banyak dalam sedikit hal, dari pada tahu sedikit dalam banyak hal”.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO