Energi Hijau, Solar Cell, dan Tambang Emas di Sumbawa

Energi Hijau, Solar Cell, dan Tambang Emas di Sumbawa Dahlan Iskan

Angka-angka resminya kita tunggu dari Mirza –atau siapa pun.

Kenapa tambang batu bara tidak ikut cara tambang emas?

Beda. Tambang batu bara itu adanya di Kalimantan dan Sumatera. Kualitas matahari di sana masih harus ditingkatkan. Dan lagi yang diangkut di sana kan batu bara. Batu bara itu sendiri kan energi. Lebih murah kalau sebagian dari yang diangkut itu saja yang dibakar.

Sedang di tambang emas, yang diangkut itu, dibakar 33 kali pun tetap emas.

Era solar cell memang benar-benar terjadi. Antara lain juga berkat ilmuwan dan pelaku bisnis sudah tidak bertengkar lagi.

Pertengkaran itu panjang sekali. Lima tahun lalu sudah berakhir: thin film kalah.

Kristal yang menang.

Saya pernah ngotot agar BUMN segera mendirikan pabrik solar cell. Delapan tahun lalu. Untuk merebut masa depan. Sudah saya putuskan: lokasi pabrik tekstil PT Industri Sandang –sudah mati puluhan tahun– bisa diubah untuk industri solar cell.

Tidak bisa jalan. Pabrik itu batal dibangun. Bingung. Mau pilih teknologi yang mana. Kristal? Thin film? Waktu itu para ahli memang masih saling klaim sebagai yang terbaik. Memilih salah satunya takut masuk kategori salah investasi.

Saya pun expired.

Akhirnya thin film tidak banyak ditemukan lagi. “Lebih 90 persen solar cell kini menggunakan kristal,” ujar Anthony Utomo, dirut PT Utomodeck Metal Works. Perusahaan inilah yang memenangkan tender sistem solar cell di Batu Hijau. Anthony baru 32 tahun. Lulusan Seattle, USA. Anthony mewarisi perusahaan bidang atap dari ayahnya. Ia pun mengembangkan bisnis atap itu menjadi ”atap ber-solar cell”.

Hampir saja Anthony terperosok ke kasus salah investasi. Perusahaan besar dari Tiongkok mengajak Anthony bekerja sama: membangun pabrik solar cell dengan teknologi thin film. Anthony sudah setuju. Ia melihat calon partner itu ”raja thin film” di Tiongkok. Belum sampai rencana itu berjalan pabrik tersebut tutup. Teknologi thin film benar-benar kalah kualitas.

“Saya bersyukur sekali bisa selamat dari salah investasi,” ujar Anthony.

Selesainya perdebatan teknologi solar cell itu membuat skala produksi kristal bisa sangat besar. Investasi bisa lebih fokus. Lebih hemat. Harga solar cell bisa lebih murah.

“Dibanding lima tahun lalu sudah turun 40 persen,” ujar Imelda Harsono, direktur PT Samator. Anda sudah tahu: Samator adalah produsen oksigen terbesar di Indonesia. Ketika masih dipegang almarhum ayahnyi, Samator memasang solar cell 1 MW. Yakni di atap pabrik oksigennya yang di Surabaya.

Sang ayah, Arief Harsono, meninggal dunia kekurangan oksigen akibat Covid-19 pada 2 Juli lalu. “Sekarang solar cell sudah begitu murah. Kami akan pasang lagi 1 MW lagi,” ujar Imelda.

Seminggu sebelum itu saya juga ke pabrik keramik Platinum. Saya lihat ada hamparan solar cell di atap pabriknya yang berhektare-hektare itu. “Baru setahun lalu kami pasang. Kami coba dulu,” ujar Sutatno Sudarga, pemilik pabrik itu. Platinum tahun ini berumur 50 tahun. Masih terus berkembang. Padahal serbuan keramik impor ibarat tentara Amerika menyerbu Afghanistan.

Bagaimana dengan uji coba solar cell-nya? “Sejauh ini baik-baik saja. Hemat biaya listrik 8-9 persen,” ujar Sutatno.

Meski uji coba, tapi sudah terlihat masif. Ternyata memang besar: 5 MW. Itu baru di satu pabrik. Padahal masih ada 4 pabrik lagi yang atapnya masih ”nganggur”. Berarti masih bisa tambah 10 MW lagi.

Meski belum ada power bank murah solar cell mulai menggerogoti PLN. Tidak cepat tapi nyata. Killing softly. (Dahlan Iskan) 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO