Oleh: Prof Dr KH Imam Ghazali Said, MA -- Putusan isbat Pemerintah Republik Indonesia Jumat 1 April 2022 menyatakan bahwa awal Ramadan 1443 H jatuh pada hari Ahad 3 April 2022, karena semua titik pantau rukyatul hilal di 101 titik pada 34 provinsi di seluruh Indonesia gagal merukyat hilal. Karena itu, bulan Syakban disempurnakan menjadi 30 hari (istikmal). Putusan isbat yang dilakukan secara tertutup ini “diterima” oleh mayoritas ormas Islam terutama ormas Islam terbesar di Indonesia; Nahdlatul Ulama (NU).
Sementara itu, Muhammadiyah (MD) —berdasarkan putusan Majelis Tarjihnya— sejak awal Maret, bahkan sejak Januari 2022 sudah meng-ikhbar-kan bahwa Ramadan jatuh pada hari Sabtu 2 April 2022. Karena itu, warga MD dan simpatisannya mengambil sikap untuk tidak terikat dengan putusan isbat.
Baca Juga: Digawangi Perempuan Muda NU, Aliansi Melati Putih se-Jatim Solid Menangkan Khofifah-Emil
Hal itu didemonstrasikan dengan melakukan tarawih, tanpa menunggu putusan isbat pemerintah. Dapat diprediksi bahwa MD akan mengeluarkan putusan yang kemungkinan akan sama dan cocok dengan putusan isbat pemerintah dalam menentukan awal Syawal 1443 H sebagai idul fitri 1443 H, yaitu Senin 2 Mei 2022. “Sama dan cocok” tersebut bukan karena terikat dengan putusan isbat pemerintah, tetapi karena hasil hisab MD “kebetulan” cocok dengan putusan isbat pemerintah.
Ini terjadi, karena MD dan beberapa ormas Islam yang lain merasa tidak terikat dengan putusan isbat pemerintah. Bahkan NU pun masih “keukeh” merasa memiliki otoritas ikhbar jika putusan isbat pemerintah dinilai bertentangan cara pandang fikih NU. Selama masing-masing ormas atau individu muslim Indonesia tidak secara total mengakui dan terikat dengan putusan isbat, maka perbedaan awal Ramadan, awal Syawal dan awal Zulhijah ke depan berpotensi untuk terus terjadi.
Penentuan Ramadan, sebagai tanda mulai puasa, Syawal sebagai akhir puasa sekaligus Idul Fitri, dan awal Zulhijah sebagai pijakan penentuan 9 dan 10 Zulhijah sebagai hari Arafah dan Idul Adha bagi kaum Muslim, ini masuk ajaran yang bersifat privat, atau masuk ranah publik?
Baca Juga: Rais Aam PBNU Ngunduh Mantu dengan Pemangku Pendidikan Elit dan Tim Ahli Senior di BNPT
Jika dianggap privat, maka negara tidak perlu intervensi. Biarkan kaum Muslim secara individu atau organisasi menentukan sendiri. Bagi masyarakat Muslim, jika penentuan tersebut masuk kategori ranah publik, maka seharusnya seluruh Muslim, baik secara individu maupun organisasi ”melepas otoritas” individu maupun organisasinya untuk diserahkan pada otoritas negara.
Untuk kepentingan ajaran agama yang bersifat publik ini, rakyat Indonesia –melalui para founding fathers– mendirikan Departemen Agama RI (kini Kementerian Agama RI) 3 Januari 1946. Mengingat Kemenag didirikan bukan hanya untuk kepentingan rakyat Muslim--walaupun realitas ajaran yang bersifat publik, Islam memegang rekor tertinggi—maka semua agama mendapatkan “hak otoritas” melalui para Dirjen di bawah Kemenag RI.
Cara pandang seperti ini, harus dikemukakan agar kita tidak berputar-putar pada ”debat wacana teknis metodologis” dari masing-masing elite individu dan antar ormas Islam dalam menentukan awal bulan Qamariah yang terkait dengan ibadah. Tampak jelas negara ragu untuk mengambil keputusan tegas dan mengikat. Sikap demikian memang sulit dihindari, mengingat umur organisasi Islam seperti MD (1912) dan NU (1926) jauh lebih tua dibanding proklamasi kemerdekaan Indonesia (1945).
Baca Juga: Khofifah: Muhammadiyah Pilar Kemajuan Bangsa dan Umat
Dari debat konstitusional, umat Muslim baik secara individu maupun organisasi, mencapai konsensus bahwa Indonesia dengan dasar Pancasila UUD 1945, serta produk UU dan aturan yang dihasilkan mempunyai otoritas penuh untuk mengatur problem sosial, politik, ekonomi, budaya, dan ajaran agama yang disepakati masuk kedalam ranah publik.
Penentuan awal Ramahan, Syawal dan Zulhijah seharusnya menjadi otoritas negara. Pemberian otoritas ini harus diapresiasi oleh setiap muslim sebagai pengejawantahan ketaatan pada Allah, Rasul-Nya, dan Ulil Amri (Qs. al-Nisa’ [4] : 58).
Dalam penentuan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah, umat Islam baik secara individu maupun organisasi diberi kebebasan untuk mengkaji sesuai cara dan metode yang dipilih dan ”diyakini paling benar”. Hasil kajian itu diserahkan pada ”negara” atau lembaga yang ditunjuk untuk dijadikan pertimbangan penetapan dan keputusan isbat. Sesuai aturan main, setiap individu atau organisasi Islam tidak mengumumkan hasil kajiannya –apalagi menginstruksikan- kepada publik; walaupun terbatas pada anggota organisasinya.
