DENPASAR, BANGSAONLINE.com - Terdakwa Margriet Christina Megawe (Margareta) divonis hukuman penjara seumur hidup. Hal tersebut diungkapkan majelis hakim di Pengadilan Negeri Denpasar, Senin (29/2).
Putusan ini disambut dengan tepuk tangan oleh semua pengunjung di PN Denpasar. Majelis hakim Edward mengatakan, motif pembunuhan Angeline karena faktor ekonomi. Dia mengatakan, sesuai dengan keterangan saksi-saksi bahwa korban tidak dirawat oleh terdakwa. Jelas terbukti bahwa korban setiap hari disuruh melakukan pekerjaan-pekerjaan berat.
Baca Juga: Tolak Hubungan Badan, Istri di Sumenep Dicekik Suami Hingga Tewas
Korban setiap hari disuruh memberi makan ratusan ekor ayam dan berjalan kaki ke sekolah. "Salah satu faktor motif pembunuhan ini yaitu ekonomi," ujarnya. Hakim dalam kesempatan ini juga menyebutkan hasil autopsi RS Sanglah tentang kondisi jenazah Angeline.
Di mana terdapat 31 titik luka dalam tubuh Angeline, salah satunya otak korban membengkak akibat pukulan benda tumpul.
Sedangkan terdakwa Agus Tae Hamda May divonis 10 tahun penjara atas kasus pembunuhan terhadap Angeline Christina Megawe. "Dia terbukti membantu pembunuhan berencana yang dilakukan oleh terdakwa Margriet. Selain itu juga jelas bahwa dia telah menyembunyikan peristiwa tersebut. Untuk itu kami menjatuhi hukuman 10 tahun penjara," kata Ketua Majelis Hakim dalam persidangan, Senin (29/2).
Baca Juga: Diduga Jadi Korban Pembunuhan, Siswi SMP di Palembang Ditemukan Tewas: Jangan Seperti Vina Cirebon
Vonis hakim lebih rendah dua tahun dari tuntutan Jaksa Penutut Umum. Dalam sidang sebelumnya, JPU menutut Agus hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara.
JPU menyebut Agus membiarkan kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian. Agus juga disebut menyembunyikan peristiwa pembunuhan dengan membantu mengubur mayat Angeline. Vonis terhadap Agus diatur dalam Pasal 76 C jo Pasal 80 ayat 3 UU RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 181.
Sementara, usai ketua majelis hakim Edward Haris Sinaga membacakan dan mengetuk palu putusan tersebut, secara spontan Agus bersungkur di kaki kuasa hukumnya, Hotman Paris Hutapea.
Baca Juga: Kedua Orang Tua Balita yang Tewas Terkubur di Kediri Akhirnya Ditetapkan Sebagai Tersangka
Sambil menangis, Agus bersimbuh berlutut sambil memeluk kaki Hotman Paris. Reaksi spontan ini membuat Hotman memberikan respons menenangkan pria asal Sumba tersebut. Ia membesarkan hati kliennya sebab satu proses peradilan telah dilalui. Hotman juga menenangkan Agus lantaran ia berhasil lolos hukuman seumur hidup dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
"Kita telah berhasil meloloskan Agus dari hukuman seumur hidup. Pelaku utama adalah M dan Agus tidak terlibat dalam pembunuhannya, tidak ada unsur. Di dalam persidangan tidak ada bukti yang menguatkan kaitan ia terlibat dalam perkara pembunuhan berencana. Pembunuhan dilakukan sendiri oleh M," kata Hotman sambil memeluk dan menenangkan Agus.
Sebelum sidang putusan berlangsung, ibu kandung korban (Angeline), Hamidah, dengan raut penuh kesedihan, menunduk sambil mengusap air matanya saat menunggu dimulainya sidang, Senin (29/2). Dengan suara lirih, ia meminta pada hakim supaya pihak berwenang mampu membuka mata hati dan mau memberi hukuman mati.
Baca Juga: Tak Terima Dituduh Curi Pisang, Pria di Probolinggo Nekat Bacok Tetangganya
Ia merasa tak setimpal jika hakim memberikan hukuman seumur hidup atau lebih ringan.
"Minta sama pak hakim membuka mata hati. Kalau cuma dihukum seumur hidup saya gak puas. Karena itu bisa turun, harusnya hukuman mati," kata Hamidah sambil ditemani suaminya, Putu Sumardhana, di PN Denpasar, Senin (29/2).
Menyikapi komentar dari permintaan sang ibu kandung, Ketua Komisi Penanggulangan Anak (KPA), Arist Merdeka Sirait yang juga hadir dalam persidangan menambahkan, permintaan Hamidah sangatlah lumrah. Namun obyektifitas serta unsur keadilan tetap harus dijunjung dalam putusan sidang.
Baca Juga: Diduga Depresi, Seorang Ayah di Tulungagung Tega Bunuh Anak Kandungnya
"Normal jika menuntut hukuman mati atau maksimal. Tapi yang menjadi pendekatan problemnya adalah apakah hukum mati ini menjadi maksimal. Karena apa yang telah dilakukan oleh Margriet sangatlah keji," pungkas Arist. (okz/dtc/sta)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News