Gus Huda atau Kiai M Saiful Huda, cicit almarhum KH Abdurrahman Legi.
PASURUAN, BANGSAONLINE.com - Peringatan Haul KH Abdurrahman Legi digelar khidmat di halaman Masjid Baiturrohman, Bugul Kidul, Kota Pasuruan, Sabtu (1/10/2025) malam.
Acara ini dihadiri para tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Pasuruan Raya, seperti KH Ma’sum Hasyim, KH Nurul Huda, KH Muzamil Syafi’i, KH Achmad Sahal, serta sejumlah kiai khos lainnya.
Dalam ramah tamah di kediamannya, Pondok Pesantren Nurul Islam, Gus Huda atau Kiai M Saiful Huda, cicit almarhum, mengungkapkan bahwa KH Abdurrahman Legi adalah salah satu pendiri NU Kabupaten Pasuruan pada 1928.
“Jadi Mbah Abdurrochman ini adalah Wakil Rois Suriyah NU pertama di Pasuruan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, Cabang NU Pasuruan pertama kali dibentuk melalui musyawarah para ulama pada Senin malam, 2 Rabiul Tsani 1347 H, di kediaman KH Mas Musthafa, Kebonagung.
Berdasarkan arsip Swara Nahdlatoel Oelama (SNO), jajaran Suriyah yang terbentuk saat itu terdiri dari KH Chuzaimi (Rais), KH Abdurrahman (Wakil Rais), KH Zainal Abidin (Katib), dan KH Mas Musthafa (Mustasyar).
Meski hanya menjabat Wakil Rais, KH Abdurrahman memainkan peran penting dalam pergerakan NU. Namanya tercatat sebagai perwakilan Pasuruan dalam Muktamar III NU di Surabaya pada 8-10 September 1928, bersama 5 cabang NU lainnya.
Tak hanya aktif di NU, KH Abdurrahman juga dipercaya sebagai anggota Mahkamah Tinggi Islam, lembaga yang kini dikenal sebagai pengadilan agama pusat, sebelum kemerdekaan.
Ia terpilih sebagai utusan NU dalam lajnah khusus yang dibentuk pada Muktamar IV NU untuk membahas pembentukan Hof voor Islamietische Zaken.
“Beliau cukup paham tentang apa yang menjadi perhatian dan tujuan dari dibentuknya Hof voor Islamietische Zaken, yakni menyelesaikan soal kebijakan yang berkaitan dengan keagamaan,” tuturnya.
Selain KH Abdurrahman, anggota mahkamah lainnya adalah Haji Moechtar dari Muhammadiyah. Keterlibatan dua ormas besar ini menjadi jejak awal kolaborasi NU dan Muhammadiyah dalam pemerintahan.
Karena jabatan tersebut merupakan bagian dari struktur pemerintahan Hindia Belanda, KH Abdurrahman harus mundur dari NU, sebagaimana ditegaskan KH Machfoedz Shiddiq dalam Berita Official HBNO tertanggal 31 Januari 1938.
Kiprah KH Abdurrahman berlanjut hingga masa pendudukan Jepang, ketika Mahkamah Islam Tinggi berganti nama menjadi Kaikyo Kootoo Hooin berdasarkan UU No. 34 Osamu Seirei No. 3. Jabatan tersebut diemban hingga akhir hayatnya.
KH Abdurrahman wafat dalam perjalanan pulang dari Jakarta ke Pasuruan, tepat di atas pangkuan sang istri saat kereta api yang ditumpangi melintasi Solo, Jawa Tengah. Peristiwa itu dikenang keluarga terjadi pada 11 Jumadil Awal 1362 H atau sekitar 16 Mei 1943 M.
“Jadi meninggal beliau itu posisi di atas kereta,” kata Gus Huda. (afa/mar)











