JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) punya nahkoda baru: Muhammad Mardiono. Ia menggantikan Suharso Monoarfa yang dilengserkan dari posisi ketua umum (ketum) karena su’ul adab pada kiai. Suharso Monoararfa – dari faksi Parmusi – dianggap menghina kiai soal budaya amplop. Padahal konstituen PPP – terutama di Jawa – mayoritas warga NU yang nota bene takdzim pada kiai.
Tapi tentu Suharso tak tinggal diam. Ia - bersama pendukungnya - masih melawan. "Begini-begini ini saya ketua umum PPP," katanya.
Baca Juga: Bos Baru Twitter, Elon Musk Kutu Buku Sejak Kecil, Kekayaanya USD 277 M
Mardiono berasal dari faksi NU. Namanya memang sama sekali tak popular. Padahal ia anggota Wantimpres.
Sejatinya, nama Mardiono sempat mencuat secara samar-samar pada Muktamar PPP tahun lalu. Tapi kemudian tenggelam lagi.
Yang menarik, iMardiono disebut-sebut sebagai pengusaha kaya raya. Bahkan dijuluki triliuner. Julukan yang sangat fantastis sekaligus memberi harapan baru bagi PPP. Partai Islam yang belakangan diprediksi bakal tamat riwayatnya pada Pemilu 2024.
Baca Juga: Sempat Hina Kiai dan Singkirkan Kader NU, Suharso Monoarfa Akhirnya Lengser
Pertanyaannya, sang triuliuner itu mampukah menyelamatkan PPP dari “kekaraman politik” pada Pemilu 2024? Bukankah hampir semua analis yakin bahwa kapal PPP akan tenggelam pada Pemilu 2024 mengingat suaranya semakin tergerus? Apalagi banyak partai baru yang juga sama-sama mengincar konstituen yang sama.
Jawabannya kembali kepada sang triliuner: Mardiono. Apakah ia seorang politisi “petinju” atau politisi “karateka”?
Baca Juga: Dianggap Hina Kiai soal Amplop, Ketum PPP Suharso Dikecam Gus Miftah
(Suharso Monoarfa. Foto: Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumar/CNN)
Kita maklum, di kalangan aktivis partai dan organisasi ada istilah petinju dan karateka. Julukan petinju itu merujuk pada tokoh politik atau tokoh organisasi yang bakhil atau pelit. Artinya, tangannya selalu menggenggam atau mengepal, tak pernah terbuka memberikan sesuatu kepada orang lain. Termasuk bersedekah tabarrukan pada kiai yang merupakan figur sentral dalam masyarakat keagamaan, tertuama masyaraka tradisional . Apalagi membiayai operasional partai atau organisasi.
Sebaliknya, ia justru mengalkukasi setiap kegiatan dengan pertimbangan untung-rugi, terutama secara finansial. Meminjam istilah Gus Dur, pejabat, politisi atau penguasa seperti itu bermental saudagar.
Baca Juga: Ketum PPP dan Menteri Bappenas Suharso Monoarfa Dilaporkan ke Komnas Perempuan
“Repot kalau penguasa bermental saudagar,” kata Gus Dur suatu ketika. “Semua dikalkulasi dengan untung-rugi,” tambah Gus Dur.
Sebaliknya, tokoh atau penguasa dijuluki karateka, jika ia ringan tangan. Artinya, tangannya – seperti tangan karateka – selalu terbuka lebar. Gemar berbagi dan bersedekah, termasuk kepada kiai. Tentu juga terbuka untuk berkorban secara finansial untuk membiai aktivitas partai atau organisasi.
Baca Juga: Ketum PPP Sowan ke Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar
(M Mas'ud Adnan, penulis. Foto: BANGSAONLINE.com)
Alhasil, metafora tangan terbuka karateka itu merujuk kepada tokoh politik atau organisasi yang berjiwa sosial dan bermental solidaritas. Dan jiwa sosial atau mental solidaritas itu menjadi modal utama bagi tokoh atau pimpinan dalam memajukan partai atau organisasi.
Bertolak dari perspektif ini kita bisa menilai tentang Suharso Monoarfa dan Muhammad Mardiono. Siapakah di antara mereka yang masuk kategori politisi petinju dan politisi karateka.
Baca Juga: Menteri PPN Resmikan Pusat Oleh-Oleh dan Resto di Batu
Nah, jika benar, Mardiono memimpin PPP –Plt Ketum – benarkah ia punya jiwa sosial dan mental solidaritas yang kuat? Ia politisi petinju atau politisi karateka?
Kita tunggu saja drama politik selanjutnya.
(M Mas’ud Adnan, Alumnus Pesantren Tebuireng dan Pascasarjana Unair)
Baca Juga: Menteri PPN Setujui Wisata Religi Terintegrasi Kota Pasuruan, Siapkan Anggaran Rp 100 M
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News