Respons KPAI soal Dai yang Cium Anak Perempuan di Depan Umum, Potensi Masuk Ranah Hukum

Respons KPAI soal Dai yang Cium Anak Perempuan di Depan Umum, Potensi Masuk Ranah Hukum Komisionaer Bidang Pendidikan, Waktu Luang, Budaya, dan Agama, Aris Adi Leksono.

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merespons video viral yang menayangkan seorang dai mencium anak perempuan di depan umum. Dalam keterangan rilis yang diterima BANGSAONLINE, Komisionaer Bidang Pendidikan, Waktu Luang, Budaya, dan Agama, Aris Adi Leksono menyampaikan rasa prihatin dan sikap tegas atas peristiwa tersebut.

“Meskipun sebagian pihak menilai tindakan tersebut sebagai bentuk kasih sayang, KPAI menilai bahwa perilaku demikian tidak pantas dilakukan, melanggar norma sosial, norma agama, dan prinsip perlindungan anak, serta berpotensi masuk dalam ranah pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS),” papar Aris, Rabu (12/11/2025).

KPAI menuturkan, berdasarkan telaah hukum dan norma, Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan, Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Lebih lanjut, dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) mengatur bahwa setiap bentuk tindakan fisik atau non-fisik yang bersifat seksual dan tanpa persetujuan korban, termasuk menyentuh, mencium, atau meraba bagian tubuh anak yang memiliki konotasi seksual, merupakan tindak pidana kekerasan seksual.

Dari sisi norma agama, lanjut Aris, setiap agama mengajarkan penghormatan terhadap martabat anak dan penjagaan kehormatan (iffah) baik laki-laki maupun perempuan.

“Islam, misalnya, mengatur adab menyentuh atau mencium anak dengan batasan yang jelas, tanpa menimbulkan syubhat (keraguan moral) atau rangsangan yang bersifat seksual. Dari perspektif norma sosial dan etika publik, tindakan mencium anak di depan umum, apalagi disertai sorotan media, dapat memberi contoh yang keliru dan mengaburkan batas antara kasih sayang dan pelanggaran privasi tubuh anak,” bebernya.

KPAI menilai bahwa tindakan tersebut, meskipun mungkin dilakukan tanpa niat jahat, dapat mengarah pada kekerasan seksual non-fisik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a UU TPKS, yaitu perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, atau menyerang tubuh, kehormatan, serta martabat anak.

Selain itu, tindakan tersebut berpotensi menimbulkan trauma atau kebingungan identitas batas tubuh anak, khususnya pada anak perempuan yang sedang tumbuh dan belajar tentang harga diri, rasa aman, dan kontrol terhadap tubuhnya sendiri.

Sebagai pedoman umum, KPAI menegaskan bahwa bagian tubuh anak yang tidak boleh disentuh oleh orang lain (selain orang tua dengan alasan perawatan, kesehatan, atau keamanan yang sah) meliputi; bagian tubuh yang tertutup pakaian dalam (dada, pantat, alat kelamin), bibir dan area wajah secara dekat tanpa izin anak. Sentuhan di bagian tubuh lain (misalnya pundak, punggung, tangan) harus mempertimbangkan konteks, hubungan, dan izin anak.

KPAI mengingatkan bahwa setiap anak berhak atas rasa aman atas tubuhnya sendiri, dan setiap bentuk tindakan fisik harus selalu didasarkan pada persetujuan anak serta kepatutan norma sosial dan agama.

Kepada publik dan tokoh agama agar berhati-hati dalam menunjukkan ekspresi kasih sayang kepada anak di ruang publik, dengan memperhatikan batas etika, norma agama, dan hukum.

Berdasarkan tela’ah tersebut, KPAI merekomendasikan Kepada aparat penegak hukum bersama Kementerian Agama, dan Majlis Ulama Indonesia, agar dilakukan klarifikasi dan asesmen perlindungan anak untuk memastikan ada atau tidak ada pelanggaran hukum dan menjamin keamanan psikologis anak yang bersangkutan.

Untuk mencegah terjadinya hal serupa, KPAI mendorong lembaga keagamaan dan lembaga pendidikan, untuk melakukan edukasi perlindungan tubuh dan privasi anak (body safety education) sebagai bagian dari kurikulum karakter dan pendidikan agama.

Kepada orang tua dan masyarakat, diharapkan aktif mendampingi anak memahami batas tubuh (body boundaries) agar anak mampu berkata tidak bila merasa tidak nyaman disentuh atau dicium oleh orang lain.

Kepada media massa dan warganet, diimbau tidak menyebarkan ulang video atau gambar anak, karena melanggar hak privasi dan dapat memperburuk dampak psikologis anak.

KPAI menegaskan bahwa perlindungan anak tidak mengenal siapa pelaku atau status sosialnya. Setiap tindakan yang berpotensi melanggar martabat anak harus dinilai secara hati-hati berdasarkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak (best interest of the child).

KPAI mengajak seluruh tokoh agama, masyarakat, dan media untuk bersama-sama membangun budaya penghormatan terhadap tubuh dan martabat anak, sebagai bagian dari ikhtiar nasional mencegah kekerasan seksual dan pelecehan terhadap anak di segala lini kehidupan. (msn)