Baca Juga: Menangkan Pasangan SAE, Ratusan Kader dan Pengurus DPD PAN Sidoarjo Rapatkan Barisan
Singkat kata, sah berbeda dalam tingkat kajian tetapi masing-masing harus terikat pada negara terkait keputusan yang telah ditetapkan. Inilah yang disebut isbat itu. Dengan demikian, Menag sebagai representasi negara ”dilarang” mementahkan keputusan isbatnya sendiri. Menag sekarang tampil beda dengan tidak mengeluarkan ungkapan ”menghormati” ormas atau individu yang punya sikap berbeda dengan isbat. Ini merupakan suatu kemajuan.
Memang seharusnya Menag tegas dengan tidak mengomentari keputusannya sendiri. Ini harus dilakukan karena masing-masing aliran dalam organisasi Islam mengakui kaidah: ”Hukmu al-hakim yarfa’ al-khilaf, keputusan hakim/penguasa menghilangkan perbedaan pendapat”. Semua individu harus terikat pada putusan isbat tersebut.
Jika ini dilakukan, berarti kaum Muslim Indonesia mampu menghormati otoritas negara yang kita pilih sesuai mekanisme demokrasi yang sehat. Jika kita biarkan seperti yang biasa terjadi dalam sejarah perjalanan ”per-isbat-an”, maka bangsa ini layak dikatakan sebagai kategori bangsa yang anarkis, tak mau diatur dan membangkang dengan cara melucuti otoritas negara.
Baca Juga: Panas! Saling Sindir soal Stunting hingga 'Kerpek' Catatan Warnai Debat Terakhir Pilbup Jombang 2024
Keadaan demikian, sama dengan tidak adanya loyalitas pada negara. Ini berarti—secara substansial—negara berada di ambang kehancuran, itu tentu tidak kita inginkan. Harus diingat bahwa lingkup isbat Pengadilan Agama (PA) juga mencakup isbat nikah, nasab, dan lain-lain. Jika isbat terakhir ini tidak mengikat, maka negeri ini tidak punya kepastian hukum.
Otoritas Hakim
Selama ini pemegang otoritas negara yang diekspresikan dalam putusan isbat, dipegang oleh Menteri Agama. Ini bisa dibenarkan, karena Menag menjadi atasan Pengadilan Agama (1946-2006). Para hakim agama yang menyumpah perukyat yang berhasil melihat hilal di lokasi rukyat langsung bersidang dengan menyumpah mereka sesuai hukum acara pengadilan. Hasilnya, dikirim ke sidang isbat yang dipimpin oleh Menag di Jakarta. Laporan dan penyumpahan hakim tersebut menjadi pertimbangan Menag untuk diterima atau ditolak.
Baca Juga: Sejarah Pesantren Dibelokkan, Menag: Pesantren Harus Jadi Tuan Rumah di Republik Ini
Setelah Pengadilan Agama diintegrasikan ke Mahkamah Agung sesuai Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, maka otoritas negara dalam hal isbat seharusnya berada di tangan Ketua MA. Sebab, Menag dalam sistem ketatanegaraan kita, setelah berlaku efektifnya dua UU tersebut masuk dalam lembaga eksekutif yang tak punya wewenang dalam putusan isbat. Isbat menjadi otoritas hakim sebagai lembaga yudikatif. Karena itu, ke depan harus segera diambil langkah-langkah pengalihan wewenang dan otoritas isbat dari Menag ke Ketua MA.
Jika dua UU tersebut masih memberi otoritas isbat pada Menag, maka UU ini harus direvisi sebab Menag –dalam sistem ketatanegaraan modern– tidak bisa berperan ganda; sebagai lembaga eksekutif dan yudikatif sekaligus. Dengan demikian, keputusan isbat yang dipimpin Ketua MA secara struktural tersambung dengan hakim-hakim agama yang melakukan penyumpahan di lapangan. Sebagai lembaga yudikatif MA -secara teoritik- akan steril dari kepentingan politik dan aliran keagamaan. Dalam arti, keputusannya diharapkan murni sebagai putusan hukum.
Pengalihan otoritas ini juga akan bebas dan tidak terikat pada kesepakatan MABIMS tentang ketinggian hilal 2°+ di atas ufuk masuk kategori hilal yang dapat dirukyat sebagaimana keputusan yang diambil pada tahun tahun 2001. Dengan demikian, putusan isbat lebih berkualitas dan memenuhi pengertian isbat secara sempurna seperti yang dimaksud dalam kaidah fikih ”Keputusan hakim menghapus perbedaan pendapat.”
Baca Juga: Lazisnu Surabaya Jadi Perantara Kebaikan
Jika substansi gagasan ini disepakati sekaligus diterima serta semua pihak rela memberikan otoritas ikhbar dan isbat-nya pada keputusan MA, maka perdebatan tentang penentuan awal Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha dapat diakhiri. Sebab putusan isbat yang dilakukan MA mengikat semua pihak; dan bagi yang tidak taat pada keputusan tersebut dapat dikategorikan sebagai pembangkang. Itu yang terjadi di negara-negara mayoritas muslim seperti Malaysia dan negara-negara di Timur Tengah yang juga menganut pola ideologi nation state seperti Indonesia. Gagasan ini perlu tanggapan dialogis terutama oleh pemegang otoritas isbat dan ormas yang selalu merasa tidak terikat putusan isbat seperti MD, NU, Naqsyabandiyah, dan lain-lain.
Wallahu A’lam.
Penulis Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur Wonocolo Surabaya
Baca Juga: Vinanda-Qowim Tegas Diingatkan Muhammadiyah Kota Kediri untuk Sampingkan Kepentingan Kelompok
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News