>>>>>>>>>> Rubrik ini menjawab pertanyaan soal Islam dalam kehidupan sehari-hari. SMS ke 081357919060, atau email ke bangsa2000@yahoo.com. Jangan lupa sertakan nama dan alamat. <<<<<<<<<<
Pertanyaan:
Baca Juga: Permintaan Dispensasi Nikah Dini Meningkat, PA Magetan Lakukan Langkah ini
Assalamualaikum w.w.
Kiai Said yang saya hormati, saya ingin menayakan soal nikah sirri. Ketika seseorang sudah menikah secara sirri, kemudian ingin mencatatkan pernikahannya itu secara resmi agar mendapatkan buku nikah, haruskah mereka melakukan nikah ulang? Apa tidak cukup hanya memintakan buku pernikahannya saja?
Terima kasih atas jawabannya.
Baca Juga: Saya Dilamar Laki-Laki yang Statusnya Pernah Adik, Keluarga Melarang, Bagaimana Kiai?
Wassalamualaikum w.w.
(Anton - Surabaya)
Baca Juga: Skema Murur, Mabit di Muzdalifah Wajib atau Sunnah Haji? Ini Kata Prof Kiai Imam Ghazali Said
Jawaban:
Waalaikum salam W. W.
Perlu disampaikan bahwa dalam syariat atau fikih tidak dikenal istilah nikah siri atau akad nikah secara rahasia. Sebab, syarat rukun nikah dalam syariat mengharuskan akad nikah secara terang-terangan dalam arti diketahui oleh publik, walaupun bisa secara minimal. Itu dipahami dari rukun nikah yang di antaranya mengharuskan adanya wali, kedua mempelai, minimal dua orang saksi dan ijab qabul.
Baca Juga: Minta Kebijakan Murur Dievaluasi, Prof Kiai Imam Ghazali: Hajinya Digantung, Tak Sempurna, Jika...
Sepengetahuan saya nikah siri yang Bapak maksud adalah akad nikah yang dilakukan sesuai ketentuan fikih, tetapi tidak melapor ke KUA, yang berarti akad nikah tersebut tidak dicatat dalam dokumen pemerintah sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku saat nikah tersebut berlangsung.
Dalam konteks kaum Muslim Indonesia, di mana kita menjadi warga negaranya, akad nikah harus menganut dua ketentuan hukum: fikih dan hukum positif. Jika suatu komunitas melangsungkan akad nikah hanya sesuai dengan ketentuan fikih, tanpa melapor dan mencatatkan peristiwa akad tersebut pada KUA, maka secara fikih akad tersebut sah.
Tetapi, menurut ketentuan Undang-Undang No. 1/1974 yang dalam pasal 2 ayat 1 menyatakan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Baca Juga: Istri Tak Penuhi Kebutuhan Biologis, Saya Onani, Berdosakah Saya?
Ayat 2: “Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Untuk itulah nikah siri seperti yang saya ketahui tersebut secara hukum positif tidak sah.
Idealnya, ketika terjadi akad “nikah siri” sebaiknya dibuat berita yang mencatat peristiwa akad nikah tersebut yang minimal memuat dan mencatat nama, tempat tanggal lahir, alamat, kedua mempelai dan wali nikah, tempat terjadinya akad nikah, serta minimal nama dua orang saksi yang seluruh nama yang tercantum dalam berita acara tersebut menandatangani dalam dokumen bermaterai cukup.
Kiranya ketika akad nikah siri terjadi harus disadari bahwa akad tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum positif yang diakui oleh negara. Untuk itulah harus ada semangat dan keinginan untuk melaporkan peristiwa akad tersebut ke KUA sebagai instansi terendah yang menangani pelaporan terjadinya akad nikah.
Baca Juga: Rencana Nikah Tak Direstui karena Weton Wanita Lebih Besar dan Masih Satu Buyut
Jika cara dan teknis seperti ini telah dilakukan, maka ketika ada acara gelar akad nikah gratis, berita acara akad nikah siri di atas itulah yang dilaporkan ke KUA. Dengan demikian, pihak KUA dan kedua mempelai hanya melakukan pencatatan tanpa harus ada akad ulang. Jadi, peristiwa terjadinya akad siri dilegalkan agar menjadi sah menurut ketentuan dua hukum: fikih dan positif.
Atas dasar cara seperti itu, Bapak dan para peserta gelar akad nikah gratis tinggal mendapatkan buku akta nikah yang merupakan dokumen penting dalam kehidupan warga negara Indonesia yang telah mempunyai pendamping hidup.
Jika berita acara akad nikah siri sudah terlanjur tidak dibuatkan seperti penjelasan di atas, maka mekanisme untuk mendapatkan pengesahan secara hukum positif terhadap nikah siri itu melalui penetapan (itsbat) nikah yang dikeluarkan oleh pengadilan agama setempat, yang tentu mengharuskan adanya sidang itsbat nikah siri yang pernah dilakukan. Dengan demikian, akad nikah ulang tidak perlu dilakukan.
Baca Juga: Peletakan Batu Pertama Perpustakaan Khofifah, Prof Kiai Imam Ghazali Berharap seperti Al-Azhar Mesir
Jika karena satu dan lain hal nikah siri yang pernah dilakukan itu harus melakukan akad ulang dengan akad baru, konsekuensinya hubungan suami istri yang terjadi sebelum akad baru, termasuk jika menghasilkan anak, maka secara hukum positif hubungan suami istri itu dianggap perzinahan sekaligus anak yang dihasilkan diberi label anak di luar nikah.
Jika gelar akad nikah gratis itu melakukan akad ulang, maka legalitas akta nikah yang dikeluarkan dan mulai berlaku sejak tanggal dilaksanakannya gelar akad nikah gratis, maka legalitas kekuatan hukumnya hanya berlaku sejak akta nikah tersebut dikeluarkan dan segala perbuatan hukum ke depan setelah itu. Sedang perbuatan hukum yang terjadi dalam akad nikah siri yang terjadi sebelumnya tidak mempunyai kekuatan dan legalitas hukum positif.
Untuk itulah, saya menganjurkan pihak panitia, instansi terkait serta warga yang berminat untuk mengikuti gelar akad nikah massal gratis mempertimbangkan teknis dan akibat hukum yang akan menimpa peserta baik secara fikih maupun secara hukum positif. Demikian yang bisa saya jelaskan, semoga Bapak mafhum. Wallahu a’lam.
Baca Juga: Viral Pertunangan Balita di Sampang, BKKBN Jatim Turun Tangan, Berikut Kisah Sebenarnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News