Lagi, 19 Siswa SD dan 2 Guru Tewas, Penembakan Massal di AS Terjadi Dua Kali Sebulan

Lagi, 19 Siswa SD dan 2 Guru Tewas, Penembakan Massal di AS Terjadi Dua Kali Sebulan Dahlan Iskan

SURABAYA, BANGSAONLINE.com Penembakan massal selalu terjadi di (AS). Kali ini seorang remaja, Salvador Ramos, siswa SMA. Ia menembak neneknya. Tewas. Lalu pergi ke SD. Menembaki siswa dan guru. 19 siswa tewas. Juga 2 guru.

Sampai kapan akan terus terulang? Baca tulisan wartawan kondang, Dahlan Iskan, di HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com, Jumat, 27 Mei 2022. Selamat membaca:

Ia membeli hadiah ulang tahun untuk dirinya sendiri: senjata api. Semiotomatis. Sekaligus dua buah.

Hari itu ia memang sudah boleh memiliki senjata api. Umurnya sudah masuk 18 tahun. Ia sudah kelas 3 SMA. Sudah hampir tamat. Dalam hitungan hari.

Salvador Ramos, si siswa SMA, juga tidak punya catatan kriminal. Juga bukan anak yang aneh-aneh, kecuali bajunya.

Maka toko senjata akan dengan senang hati melayani pembeli seperti Ramos.

Saya punya pengalaman. Beberapa kali masuk toko senjata seperti itu. Di berbagai kota di Amerika. Bersama teman soulmate saya di sana: John Mohn.

Tidak ada prosedur apa pun untuk membeli senjata. Kecuali menunjukkan umur. Bagi yang masih terlihat remaja. Tanpa perlu copy KTP. Saya juga pernah menghadiri pameran besar penjualan senjata di Nashville, Tennessee. Bebas sekali.

Ramos juga membeli banyak peluru. Lengkap dengan rompi dan ranselnya.

Senjata hadiah ulang tahun itulah yang ia pakai menembak neneknya sendiri. Yang justru mengasuhnya sejak kecil. Lalu menembaki siswa SD. Tidak jauh dari rumah Sang nenek. Sebanyak 19 siswa SD di situ tewas. Demikian juga 2 orang guru mereka. Banyak lagi yang terluka. Termasuk seorang polisi.

Saya sebenarnya tidak ingin menulis drama ini. Anda sudah tahu semua itu. Dari tulisan pembaca Disway, Bung Mirza, dua hari lalu. Saya kalah cepat dengannya. Tapi Mirza tak kunjung muncul lagi dengan laporan lanjutannya. Justru saya yang ganti penasaran: seperti apa peristiwa itu.

Saya pun membuka banyak media di Amerika. Khususnya di . Lebih khusus lagi di San Antonio –kota terdekat dengan lokasi peristiwa.

Setelah mendalami peristiwa itu saya pun ragu: apakah perlu menuliskannya. Peristiwa ini memang tragis sekali. Tapi tidak ada yang baru. Begitu lagi. Begitu lagi. Bahkan sebuah media, The Onion, –media spesialis satire– sengaja memuat headline dengan bunyi yang sama. Sudah sebanyak 21 kali. Selama 8 tahun terakhir. Begitu seringnya penembakan masal seperti itu.

Pengulangan judul besar seperti itu menandakan bahwa media tersebut marah. Medis menulis judul besar-besar agar jadi pusat perhatian. Lalu ada kebijakan baru. Keadaan pun berubah.

Tapi soal penembakan masal di Amerika ini terus saja berulang. Ditulis dengan judul besar-besar pun tetap masih terjadi lagi. Dan masih akan terjadi lagi.

Reaksi para politisi pun masih sama: ''Peristiwa ini jangan sampai terjadi lagi. Ini harus yang terakhir kali terjadi di negeri ini.''

Nyatanya itu bukan yang terakhir. Masih terus berulang. Begitu seringnya. "Rata-rata sebulan dua kali terjadi penembakan di sekolah," tulis The Onion. Belum lagi yang di luar sekolah.

Tahun ini sudah kita lewati selama 146 hari. Sedang penembakan masal sudah terjadi 213 kali.

"Tidak ada yang menghentikannya. Negeri ini memang membolehkannya," tulis media yang lain.

Dulu penembakan seperti itu terjadi di kota-kota besar. Seperti New York. Bisa dimaklumi. Sebagai akibat tekanan kota besar. Belakangan banyak juga terjadi di kota kecil. Bahkan sangat kecil. Seperti yang sekarang ini: di Uvalde. Sangat kecil. Dan terpencil. Kota agak besar terdekat pun masih 80 Km. Di arah timurnya. San Antonio tadi.

Kota mini Uvalde hanya berpenduduk 16.000 orang. Kalau di Jawa itu hanya satu desa. Lokasinya dekat perbatasan dan New Mexico. Dekat juga dengan perbatasan Meksiko –sekitar 60 km.

Yang membuat kota ini ''hidup'' karena ada markas polisi perbatasan. Yang menjaga perbatasan dua negara. Kehidupan yang lain: inilah tempat kelahiran bintang film terkenal. Ia pemenang hadiah Oscar. Matthew McConaughey. Umur 52 tahun. Film drama komedinya banyak yang top: The Wedding Planner atau Ghosts of Girlfriends Past atau How to Lose a Gay in 10 Days. Lewat semua itu ia meneguhkan citra sebagai simbol seks.

Tentu ia berkomentar soal drama di kampungnya itu. Ia ingin maju sebagai calon gubernur tahun ini.

Sedih. Pilu.

Di kota sekecil dan sedamai Uvalde harusnya tidak terjadi kebrutalan seperti itu. Apalagi Uvalde juga di pegunungan. Dan lagi penduduknya mayoritas keturunan Spanyol: lebih 70 persen. Tidak ada konflik sosial. Tidak ada ketegangan ras.

Tapi ada Ramos.

Yang hidup bersama neneknya –tanpa Mirza menyebutkan di mana orang tuanya. Ramos marah pada neneknya itu: ia tembak dengan senjata barunya.

CNN berhasil menelusuri jejak digital Ramos.

Begitu menembak sang nenek, Ramos mengirim text ke seorang gadis 15 tahun nun jauh di Eropa. Ramos kenal gadis itu lewat medsos.

"Saya baru menembak nenek. Ia menjengkelkan. Menelepon AT&T mengenai telepon saya," begitu kira-kira bunyinya. Dengan bahasa Inggris singkat-singkat. Pakai bahasa slang. Khas anak remaja.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO