Tafsir Al-Kahfi 92-94: Blusukan Ketiga, ke Masyarakat Tertindas

Tafsir Al-Kahfi 92-94: Blusukan Ketiga, ke Masyarakat Tertindas Ilustrasi.

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

92. Tsumma atba’a sababaan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Kemudian, dia mengikuti suatu jalan (yang lain lagi).

93. Hattaa idzaa balagha bayna alssaddayni wajada min duunihimaa qawman laa yakaaduuna yafqahuuna qawlaan

Hingga ketika sampai di antara dua gunung, dia mendapati di balik keduanya (kedua gunung itu) suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

94. Qaaluu yaa dzaa alqarnayni inna ya/juuja wama/juuja mufsiduuna fii al-ardhi fahal naj’alu laka kharjan ‘alaa an taj’ala baynanaa wabaynahum saddaan

Mereka berkata, “Wahai Zulqarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj adalah (bangsa) pembuat kerusakan di bumi, bolehkah kami memberimu imbalan agar engkau membuatkan tembok penghalang antara kami dan mereka?”

TAFSIR AKTUAL

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

“Tsumm atba’a sababa”. Sama dengan tafsir sebelumnya, di mana Dzu Al-Qarnain tidak langsung melakukan kunjungan berikutnya, melainkan beristirahat sejenak dan mengevaluasi kerjanya. Di samping mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan pada blusukan berikutnya. Mempelajari medan dan rute serta keperluan lain.

Pada blusukan ketiga ini sasarannya adalah masyarakat yang tinggal di antara dua gunung, “bain al-saddain”. Ibn Abbas menyebut dua gunung itu ada di sekitaran Armenia dan Azerbaijan, kira-kira pelosok wilayah Rusia sekarang. Digambarkan, mereka sebagai penduduk yang “La yakadun yafqahun qaula”. Maknanya:

Pertama, mereka tidak punya bahasa komukasi yang memahamkan. Tidak mengerti bahasanya orang lain dan orang lain tidak mengerti bahasa mereka. Walhasil tidak bisa diajak bicara sama sekali.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Kedua, mereka diam dan menghindar, sehingga sulit sekali diajak berbicara dan tidak pula bisa didengar omongannya. Diamnya mereka itu karena ketakutan yang sangat mencekam yang jika mereka ngomong dikhawatrikan bocor ke telinga orang yang ditakuti dan berakibat makin membahayakan diri mereka sendiri.

Di sinilah Dzu Al-Qarnain terpaksa harus memeras otak, memikirkan bagaimana caranya bisa mengorek informasi dan mendapatkan keterangan terkait mereka, sesungguhnya apa yang sedang terjadi dan apa yang sedang mereka alami. Tentu dibutuhkan kesabaran dan kecermatan.

Tidak ada keterangan pasti terkait bisanya komunikasi terjalin. Tapi Al-Qur’an mengisahkan, akhirnya mereka membuka mulut dan mengadukan keadaan sesungguhnya yang menimpa mereka. “Bahwa, di balik gunung sebelah ada Ya’juj dan Ma’juj, komunitas tega dan kejam, merusak dan merampas apa yang kita miliki tanpa belas kasihan. Kami sangat menderita karena ulah mereka”.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

“Wahai Dzu Al-Qarnain, kami sanggup membayar kamu (kharja) berapa saja asal tuan mau membuatkan sadd (dinding pembatas) yang mampu menghalangi mereka menjamah kami, sehingga kami bisa hidup aman dan tenteram”.

Dzu Al-Qurnain menjawab lembut sekali: “Apa yang Tuhan anugerahkan kepada saya jauh lebih baik, jauh lebih banyak ketimbang yang kalian punya. Simpan saja uang kalian untuk keperluan kalian sendiri. Cukup bantu saya dengan tenaga kalian, kami akan buatkan kalian “radma” (tembok kokoh). Analisis ayat di atas begini:

Pertama, blusukan ketiga ini benar-benar ke daerah terpencil dan tertutup. Pernah ada ekspedisi yang mencoba mencari ancer-ancer daerah itu. Pakai peta detail dan dikerjakan oleh dua tim, dari darat dan dari udara.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Dilaporkan, memang ada daerah yang sangat jauh, terjal, dan tertutup, hingga kuda saja tidak bisa masuk. Terpaksa tim berjalan kaki. Jika temuan tim itu benar, meskipun belum tentu itu daerah yang dimaksud Al-Qur’an, maka tidak bisa dibayangkan hebatnya blusukan Dzu Al-Qarnain tempo dulu yang sanggup menyentuh daerah tersebut.

Kedua, Dzu Al-Qarnain sangat memahami pola pikir dan perilaku orang gunung, orang pedalaman, yang tidak berpendidikan. Sikapnya yang polos dan apa adanya. Mereka tidak mengerti siapa yang datang, sosok macam apa orang yang sedang diajak berbicara.

Lagak mereka kasar, bergaya bos, dan memandang Dzu Al-Qarnain sebagai orang rendahan biasa. Maka kata-katanya tinggi, maunya terima jadi, dan tinggal membayar. Menyuruh Dzu Al-Qarnain agar membuatkan “sadd” dengan upah tertentu. Sungguh pemimpin berjiwa besar, meskipun dianggap rendahan biasa, tetapi tidak tersinggung. Dan dengan halus menolak dibayar, malah menjanjikan hasil lebih baik.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Ketiga, Dzu Al-Qarnain sebagai pemimpin cerdas yang mampu melihat potensi rakyat secara tepat, mampu menganalisis sumber daya manusia secara proporsional. Seberapa sih dana mereka, makanya ditolak, tetapi tenaga mereka dibutuhkan. Orang gunung yang kekar, bertenaga, dan sangat kuat bekerja. Mereka tidak punya ilmu tentang bangunan, desain atau rancangan, maka cukup membantu dengan okolnya saja, bukan akalnya.

Keempat, Dzu Al-Qarnain sosok pemimpin yang tidak mau membebani rakyat, malah memberi. Tidak memungut pajak ataupun apa dari rakyat, tetapi merangkul rakyat hingga mereka merasa memiliki negeri dan tulus membangun bersama. Bergotong royong dalam keharmonisan.

Kelima, yang diminta oleh mereka adalah membangun “sadda” (dinding penyekat biasa yang menghalangi dua belah pihak). Tetapi yang dibuatkan oleh Dzu Al-Qarnain adalah “ radma” (tembok kokoh, bercor-coran dengan kerangka besi, jauh lebih kokoh ketimbang sadda).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Itulah pemimpin sejati. Apa yang diusulkan rakyat dalam proposal dipelajari secara seksama dan koreksi secara tepat hingga menghasilkan yang lebih baik, meski anggaran membengkak. Yang diminta “sadda”, tapi yang diberikan “radma”, tentu melampaui angka dalam proposal permohonan. Tidak dicoreti dan dikurangi, apalagi disunati.

Usulan “sadda” itu karena mereka belum mengerti kekuatan “sadda” dibanding dengan kekuatan Ya’juj dan Ma’juj yang super brutal. Tapi mengerti. Jika hanya ditutup dengan sadda, maka pasti bisa ditembus dan jebol. Makanya dibangunkan “radma” yang lebih kokoh dan dijamin tak terjebolkan. Begitulah pemimpin hebat, memberi lebih di atas yang dikehendaki rakyat.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO