JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Yayasan Supersemar absen dari pemanggilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) untuk mengikuti tahapan eksekusi Rp 4,4 triliun. Bila terus mangkir, PN Jaksel memastikan akan menyita paksa aset Yayasan Supersemar itu.
"Kalau dia tidak bisa hadir terus, nanti Ketua PN Jaksel akan mengambil sikap. Kalau ada indikasi dia terlihat menunda-nunda proses eksekusi, bukan tidak mungkin bisa kita ambil paksa aset-asetnya," ujar humas PN Jaksel, Made Sutrisna, saat ditemui di kantornya, Jl Ampera Raya, dikutip dari detik.com, Rabu (23/12/2015).
Baca Juga: Dua Kali OTT KPK: Selain Jaksa, Satu Anggota DPRD DKI Asal Gerindra Juga Ditangkap
Pihak Yayasan Supersemar pagi ini tidak hadir dan hanya mengirimkan sepucuk surat ke pengadilan. Dalam surat itu, kuasa hukum tidak bisa hadir karena juga memiliki acara yang bersamaan.
Made mengimbau sebaiknya pihak Supersemar tidak menunda-nunda proses eksekusi. Untuk itu dia berharap supaya Yayasan Supersemar mau hadir di sidang aanmaning pada awal Januari 2016 supaya ditentukan kapan proses eksekusinya.
"Nanti kan di-aanmaning, dia bisa mengajukan apabila dia tidak bisa bayar Rp 4,4 triliun dia bisa ajukan permohonan aset-aset," ucap Made.
Baca Juga: KPK Tangkap Tangan Oknum Jaksa Kejati DKI Jakarta
Terkait soal aset, Made mengaku belum mengetahui aset-aset apa saja yang dimiliki yayasan Supersemar. Yang jelas, sesuai isi putusan, aset Yayasan Supersemar harus sesuai isi putusan yang mewajibkan Yayasan Supersemar membayar ganti rugi Rp 4,4 triliun.
"Tapi kalau dia mampu membayar pakai uang, tidak perlu ada sita aset," ujar Made.
Soeharto membentuk Yayasan Supersemar tertanggal 16 Mei 1974. Soeharto yang kala itu sebagai Presiden RI duduk sebagai ketua dan posisi ketua ini bertahan sampai ia lengser pada 1998, bahkan berdasarkan akta notaris tertanggal 27 Desember 1999, Soeharto masih duduk sebagai ketua yayasan.
Baca Juga: Gubernur Sumatra Utara Nonaktif Divonis 3 Tahun, Istri 2,5 Tahun
Dalam perjalanannya, Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 1976 pada 23 April 1976 tentang Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333/KMK.011/1978 tertanggal 30 Agustus 1978. Dalam aturan ini, Soeharto memerintahkan 5 persen dari 50 persen laba bersih bank milik negara disetor ke Yayasan Supersemar. Di mana Ketua Yayasan Supersemar adalah dirinya sendiri.
Bermodal regulasi ini, kantong Yayasan Supersemar pun langsung membengkak. Sejak keluarnya PP 15/1976 itu hingga Soeharto lengser, Yayasan Supersemar mendapatkan dana USD 420 juta dan Rp 182 miliar. Tapi siapa nyana, dana sebesar ini digunakan melenceng dari tujuan dibentuknya Yayasan Supersemar. Berdasarkan Pasal 3 Ayat 2 Anggaran Dasar Yayasan Supersemar, yayasan bertugas membantu/membina para siswa/mahasiswa yang cukup cakap tetapi kesulitan tidak dapat melanjutkan pelajarannya karena kesulitan dalam pembiayaan. Tujuan kedua yaitu yayasan melakukan kegiatan lain untuk kepentingan pendidikan.
Apa lacur, dana yang terkumpulkan diselewengkan menjadi penyertaan modal dan sebagainya, yaitu:
Baca Juga: Kasus Suap Pejabat MA, KPK Geledah Rumah Pengacara Penyuap di Malang
1. Diberikan kepada PT Bank Duta USD 125 juta pada 22 September 1990.
2. Tiga hari setelahnya, PT Bank Duta juga kembali diberi dana USD 19 juta.
3. Sehari setelah itu, PT Bank Duta kembali mendapat kucuran dana USD 275 juta.
4. Diberikan kepada Sempati Air sebesar Rp 13 miliar kurun 1989 hingga 1997.
5. Diberikan kepada PT Kiani Lestari sebesar Rp 150 miliar pada 13 November
1995.
6. Diberikan kepada PT Kalhold Utama, Essam Timber dan PT Tanjung Redep Hutan
Tanaman Industri sebesar Rp 12 miliar pada 1982 hingga 1993.
7. Diberikan kepada kelompok usaha Kosgoro sebesar Rp 10 miliar pada 28
Desember 1993.
Atas penyelewengan dana ini, negara Republik Indonesia lalu menggugat Soeharto usai ia lengser. Namun tidak mudah bagi negara untuk menjerat Soeharto. Butuh waktu bertahun-tahun mengembalikan uang rakyat tersebut. Diawali dengan menang gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada 27 Maret 2008. Gugatan ini dikuatkan di tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali (PK).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News