BOJONEGORO, BANGSAONLINE.com – Selain setiap hari kepanasan akibat terkena hawa pembakaran gas (flaring), warga sekitar ladang minyak dan gas bumi (migas) Lapangan Banyu Urip Blok Cepu di Bojonegoro juga mulai kesulitan mendapatkan air bersih untuk keperluan air minum, masak, mencuci dan mandi. Hal itu seiring pergantian musim hujan ke musim kemarau.
Warga Dukuh Gledekan, Desa Mojodelik, Kecamatan Gayam, misalnya mulai merasakan sulit mendapatkan air bersih sejak dua pekan terakhir. Air Kaligandong yang melintas di Desa Mojodelik telah menyusut dan mengering. Begitu pula sumur-sumur gali di belakang atau samping rumah telah menyusut airnya.
Baca Juga: Dorong Petani Mandiri, EMCL Adakan Program Sekolah Lapang Pertanian
Rasiyo (62), warga Dukuh Gledekan, Desa Mojodelik mengatakan, sejak memasuki musim kemarau ini dia mulai kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Sumur gali di belakang rumahnya telah menyusut drastis. Sumur itu memiliki kedalaman 12 meter. Untuk mendapatkan air, ia terpaksa mengambil dari sumber mata air yang berada di dekat Kaligandong. Ia mengambil air itu dengan jeriken lalu dipikul dengan pikulan bambu.
“Tiap pagi dan sore mengambil air di sumber mata air itu. Jaraknya sekitar 200 meter dari rumah,” ujar Rasiyo.
Rasiyo menuturkan, air yang didapat itu lalu disimpan di tong bekas dan jeriken. Persediaan air itu digunakan untuk keperluan air minum, menanak nasi, dan juga air minum untuk ternak sapi. Sedangkan, kalau mandi biasanya Rasiyo memilih mandi sekaligus di lokasi sumber mata air itu.
Baca Juga: APBD Bojonegoro Bisa Rp 7,5 Triliun, Sayang Bupati-Wakil Bupati Bertengkar depan Publik
Menurut dia, warga Mojodelik bukan hanya mengalami krisis air bersih namun juga kesulitan air untuk bercocok tanam. Mayoritas persawahan warga mengandalkan air hujan sehingga hanya bisa ditanami padi saat musim hujan saja.
"Sebagian petani saat ini sudah beralih menanam palawija seperti kacang tanah dan jagung," ungkapnya.
Selain itu, warga di Desa/Kecamatan Gayam juga mulai kesulitan mendapatkan air untuk pengairan persawahan. Tanah persawahan terlihat mulai mengering dan retak-retak. Rumput liar tampak mengering dan mati. Sebagian petani memilih menanam jagung di lahan sawahnya. Namun, banyak pula petani yang membiarkan lahan sawahnya itu tidak tergarap.
Baca Juga: SMAN 1 Tuban Juarai Kompetisi Student Company Regional EMCL
Persawahan di daerah sekitar ladang migas Banyu Urip Blok Cepu ini dikenal sebagai sawah tadah hujan. Persawahan hanya bisa ditanami padi saat musim hujan. Sementara, saat musim kemarau biasanya ditanami jagung, kacang tanah, kacang hijau, dan tembakau.
Sementara itu menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro, Andik Sudjarwo, dirinya menjamin ketersediaan air bersih bagi masyarakat yang terdampak kekeringan di musim kemarau tahun ini. Namun, pihaknya meminta masyarakat tidak hanya mengandalkan droping air saat musim kemarau nanti.
"Sebab yang lebih penting adalah optimalisasi pemberdayaan masyarakat. Selain mengandalkan bantuan air bersih, masyarakat perlu membuat sumur bor," ungkapnya.
Baca Juga: 200 Pemuda Ring 1 Blok Cepu Gelar Demo, Ini Beberapa Tuntutannya
Tahun ini, kata dia, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro melalui Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Sosial (Disnakertransos) telah mengalokasikan anggaran untuk droping air bersih sekitar Rp 100 juta. Bantuan yang disiapkan sebanyak 250 tangki air bersih. (nur/rvl)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News