Tafsir Al-Anbiya' 95: Yang Mati Tak Kan Kembali

Tafsir Al-Anbiya Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i.

Hanya pimpinan Jahiliyah saja yang hobi disanjung, lalu melestarian budaya sebagai kebijakan di pemerintahannya. Padahal dia beriman, dia mengerti, bahwa tinggalan nenek moyang tersebut sudah jelas buruk dan munkar yang secara akaliah mesti dikubur dalam-dalam.

Melestarikan budaya munkar sama saja dengan mengejek Tuhan dan menantang turunnya azab. Melestarikan budaya buruk sama saja dengan menolak keberkahan langit turun demi kemaslahan rakyat kebanyakan. Maka, pemimpin begitu itu jelas tidak membawa maslahah.

Ayat kaji ini berbicara tentang Qaryah, perkampungan yang telah dibinasakan sebagai tidak pernah bisa kembali. Keputusan tak kembali itu disimbolkan dengan bahasa “haram”. “wa haram ‘ala qaryah...”. Mufassirin berbeda pendapat tentang sasarannya.

Pertama, qaryah, dimaknai sebagai perkampungan, negara, bangsa secara fisik. Kota yang hancur tidaklah bisa kembali terbangun bagus. Atau bangsa, penduduk yang telah dihancurkan maka tidak bisa hidup kembali. Tafsiran ini wajar dan berdasar makna nyata, lahiriyah.

Kedua, qaryah, dimaknai penduduknya, atau “ahl al-qaryah” dan model begini ada di dalam terma al-qur’an. Sedangkan “ahlaknaha” dimaknai rusak iman dan akhlaqnya, bukan rusak fisik atau bangunan.

Tafsiran yang disukai kaum sufi ini mengarah kepada, bahwa perbuatan buruk, kufur, maksiat yang telah menghancurkan keimanan manusia tidaklah menghalangi (haram) secara mutlak terhadap pelakunya untuk bisa bangkit kembali dan bertobat. Sebesar apapun kedurhakaan manusia, selagi masih ada nyawa, ada usaha serius memperbaiki diri, maka pastilah Tuhan mengapresiasi.

Lalu, apa maknya “haram” pada ayat ini?

Tafsiran paling kompromis adalah, bahwa pertobatan atas dosa besar yang telah melekat dan telah menghancurkan sendi-sendi keimanan rasanya lebih berat, seperti terhalangi (haram). Tidak sama dengan pertobatan dari kemaksiatan kecil.

Untuk itu, agama menasihati, agar orang beriman tidak melakukan dosa besar, walau hanya sekali dan tidak usah mencoba-coba, “irtikab al-kaba’ir”. Atau tidak melakukan dosa kecil secara aktif dan rutin. “ishrar al-shagha’ir”. Sebab dosa cilik-cilik yang ngelumpuk dan menumpuk, lama-lama menjadi gede juga.

Maka, pada tafsiran kaum sufis yang cenderung membuka pintu tobat seluas-luasnya tadi memahami, bahwa manusia itu punya potensi berbuat berdosa. Ya, tapi manusia juga punya potensi bertobat secara sungguhan. Jadi, “manusia yang baik itu bukanlah yang tidak pernah berbuat dosa, melainkan yang pernah berbuat dosa dan bertobat segera”.