Tafsir Al-Kahfi 79-81: Tausiah Perpisahan Nabi Khidir kepada Nabi Musa

Tafsir Al-Kahfi 79-81: Tausiah Perpisahan Nabi Khidir kepada Nabi Musa Ilustrasi. Photo By Muhammad Adil on Unsplash.

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

79. Ammaa alssafiinatu fakaanat limasaakiina ya’maluuna fii albahri fa-aradtu an a’iibahaa wakaana waraa-ahum malikun ya/khudzu kulla safiinatin ghashbaan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

(Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut; aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang akan merampas setiap perahu.)

80. Wa-ammaa alghulaamu fakaana abawaahu mu/minayni fakhasyiinaa an yurhiqahumaa thughyaanan wakufraan

Dan adapun anak muda (kafir) itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

81. Fa-aradnaa an yubdilahumaa rabbuhumaa khayran minhu zakaatan wa-aqraba ruhmaan

Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya dengan (seorang anak) lain yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya).


Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

TAFSIR AKTUAL

Pada akhir tafsir ayat ini, Al-Imam Al-Qurtuby mengemukakan riwayat saat perpisahan Musa dan gurunya, Khidir A.S. Setelah jawaban tiga materi uji dijelaskan sebagai tanda Musa tidak lulus, Khidir pamitan hendak meninggalkan Musa. Dengan legowo, Musa menerima. Tapi meminta wejangan lebih dahulu sebelum sang guru pergi, “Awshiny..”.

Khidir A.S. mewejang begini: "Menjadilah pribadi yang murah senyum, tapi bukan tertawa. Jangan marah. Jangan melakukan sesuatu yang tidak dibutuhkan. Jangan mencaci orang yang salah. Tangisilah dosamu, wahai putra Imran..".

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Lima wejangan ini sangat tepat untuk pribadi Musa yang temperamental dan cepat emosi. Harum, sang adik hampir saja menjadi korban jotosan Musa. Pasalnya dia diserahi amanah membimbing umat saat ditinggal Musa beraudisi di gurun Sinai selama 40 hari.

Ternyata tidak wibawa dan tidak mendapat perhatian umat. Musa al-Samiry justru berhasil membelotkan akidah umat, dengan mengarahkan mereka menyembah patung sapi emas buatannya. Musa datang dan Harum dijambak jenggotnya, diprekes kepalanya, dan hampir saja dijotosi. Usai memberesi Firaun dan kroninya, Musa menjadi juru dakwah yang lembut dan penyabar.

Ke mana kah maha guru Khidir setelah meninggalkan Musa? Pastinya kembali ke habitatnya sebagai orang shalih yang eksklusif dan misteri. Tugasnya adalah 'menghijaukan' alam ini, munajah dan memohon keselamatan buat umat kebanyakan. Ya, sampai kapan?

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Dulu sudah pernah kita singgung, apakah nabi Khidir itu hidup terus atau mati seperti manusia pada umumnya. Pendapat yang memadukan adalah, secara fisik sudah mati dan harus mati. Itu sunnatullah. Tapi karena keshalihannya seperti halnya para nabi, Khidir hidup terus secara ruhiyah. Mungkin tak terlihat, tapi nyata.

Al-Imam Ibn Abd Al-Barr meriwayatkan dari Ali ibn Abi Thalib Karram Allah Wajhah. Ketika Rasulullah SAW baru saja wafat dan kepala beliau ditutupi dengan baju, tiba-tiba terdengar suara menggema tanpa jasad terlihat. Sumber suara itu rupanya datang dari sudut rumah dan semua sahabat yang hadir mendengar.

Al-salam ‘alaikum wa rahmah Allah wa barakatuh. Al-salam ‘alaikum ahl al-bait. Kull nafs dza’iqah al-maut. Inn fi Allah khalafa min kull halik, wa ‘iwadla min kull talif, wa ‘aza’ min kull mushibah, fa billah fatsiqu, wa iyyah fa urju, fa inn al-mushab man hurim al-tsawab”.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

“Salam buat engkau ya Rasulallah, salam buat kalian keluarga besar utusan Allah. Setiap jiwa pasti mati. Sesungguhnya Allah itu punya pengganti atas setiap yang wafat. Disediakan yang baru setiap kali ada yang rusak. Selalu ada reward setiap kali ada musibah. Kepada Allah, berteguh-teguhlah. Hanya kepada-Nya, memohonlah. Sejatinya bencana itu jika seseorang tidak memperoleh pahala”.

Para sahabat meyakini, bahwa itu suara nabi Khidir A.S. yang datang berta’ziah. (al-jami’ li ahkam al-qur’an:XI/p. 44).

Jika saja yang tertera di atas itu benar, maka ucapan Khidir itu sesungguhnya ilustrasi futuristik, informasi masa mendatang yang bakal terjadi nanti setelah Rasulullah SAW wafat. Bahwa, umat Islam tidak perlu berkecil hati atas kepergian beliau. Yakinlah bahwa pasti ada generasi pengganti yang bagus dan umat Islam baik-baik saja.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Meski demikian, bakal ada saja persoalan, ketidakpuasan, bahkan perpecahan. Untuk itu, hanya satu cara untuk mengatasi itu semua, yakni berserah total kepada Allah SWT, titik. Hanya Allah-lah yang menjadi standar hidup, maka mendapat pahala. Jika selain-Nya, maka itu bencana dan tidak mendapat apa-apa kelak di sisi-Nya.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO