Oleh : Jatayu Kresna Tama
Pascareformasi, Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan umum secara langsung sebanyak 4 kali yakni pada tahun 2004, 2009, 2014, 2019.
Baca Juga: Sayangkan Banyaknya Hoaks Gempa Tuban, Khofifah Beri Pesan Menyentuh
Pemilu diselenggarakan sebagai wujud dari pemenuhan hak-hak politik warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengenai jaminan hak-hak sipil dan politik, di mana poin-poin hak yang harus dilindungi oleh negara mengenai berpendapat, berserikat, memilih dan dipilih, hak sama di hadapan hukum dan pemerintahan, mendapatkan keadilan, dan lain-lain, sehingga partisipasi masyarakat dalam pemilu sangat penting sebagai wujud kedaulatan rakyat.
Dalam proses politik di Indonesia telah diwarnai dengan kasus penyebaran berita bohong atau Hoax yang mencederai demokrasi. Seperti terjadi di pemilihan presiden 2019, berbagai kampanye hitam yang memojokkan lawan politik.
Misalnya, tuduhan bahwa Jokowi adalah seorang yang lahir dari simpatisan PKI dan keturunan China yang anti-Islam. Sementara Prabowo diidentikkan dengan sosok militer diktator dan didukung oleh kelompok Islam radikal serta intoleran.
Baca Juga: SALAH: Klaim Video 40 Kecamatan Terombang-ambing Air Laut Hebat Lenyapkan Kota
Penyebaran hoax terjadi tidak terlepas dari masih lemahnya institusional partai politik di Indonesia, sehingga mendorong para politisi berkolaborasi dengan tokoh masyarakat untuk mereproduksi pemberiataan bohong demi kepentingan pemilu.
Hal tersebut hanyalah sebagai alat legitimasi politik sesaat untuk kepentingan politis. Padahal, dampak dari praktik politik seperti ini jika senantiasa direproduksi akan memicu disintegrasi yakni, ketimpangan antar kelompok dan konflik yang berkepanjangan.
Apalagi praktik politik akan cepat terdengar ke masayarakat dengan adanya media sosial. Peran media sosial saat ini juga sangat signifikan dalam mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat, dan kecenderungan masyarakat akan langsung mempercayai berita yang beredar tanpa mengkroscek kebenarannya, sehingga akan mudah terprovokasi.
Baca Juga: Pj Bupati Pamekasan Ajak ASN di Lingkungan Pemkab 'Kendalikan Jempol' Jelang Pemilu 2024
Fenomena tersebut berseberangan dengan semangat kesatuan karena terlalu menekankan sesuatu yang tidak sebenarnya. Sehingga akan merusak kesatuan sosial politik, memperparah terjadi konflik sosial.
Kolaborasi partai politik dengan kelompok-kelompok masyarakat dalam upaya memobilisasi pemberitaan bohong tersebut justru akan semakin memperparah keadaan. Dibutuhkan peran penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu untuk terus mengampanyekan pemilu yang luber jurdil, dan partai politik, tokoh masyarakat maupun tokoh politik serta kelompok masyarakat ber ikhtiar untuk tidak memproduksi berita-berita bohong dalam berkampanye.
Dengan demikian, pesta demokrasi mendatang dapat berjalan sesuai dengan cita-cita demokrasi tanpa memecah belah kesatuan dan persatuan. Maka praktik penyebaran berita bohong pada Pemilu 2024 yang akan datang patut dicermati, karena praktik tersebut berpotensi mengarah pada dampak yang berlawanan dengan tujuan demokrasi dan menjurus pada perpecahan yang menyebabkan terjadinya instabilitas politik dan disintegrasi bangsa Indonesia.
Baca Juga: Gelar Pelatihan Cek Fakta, Cara AMSI Cegah Hoax Jelang Pemilu 2024
Penulis merupakan Ketua Panwascam Kenjeran, Surabaya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News